Mata Meriana menyapu seluruh
sudut ruangan yang dihiasi cotton rope dengan
selingan daun monstera berbagai ukuran. Sesekali juga matanya melihat batang
kayu yang telah dililit lampu gantung berwarna orange. Jemari Meria kini tiba
dibarisan foto hitam putih yang direkatkan pada dinding yang menembus sampai
arah pintu keluar. Lambat, kakinya mengikuti barisan foto dua orang lelaki dan
perempuan dengan balutan baju berwarna putih dan coklat tanah. Senyum keduanya
di foto itu mengembang, ada lirikan mesra, ada tawa lepas sampai di foto
terakhir hanya ada dua jemari yang telah dilingkari cincin perak dengan satu
mata berlian di jemari perempuan.
Meriana mematung sementara kakinya
satu langkah lagi menuju karpet putih, pandangannya tertuju pada meja dengan 6
buah kursi yang saling berhadapan. Seseorang di depan sana sedang sibuk
mengatur penempatan bunga lili segar yang disimpannya di canvas bening. Jam
menunjukan pukul 02.00, perempuan dihadapan Meriana belum mampu memejamkan
matanya, padahal dia berhadapan dengan waktu yang selama ini dinantinya.
“Meriana.... kemana saja kamu? Bukannya janji
datang sore, liat jam 2 malam kamu baru datang! Apa yang bisa kamu bantu kalau
semuanya sudah selesai aku kerjakan. Dasar! Dari awal kamu yang berjanji akan
gagalkan tema pernikahan dari vendor pilihan Mamaku itu, hahaha lihat semuanya sudah
seperti yang kita mau”
Meriana tidak membalas racauan
dari sahabatnya itu, bibirnya hanya menyunggingkan senyum tipis. Badannya
bergeser ke kanan, kakinya urung menginjak karpet putih, Meriana menjatuhkan
badannya di atas rumput yang basah oleh embun. Sementara perempuan yang
berjarak 3 meter di hadapannya kini berjalan mendekati lalu turut duduk
bersampingan mengikuti Meriana memeluk lutut.
“Kamu gak tidur, Car?” Ucap Meriana penuh telisik
“Mana bisa aku tidur, aku mau habiskan malam
ini bareng kamu”
“Lah, kalo ngantuk ya tidur aja kali, besok
setelah akad kamu akan melewati perjalanan jauh”
“Justru karena itu! Untuk malam ini aku mau
sama kamu Ri, makasih ya, kamu udah nemenin aku selama 20 tahun ini, akhirnya
di usia menjelang 30 tahun aku akan dinikahi”
Meriana mengalihkan pandangannya
menatap Carmel, ia mau berbicara namun lidahnya terasa pahit akibat kusutan
benang di pikirannya.
“Lucu banget perjalanan kita ini hahaha, kalo
kamu selama ini enjoy walau terus ditanya kapan nikah oleh orangtuamu beda sama
aku... yang greget mau menyudahi keadaaan ini! Tapi setiap penantian akan
bertemu masanya kalo sekarang giliran aku, aku yakin sebentar lagi Tuhan akan
wujudkan doaku buat kamu”
“Aku bahagia.... Prama kembali datang. Prama yang
kecilnya ingusan itu jadi calon suamiku”
Meriana menghela napas
panjang..... Kebahagiaan Carmel begitu
nampak dimatanya
“Sini Car....” Meriana meregangkan jemari
tangannya meminta sambutan dari jemari sahabatnya
“Aku maunya kamu bahagia terus....” ucap Meriana
tulus
****
10 jam sebelum pukul 02.00 WIB
Teks message datang ke WA Meriana
“Mer, untuk merayakan senja terakhir, bisa aku
bertemu?”
Meriana menghentikan laju mobilnya untuk membaca pesan dari kontak bernama Prama Ingusan.
“Ya, di rumah Carmel aja aku otw ke sana”
balas Meriana cepat
“Gak Mer, aku mau makan jagung bakar, Carmel
mana mau dia”
“Ya, tinggal beli aja jagungnya makan di rumah
Carmel “
“Nolak terus sih, udah puter balik, aku
tunggu”
Meriana hapal tempat yang
dimaksud Prama, sejujurnya Meriana kesal karena tidak dapat menepati janjinya
pada Carmel tapi demi sahabat lelakinya ini ia memutar balik laju kendaraannya.
10 menit berlalu sosok lelaki
yang mengenakan sweater berwarna army dengan rambut messy yang bergelombang
menutupi telinga berdiri tegap membelakangi arah mobil Meriana. Sesaat setelah
mendengar deru mesin mobil, Prama memutar badannya. Ia menunggu dengan tatapan khas
miliknya, pedar mata berwarna cokelat yang tajam namun meneduhkan itu mengikuti
gerak tubuh Meriana keluar dari mobil.
“Yuk, kesana...” ajak Prama mempersilahkan
Meriana berjalan di depannya. Meriana balas dengan tarikan kedua alis matanya
ke atas.
Prama menghirup udara dari
segelas teh hangat yang dipesannya, berada di sebuah bukit yang dinamakan Fly
Florest ini memberi ketenangan bagi Prama di tengah isi hatinya yang berdesir
dan tak mampu dirinya jabarkan.
“Mana jagung bakarnya, katanya mau jagung bakar” Ucap Meriana mengawali
perbincangan diantara keduanya. Meriana berdiri di atas rumah berubin kayu yang
biasa mereka kunjungi.
“Ya minum teh dulu kali” Jawab Prama ringan.
“Ada apa sih?” Selidik Meriana dengan mata
penuh tanya.
“Mer, aku cuman mau berandai. Seandainya yang ada diposisi Carmel
itu kamu, kamu seneng gak?”
Meriana mengernyitkan dahi seraya
mengarahkan matanya ke mata Prama yang sedang menatapnya lekat.
HHHhhmmmmfuuuuuh........
Keduanya menarik napas panjang
bersamaan, lalu kembali saling bertatapan, hingga kepalan tangan Meriana
singgah di bahu Prama membuat lelaki berkulit sawo matang ini meringis
kesakitan.
“Sakitnya kamu tuh gak sebanding
sama sakitnya Carmel nunggu kepastian dari kamu!” tambah Meriana.
“Dulu aku dan Carmel hanya cinta monyet, aku
ikut ortu keluar dan selama belasan tahun itu Carmel tungguin aku, tanpa dia tahu
apa dan bagaimana keadaan aku disana. Parahnya dia sama sekali gak tau perasaan
aku” Jelas Prama dengan nada suara naik satu oktaf.
Ya, Meriana tahu itu. Dari
selesainya Sekolah Dasar keluarga Prama meninggalkan Indonesia. Sahabat
lelakinya ini menghilang tanpa kabar berita, tak pernah ada selembar surat
ataupun nyaring telpon yang sampai ke Indonesia. Sementara Carmela hidupnya
dihabiskan dengan penantian dan Meriana menjadi teman pemberi tissue setiap
kali Carmela putus harapan.
“Aku tuh Mer, gak bisa lupain Prama! Aku tau
ini konyol, aku sekolah, kuliah, kerja, bertemu banyak orang tapi yang ada
diingatan aku cuman Prama” isak Carmela saat itu.
Meriana memejamkan mata, semua
hal yang terjadi pada Carmela di masa lalu berkelebatan di pikirannya. Bukannya
tidak membantu Carmela untuk move on
tetapi Meriana saat itu seolah telah kehabisan cara.
“Mer......” ucap Prama mencoba mengembalikan
pikiran Meriana.
“Ya......” Meriana menjawab pelan.
“Kamu gak lupa kan 2 tahun yang lalu, aku
pernah kirim email ke kamu? Tapi gak pernah kamu balas”
“Padahal.... tiap waktu aku tunggu balasan
email kamu, sampai akhirnya kita kembali bertemu gak pernah kamu bicarakan
email itu”
Meriana tak bisa menjawab. Dadanya
berdegup kencang seolah jantung akan keluar dari biliknya.
“Lalu kenapa kamu belum menikah? Apa kamu juga
nunggu aku?” lanjut Prama lagi-lagi memecah kebisuan Meriana.
“Terus Mer, andai kamu tanya kenapa aku belum
nikah? Akan aku jawab karena aku nunggu kamu! Bukan yang lain.... bukan pula
perempuan-perempuan yang aku temui di luar sana” Pecah! Akhirnya kalimat yang
selama ini Prama pendam sampai di perempuan yang pelan-pelan dia cintai.
“Aku gak nyangka Pram, kepulangan kamu ke sini
membuat keadaan menjadi rumit”
“Gak rumit Mer, kalau kamu balas email aku
waktu itu. Kamu terima atau tolak aku, selesai”
“Terus sekarang kamu mau gimana??” Tanya
Meriana dengan nada tinggi, dia sudah benar-benar tak sabar ingin meninggalkan
Prama.
“Kamu mau bilang mencintai aku, mau menikah
dengan aku dan meninggalkan Carmel? Gila!” Tambah Meriana dengan kaki menuruni
anak tangga.
“Mer... Mer... jangan pergi” sanggah Prama
menggejar Meriana yang berjalan cepat meninggalkannya.
“Aku... Mer, cuman mau kamu tahu aja” Akhirnya
tangan Prama berhasil menjangkau pundak Meriana.
“STOP! Kamu berhenti jadi lelaki egois” Tunjuk
Meriana tepat ke mata Prama yang menatapnya dengan penuh harap.
“Bagaimanapun... pernikahan kalian sudah
diatur, kamu ke luar negeri demi mempersiapkan masa depan yang baik dengan
Carmel, hargai orangtua kalian Pram jangan seperti ini”
“Ya, aku ngerti Mer. Aku mau kamu tahu aja
tentang perasaan dan pengharapanku”
“Perasaan dan pengharapan sekarang sudah tidak
berlaku lagi....”
Prama mematung sementara Meriana
telah dahulu melangkahkan kakinya. Bagi keduanya senja kali ini begitu rumit. Meriana
harus terus berjalan, ia tidak mau memutar kembali badan dan ingatannya ke
belakang, Prama hanya sekelumit kisah yang sama sekali tak pernah hatinya
harapkan sebab sejak datangnya email tersebut Meriana telah berada dalam
kelimbungan. Ia bingung harus mengobati hatinya diantara harapan Carmela yang
tak pernah usai.
Dan ternyata Meriana hanya ingin
menjadi teman yang baik untuk Carmela.
****
“Aku bantu....”
Carmela berdiri dari duduknya hendak menyematkan bunga di tatanan rambut
Meriana.
Keduanya saling melempar senyum.
“Gaunnya pas banget
dipake kamu, Mer” Ucap Carmela seraya memainkan gaun putih selutut yang
dikenakan Meriana.
“Calon penganten itu
harusnya duduk manis aja tunggu mempelai pria datang, diem udah gak usah
bantu-bantu orang” Sanggah Meriana disela usapan lipcream marun di bibirnya.
“Tuh suara mobil udah
kedenger, ayo siap-siap! Sebentar lagi aku antar kamu ke pelaminan, Car”
Jemari Meriana terbuka,
Keduanya mulai melangkahkan kaki
menuju altar pernikahan hendak menemui Prama yang pagi itu telah datang dengan
toxedo putihnya. Carmela berkali-kali memalingkan wajah untuk menatap Meriana
yang pandangannya lurus ke depan seolah tak merasakan kehadiran pandangan
Carmela yang memperhatikannya. Dada Carmela tiba-tiba terasa penuh,
tenggorokannya tercekat dan bulir air mata menetes tak tertahankan.
Dua tahun lalu, saat berada di
dalam kamar Meriana tak sengaja ia membuka pesan Prama. Betapa bahagianya
Carmela saat itu akhirnya Prama menghubunginya melalui Meriana. Namun, setelah
selesai membaca semua paragraf email itu baru ia sadar tak ada namanya yang
disebut Prama. Isi email itu semuanya tentang harapan Prama pada Meriana yang
ditutup dengan satu kalimat “Meriana aku
sudah meyakinkan hati aku untuk menerima seluruh kebaikan dan kekurangan kamu,
mau kah kamu menemaniku untuk selamanya?”
Iya, Camela masih hafal satu per
satu kalimat yang ada dalam email itu. Namun waktu terasa kurang untuk Carmela
meyakinkan Meriana bahwa Prama adalah pria untuknya. Sampai Prama kembali dan
semuanya begitu cepat diatur oleh keluarga keduanya.
“Sampai disini aku menemani kalian....” bisik
Meriana diatara Carmela dan Prama.
Cepat.
Meriana
memutar badannya.
Ia
tak mau berada lama-lama di altar pernikahan itu.
Ia
akan berjalan bersama masa depannya.
Sedetik
ia menoleh kebelakang, meminta agar Carmela tersenyum.
-SELESAI-
Di
sela kantor,
26 April 2019