Pages

P E R T I W I

Senin, 20 April 2015




          Pertiwi meneguk air mineral kemasan, satu tegukan yang seketika membuat kerongkongannya segar. Terik matahari pukul satu siang menyalakan semangatnya. Seorang aktivis yang menjadi orator dalam aksi mahasiswa yang mengepung Istana Bogor. Mahasiswa semester akhir yang sebetulnya telah kenyang urusan demonstrasi tetiba menggeliat kembali, urusan skripsi yang sedang digarapnya menjadi kabur, idealisme Pertiwi meluap setelah satu demi satu bukti pemerintah era sekarang berlaku ganjil.
            “Pertiwi… saya ingatkan kembali hari ini bimbingan terakhir dengan saya” ucap seorang lelaki dengan suara berat di seberang telepon sana.
            “Hari ini saya aksi Pak” jawab Pertiwi berterus terang.
            “Mahasiswa paling semangat! Sampai pukul 7 malam saya tunggu kamu di rumah, istri saya rencana memasak enak”.
            Telpon ditutupnya, Pertiwi sunggingkan senyum. Zaman sekarang, hanya sedikit orang seperti Pak Sugih, mendukung dan memahami tugas dirinya sebagai mahasiswa, bahkan lebih dari itu Pak Sugih tak segan berbagi pengalaman mengenai geliatnya dulu saat beralamater.
            Jalan sekitaran istana Bogor menjadi lautan warna-warni almamater, teriakan-teriakan semangat gelorakan suanasa. Di dada mereka kini bertabu “UNTUK INDONESIA KAMI BERSATU!”. Yel-yel, teriakan demi terikan, orasi yang membakar dan matahari yang terik berpadu dengan semangat kebersamaan demi tanah air. Tiba-tiba Pertiwi rasakan senyap di dadanya, setitik kesedihan yang dibungkamnya menyeruak ke udara. Tujuh hari yang lalu bersamaan dengan kepulangannya ke kampung halaman untuk bertemu keluarga di pelosok Garut ia temukan pemandangan tak biasa. Anak-anak yang biasa ramai pergi ke mesjid untuk mengaji berkurang. Wajah-wajah kecil itu terbuai kesenangan warung internet untuk bermain game online dan membuka situs pertemanan. Anak-anak, mereka terlalu kecil, masa mereka belum saatnya mengenal luas dunia luar. Permainan anak kampung seperti petak umpet dan loncat karet sudah bukan musimnya. Kini ia berada di tempat ini, di riuahan masa aksi salah satunya demi pertanyakan; Apa salahnya media Islam sampai harus diblokir?. Demi keamanan Negara, demi usut tuntas kasus yang konon bernuansa teroris, kebebasan bersuara jadi dibungkam. Negara hanya peduli keamanan Negara tapi tak peduli perkembangan akhlak dan iman masyarakatnya.
            Setelah BBM naik, kasus KPK dan Polri, BBM turun kemudian naik lagi, sembako yang mencekik, dan pemblokiran situs Islam. Akan ada apa lagi?, haruskah kerusuhan belasan tahun lalu kembali terjadi?. Geliat masyarakat kini telah muncul, satu per satu orang-orang bangun dari tidurnya, buaian semata, janji yang tidak tertepati seolah makanan pahit yang terpaksa harus ditelan.
            Kemana itu kedamaian?.
            Pertiwi menangis.
            Matahari kian meranggas, wajah-wajah para dhuafa, pengemis yang tinggal di kolong-kolong jembatan, rumah kardus dipinggiran sungai, nenek tua yang harus makan nasi akik, jembatan rusak hingga para pejuang pendidikan harus memapah dengan penuh kehati-hatian, ibu hamil yang kurang gizi karna tak punya uang. Semua saling desak di ingatan Pertiwi, satu tetes air mata akhirnya tumpah.
            “Teman-teman…..” ucapnya serak, sementara tak satu pun orang-orang mendengarnya,
            “Teman-teman….” ulangnya, sayang suara sepelan itu mengalahkan teriakan-teriakan semangat,
            “Teman-teman….” semua telah basah, hatinya, kulitnya, toa yang dipegang Pertiwi bergetar,
            Untunglah seseorang menyadari keadaan Pertiwi, Fariz namanya yang langsung naik ke atas dan berdiri di samping Pertiwi. Ia yang menjadi koordinator lapangan merebut toa yang sedang dipegang oleh temannya yang lain, Fariz berteriak keras, menghentak seluruh peserta aksi.
            “Demi Indonesia teman-teman!!!!!”
            Semua mata kini tertuju pada Pertiwi dan Fariz, lelaki berperawakan tinggi itu memegang pundaknya.
            “Katakan, apa yang ingin kamu katakana, Wi…”
****
            “Usia saya sekarang 24 tahun, banyak di antara teman-teman yang mungkin seusia saya. Saya berasal dari keluarga baik yang tak pernah rasakan kekurangan, hidup saya normal, dan teman-teman saya yakin melebihi hidup saya. Saya lewati masa anak-anak sampai remaja yang penuh suka cita, tak pernah ada duka atas perut yang melilit kelaparan, tak pernah menangis jika sesuatu tak bisa saya beli, sebab semua begitu cukup. Dan teman-teman saya yakin sama dengan saya bahkan sekali lagi lebih….”
            “Tapi… hidup di negeri ini nyatanya tak semua orang seperti kita. Kita mahasiswa yang dipandang begitu idelis hingga sepintas memekakkan telinga penguasa, memang harus seperti ini. Kita yang enyam hidup yang baik sudah semestinya harapkan hal yang sama untuk saudara-saudara kita. Saya pertiwi menangis siang ini, tapi tanah pertiwi jauh lebih berduka, hatinya teriris. Saya yang selalu merajuk, apa yang harus dilakukan?, pertiwi di tanah ini begitu sabar meski terinjak, saya yang selalu bertanya, akan ada apa lagi setelah gejolak-gejolak ini?, pertiwi di tanah ini menerima dengan kelapangannya. Sayang sekali teman-teman, tanah pertiwi bungkam tak bisa bicara, tapi coba bayangkan jika ia mampu berbicara entah balasan seperti apa yang dimintanya pada Tuhan setelah dizholimi…”
            “Untuk saudara-saudara kita… seberapa besar yang harus dibayar demi hidup layak dan penuh kedamaian itu?”.
            Ini bukan orasi, jelas bukan, ini adalah luapan emosi. Kalimat yang mengalir jelas sudah berasal dari hati. Wajah Pertiwi sudah berurai air mata saat ia menurunkan toa yang dipegangnya, isak tangis ternyata bukan hanya bersumber dari dirinya. Tapi lihatlah rekan-rekannya di bawah sana pun tak bisa memendung keharuan, perasaan sesak dan sakit hati.
            “Apa yang bisa kita lakukan teman-teman?....” Tanya Pertiwi lemah,
            “Kadang saya ingin bertemu langsung kepala pemerintah ini, bertanya ‘apa mau Tuan?’ kemana Tuan saat orang-orang kecil membutuhkan, seperti sang nenek tua yang harus cicipi dinginnya kamar jeruji karna ketidaktahuannya. Nyatanya mengurus negeri tak semudah mengucapkan janji….”
            Pertiwi memejamkan mata, biar bagaimanapun saat ini adalah waktunya orasi yang membakar semangat. Dihirupnya napas panjang, biarkan menyesap aliri dada.Tapi meski tidak penuh intonasi nyatanya semua terbawa suasana, sekarang orang-orang menundukkan kepala, melihat ke bawah tanah, tanah periwi yang diinjak kakinya, tanah yang tak pernah mengeluh, tanah yang benar-benar lapang terima segala kejadian tak menyenangkan.
            Hhhmppppuh….
            Sekali lagi Pertiwi menghirup napas panjang sementara di sampingnya Fariz mengambil celah yang kosong,
            “Biarkan kita berada di barisan pejuang, Teman-teman…..” teriak Fariz seraya mengepalkan tinjuan ke udara,
            “Indonesia… Indonesia… untuk Indonesia!!!!!!” lanjutnya disusul oleh teriakan yang sama dari peserta aksi.
****
            Malam yang cerah, bintang dengan cantiknya saling berkedip.
            “Ini usul saya makan malam kali ini di taman, supaya kamu merasakan udara sejuk, Pertiwi…”
         Pak Sugih membuka percakapan, ia tahu aksi siang tadi telah menguras emosi fisik dan psikis mahasiswanya.
            “Dulu saya pernah ngobrol dengan teman, dia sudah sangat geram dengan pemerintah… saya bilang, saya masih abu.. kadang ngnes, kadang coba memahami kalau saya ada di posisi beliau dengan kepercayaan yang kurang dari masyarakat apa yang terjadi?. Jawabnya, Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam  bersabda: “Siapa yang melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman. Waktu itu memang hati saya yang bermain, tidak melihat kenyataan… tapi sekarang justru saya yang aneh, kenapa dulu sempat berpikir seperti itu?”.
“Hahahaha…” Pak Sugih tertawa,
            “Hidupmu bukan hanya skripsi mu, tapi ini… ini hidupmu!” lanjut lelaki itu.
-TAMAT-

            Bogor, 01 April 2015

Ket: dimuat di Radar Bogor, 15 April 2015

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Tulisan bagus mah udah ga aneh kalo dimuat di media cetak. :)

Rembulan Perak mengatakan...

Baru buka lagi. 1 Kalimat di paragraf terakhir diambil dari kisah nyata, "kenapa dulu sempat berpikir seperti itu?" aiiiih!.

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS