“Aku mohonkan padamu agar
tak lagi menjadi bayang-bayangku...”
Kalimat
itu terngiang-ngiang dalam benak Zulki, 3 jam yang lalu ia telah coba rebahkan
sekujur tubuhnya di kasur empuk bersepreikan bendera Amerika tentu dengan
bantal gulingnya yang nyaman. Sebab kamarnya yang tak berAC ia buka jendela
supaya udara malam masuk ke ruang-ruang kamar berukuran sedang untuk remaja
akhir seusianya. Ia tidak membutuhkan ruangan yang sangat luas karena
kebutuhannya pun tak terhitung banyak, selain tempat tidur yang bersentuhan
langsung dengan lantai, meja setengah lutut untuk menyimpan komputer dan jam
digital warna hitam serta satu lemari jati tua, tak lupa kaca yang menggantung
dipinggir figura foto keduaorangtua dan teman-teman masa kecilnya.
Zulki akhirnya berdiri, menyibakkan selimbut hitam beludrunya. Ia berjalan menuju pigura samping cermin. Senyum Ibu dan Bapaknya ia tatap lama, mengapa wajahnya amat mirip dengan ke dua orangtua itu? Tuhan yang Maha Baik berikan hadiah istimewa untuknya, karena jika rindu menelisik isi dada pada terkasih yang telah tiada. Zulki hanya perlu becermin, wajahnya yang merupakan perpaduan antara Ibu dan Ayah akan nampak disana. Melihat dirinya sendiri di depan kaca ia seolah melihat ke dua orangtuanya ada disana, disorot mata yang meneduhkan dan senyum indah pendamai hati.
“Salam rindu dari dunia.. Pak...Bu....” Ucap Zulki lirih.
****
“Ki... usia berapa kamu siap menikah?” Pertanyaan Bapak disiang hari seperti
hujan deras yang tiba-tiba datang tanpa gelegar petir. Sontak kedua matanya
bertatapan dengan mata Bapak.
“Kuliahpun aku belum lulus Pak, tunggu 3 bulan lagi baru jadi sarjana” Jawabnya setelah menimbang jawaban yang tepat. Kuliah belum selesai, jodoh belum dapat itu adalah pokok pikirannya.
“Sudah ada calon belum?” Selidik Ibu dari dapur membawakan teh manis dingin serta camilan keripik pisang yang disimpannya dimeja.
Zulki menggelengkan kepalanya... sontak tawa Bapak menggema.
"Kan Bapak yang larang aku supaya gak pacaran dulu....” Ucap Zulki menjelaskan karna tak paham dengan tawa Bapaknya yang belum juga berhenti.
“Soleh nian putra Ibu....” Satu kecupan di ubun-ubunnya terasa.
“Mau tidak kalau Bapak ketemukan dengan perempuan?” Tawar Bapak, matanya
bertemu pandang dengan Ibu kemudian saling mengedip lalu tersenyum bersama.
“Kalau Bapak sama Ibu sudah tentukan waktu untukku boleh saja...”
“Kalau Bapak sama Ibu sudah tentukan waktu untukku boleh saja...”
Tidak butuh waktu lama bagi ke dua orangtua itu untuk menjemput kebahagiaan putra bungsunya. Dari kandungan, Ibu sudah asuh Zulki dengan kasih sayang penuhnya, nafkah yang halal Bapak ikhtiarkan untuk kecukupan keluarga tercintanya.
Ba`da magrib menjelang, Zulki duduk diluar teras rumah. Ia siap ikut kedua
orangtuanya bertemu perempuan putri sahabat lama Bapak. 5 menit kemudian Ibu
keluar dari kamar kenakan gamis putih dengan manik-manik biru tua berpola bunga
anggrek, sederhana.
“Bapak juga mau pakai koko ini saja biar sama kaya Ibu, putih-putih. Kita serasi
sepanjang masa, iya kan Bu?” Ucap Bapak seraya merangkul pundak Ibu mesra
diselangi tawa khas Ibu yang mengulum senyum. Malu, karena mesranya Bapak tak
berkurang meski usia tak lagi muda, dari kakak-kakaknya Zulki, Ibu dan Bapak
sudah diberikan 3 orang cucu yang lucu nan solih.
“Kalau kamu cocok dengan perempuan ini, kamu gak perlu iri pada kami.. sabar
sedikit ya Nduk sebentar lagi waktumu...” Goda Bapak membuat tawa Ibu seketika
membeludak. Tak ada lagi senyum dikulumnya.
****
“Baru lulus DIII Keperawatan, tahun ini rencana lanjutin kuliah S1
Keperawatan.. udah kerja di klinik ujung jalan sana.. belum boleh jauh dari
rumah, hariwang
anak perawan kata Bahasa Sundanya...”
“Namanya Fatimah, Pak Budi dan Bu Rahayu....”
“Fatimah, perawat toh? Aduh senang sekali saya Pak Salam.. kalau jenguk teman
yang sakit di rumah sakit kelihatannya perawat itu baik-baik semua, gak cape
ngurusin pasien yang segitu banyaknya...”
“InsyaAllah Bu Rahayu, kalau Den Zulki gimana sudah kerja?”
“Mohon maaf Pak, saya masih kuliah tahun ini InsyaAllah wisuda...”
“Iya ini Pak Salam, anak saya luluspun belum. Saya datang kemari bermodal tekad
dan niat baik saja barangkali bisa menyambung silaturahmi...
Getaran yang tak biasa merasuki isi dada Fatimah, ia yang dari awal tak menyangka akan kedatangan tamu Abinya tak bisa menolak kala Abi dan Uminya meminta ia untuk menyambut kedatangan tamu yang kemudian duduk bersama menyaksikan pembicaraan antar orangtua.
Saat masuk ke ruang tamu tanpa sengaja pandangan Fatimah dan Zulki bertemu, mereka lantas saling menunduk. Fatimah tak mampu lagi menegakkan kepalanya selain mendengarkan obrolan-obrolan hangat penuh tata keramahan terucap dari bibir ke dua orangtua serta tamunya. Mungkinkah ia akan dijodohkan? Pikiran tersebut terbayang dibenak Fatimah, bagaimana seharusnya ia bersikap?.
“Buat saya hal itu bukan masalah Pak Budi.. saya mengenal keluarga Pak Budi dan Bu Rahayu dengan baik, hanya saja saya serahkan kembali pada Fatimah....”
Getaran yang tak biasa merasuki isi dada Fatimah, ia yang dari awal tak menyangka akan kedatangan tamu Abinya tak bisa menolak kala Abi dan Uminya meminta ia untuk menyambut kedatangan tamu yang kemudian duduk bersama menyaksikan pembicaraan antar orangtua.
Saat masuk ke ruang tamu tanpa sengaja pandangan Fatimah dan Zulki bertemu, mereka lantas saling menunduk. Fatimah tak mampu lagi menegakkan kepalanya selain mendengarkan obrolan-obrolan hangat penuh tata keramahan terucap dari bibir ke dua orangtua serta tamunya. Mungkinkah ia akan dijodohkan? Pikiran tersebut terbayang dibenak Fatimah, bagaimana seharusnya ia bersikap?.
“Buat saya hal itu bukan masalah Pak Budi.. saya mengenal keluarga Pak Budi dan Bu Rahayu dengan baik, hanya saja saya serahkan kembali pada Fatimah....”
Betulkah ini waktunya
untukku? Lelaki itukah yang Allah kirimkan untuk menjadi imamku, lelaki di
depan sana bernama Zulki yang kurang dari satu jam aku kenal dan aku lihat
wajahnya, Ya Allah.. secepat ini Engkau kirimkan aku pendamping hidup? Segala
sesuatu telah Kau tuliskan dalam perjalanan hidupku lalu apakah getaran ini
sebagai pertanda, bahwa memang malam ini waktu yang tepat aku tentukan pengisi
hatiku? Bismillah....
Fatimah
mengangguk 2 kali kemudian tersenyum pada kedua orangtuanya. Senyuman kedua
orangtua Fatimah merambat pada usapan tangan Ibu diwajahnya yang sudah muncul
lipatan keriput.
Ibu.. Bapak... detik ini kau hantarkan anakmu ini menuju gerbang kebahagiaan. Fatimahkah bidadariku, ibu dari anak-anakku, pelipur lara dan gelisahku, pembawa suka dan bahagia dihidupku?. Ia-kah Fatimah, tulang rusuk yang ku temukan berkat do`a darimu Ibu..Bapak...
Ibu.. Bapak... detik ini kau hantarkan anakmu ini menuju gerbang kebahagiaan. Fatimahkah bidadariku, ibu dari anak-anakku, pelipur lara dan gelisahku, pembawa suka dan bahagia dihidupku?. Ia-kah Fatimah, tulang rusuk yang ku temukan berkat do`a darimu Ibu..Bapak...
“Kita tinggal menentukan waktu yang tepat, setiap hari adalah baik, dan lebih
cepat akan lebih baik, bukan begitu Pak Budi?”
“Allhamdulillah jazakallahu khoiron khatsiron.. InsyaAllah, besok saya akan
kembali datang untuk meminang Fatimah...”
****
Ibu mengeluarkan sekotak perhiasan dari lemari tuanya, ia menyuruhku untuk
duduk ditempat tidurnya. Dengan senyum yang tak juga memudar dari sepulang kami
berkunjung ke rumah keluarga Fatimah, nampaknya Ibu sangat bahagia hendak
mendapatkan menantu seorang perawat seperti yang selama ini ia idam-idamkan.
“Ki, Ibu punya sepasang cincin untuk kalian...” Ibu perlihatkan cincin emas dan
perak yang bermatakan berlian ditengahnya.
“Ini cincin pinangan Bapak dulu, Ibu simpan rencananya untukmu... jadi kamu pakai ini dulu untuk meminang, biar nanti waktu pernikahan kamu maharkan emas yang baru untuk Fatimah... bukan maksud kita pelit atau apa, tapi Ibu mohon kabulkan permintaan terakhir Ibu ini, biar kalian pakai cincin kenangan Ibu dan Bapak dulu...”
“Ini cincin pinangan Bapak dulu, Ibu simpan rencananya untukmu... jadi kamu pakai ini dulu untuk meminang, biar nanti waktu pernikahan kamu maharkan emas yang baru untuk Fatimah... bukan maksud kita pelit atau apa, tapi Ibu mohon kabulkan permintaan terakhir Ibu ini, biar kalian pakai cincin kenangan Ibu dan Bapak dulu...”
Embun-embun dipelupuk mata Zulki berlinangan. Tanpa mengucapkan sepatah katapun
ia rangkul tubuh ibunya ke dalam pelukan. Malam ini, resapan damai menyeruak.
Kapan terakhir ia memeluk Ibunya? Seingatnya sejak kuliah diluar kota ia tak
lagi lakukan hal ini pada Ibu, selain karena rasa malu pula. Hanya kebiasaaan
Ibunya saja yang tak berubah; mencium ubun-ubun.
****
Bintang perpedar cantik keliling bulan sabit di angkasa, malam kemarin Zulki
tak bisa menutup mata karna memikirkan hari indah ini. Banyak yang tak dinyana
dalam hidupnya, sebab pencarian pendamping tak perlu ia gunakan waktu lama
serta sia-sia. Allah telah menakdirkan adanya Fatimah, lewat hati yang baik Ibu
dan Bapak juga Abi dan Uminya Fatimah menerima dirinya meski baru sebatas
mahasiswa yang sedang menunggu waktu wisuda. Namun, orangtua Fatimah adalah
orang bijaksana. Tak dipandangannya status kekayaan dan kesuksesan financial,
cukuplah bekal ilmu agama dari orangtua Zulki yang baik menjadi pertimbangan
utama.
Cincin di jari manis Fatimah telah tersematkan, tentunya bukan Zulki sendiri yang melingkarkan cincin cantik itu, sebelum halal dilarang menyentuh. Agar semakin istimewa Fatimah bagi Zulki, terjaga harkat dan martabatnya. Tanggal pernikahanpun sepakat ditentukan, tunggu satu bulan kedepan keduanya akan segera melepas masa sendiri. Tak akan disia-siakan waktu ini untuk makin memantaskan diri lahir dan batin untuk menyongsong kebahagiaan dunia akhirat yang teridhoi Ilahi.
Cincin di jari manis Fatimah telah tersematkan, tentunya bukan Zulki sendiri yang melingkarkan cincin cantik itu, sebelum halal dilarang menyentuh. Agar semakin istimewa Fatimah bagi Zulki, terjaga harkat dan martabatnya. Tanggal pernikahanpun sepakat ditentukan, tunggu satu bulan kedepan keduanya akan segera melepas masa sendiri. Tak akan disia-siakan waktu ini untuk makin memantaskan diri lahir dan batin untuk menyongsong kebahagiaan dunia akhirat yang teridhoi Ilahi.
Sementara waktu berputar tanpa terasa, tiba saatnya untuk Zulki dan keluarga
pamit undur diri dihantar senyum mengembang dari orangtua Fatimah yang mengantar
sampai pelataran gerbang rumah megah itu.
“Semoga apa yang kita lakukan menjadi amal baik, putra-putri kita diridhoi untuk membina keluarga serta menyambungkan persaudaraan kita...” Kata Pak Salam seraya menjabat tangan calon besannya, Pak Budi.
“Aamiin Ya Rabbal Alamin...”
****
Kematian tak akan lepas
jauh dari denyut jantung yang berdetak pertanda kehidupan. Pun jodoh, seberapa
indah rencana manusia tetaplah Allah yang menentukan. Dihari baik itu, malaikat
maut datang menjembut Pak Budi dan Bu Rahayu dalam sebuah kecelakaan lalulintas
tanpa Allah berikan waktu bagi keduanya saksikan pernikahan putra bungsunya.
Waktu yang tak sebentar untuk Zulki rangkul kepingan hati yang tiada dalam
jasad kedua orangtuanya.
Fatimah adalah pelipur lara harapannya. Perempuan yang dipilihkan kedua
orangtuanya untuk menemani masa kesendiriannya. Sampai, sore sehabis hujan di
akhir Oktober Zulki datang ke rumah Fatimah untuk membicarakan soal pernikahan
yang sempat tertunda.
“Nak, Fatimah mau ngomong langsung dengan Nak Zulki...” Umi Rina mempersilahkan Zulki masuk ke dalam rumahnya, tak seperti biasa kali ini Fatimah ingin berbicara langsung. Selama ini baik Fatimah maupun Zulki sepakat untuk mengurangi intensitas komunikasi, memilih kedua orangtua mereka menjadi pelantara.
“Mas Zulki, saya mohon dimaafkan.. saya tidak bisa melangkah ke jenjang
pernikahan dengan Mas Zulki...” Sehabis itu Fatimah berdiri dari duduknya, ia
berbalik lalu lari meninggalkan ruangan.
Umi Rina saat itu terlihat menghapus genangan air matanya, ada rasa sakit
menyesak saat pertama kali mendengar keputusan putri sulungnya. Apalagi Pak
Salam bersikeras menentang keinginan Fatimah, sampai terjadi percekcokan
dirumahnya malam kemarin. Fatimah memilih jujur apa kata hatinya, getaran
pertama yang dirasakannya tak bersumberkan cinta melainkan ketertarikan awal
pada lawan jenis berdasarkan kecakapan fisik yang dimiliki Zulki, selebihnya
Fatimah merasakan adanya Zulki sebagai bayangangan yang mengganggu
hari-harinya. Tak ada ketenangan hati, setelah acara peminangan itu.
“Tolong.. Umi dan Abi pahami.. jika, Fatimah tetap menikah dengan Mas Zulki.
Fatimah hanya menabung dosa karena tak mampu memberikannya cinta hakiki seorang
istri pada suaminya...”
****
Dengan tangis yang membakar sekujur hatinya, Zulki pulang meninggalkan rumah
calon istrinya yang tak jadi. Ingin cepat ia sampai dirumahnya, lalu melihat
pantulan wajahnya dicermin.
“Salam rindu dari dunia.. Bu..Pak...”
-SELESAI-
Sanding-Garut
3 November 2013