Secangkir Kopi Rindu
Retno
Novita S
Rerintik yang sedari subuh belum
tunjukan binar-binar matahari. Bogor
yang mendung, selalu lembab oleh hujan. Gaida menghela nafas panjang, didekapnya
sebuah buku tipis berisi deretan menu kopi.
A sweet memori, meminum kopi semanis
mengingat kenangan. Siapapun yang sedang patah hati datanglah ke kedai yang
telah beroperasi selama tiga tahun ini. Pemiliknya seorang perempuan cantik
berusia matang yang telah matang pula urusan cinta. Setelah urung menikah untuk
ke dua kali, kemudian ditinggal suami tercinta karna sebuah kecelakaan, belum
terhitung kisah cintanya yang selalu kandas berujung pada pengkhianatan, air
mata seolah telah kering di pelupuk Gaida. Ia yang seorang pecandu kopi memulai
hari barunya dengan menjadikan kesedihannya sebagai lahan usaha.
Siapapun yang datang ke kedainya
harus merasakan bahagia. Begitu ucap Gaida saat pertama kali ide mengemuka. Ia
akan membuatkan kopi manis dengan rasa khas yang tidak bisa ditemui di
kedai-kedai kopi lainnya, sebab ada air mata yang berusaha dihapus di setiap
adukannya, ada ketabahan yang dituang dalam setiap tetesnya, ada rasa manis
yang coba dibaginya bukan hanya dari gula namun suka cita rasa. Semua demi
kebahagiaan, demi menghilangkan rasa sesaknya patah hati.
“Selamat sore ada yang bisa saya
bantu?” Tanya Gaida pada seseorang yang sudah duduk selama 10 menit di meja
yang menghadap kolam.
“Saya pesan kopi manis” jawabnya
pelan, kemudian mata pelanggan baru dan Gaida bertemu. Gaida dengan bulu
matanya yang rintik mengulas sebuah senyum lalu dengan cepat tangannya mencatat
pesanan, memastikan kembali jumlah dan jenis pesanan, mengucapkan permohonan
menunggu maksimal sepuluh menit kemudian pamit undur diri.
Ini adalah pertemuan pertamanya yang
kemudian mengiringi pertemuan-pertemuan berikutnya. Nama pelanggan baru itu,
Satria. Gaida memanggilnya Mas Satria, ia seorang karyawan swasta yang
perusahaannya terletak di seberang kedai kopi. Setiap pulang kerja Satria
menyempatkan diri untuk datang ke kedai dan disambut oleh kehalangatan milik
Gaida yang memperlakukan semua pelanggannya dengan baik.
“Saya sering ke sini bukan karena
sedang patah hati…” ucap Satria, kali itu ia datang sekitar pukul empat sore,
saat kedai tengah sepi.
Gaida menjatuhkan badannya di kursi
seberang Satria, ia mengerutkan keningnya, tak lama lelaki di depannya
melanjutkan cerita,
“Aku mencintai istriku sesempurna
hati yang aku miliki, yang semuanya aku berikan untuk istriku. Dia amat cantik
dan piawai membuatku bahagia, senyum dan tawa yang setiap hari terukir selalu
remajakan rasa cintaku padanya. Dia mengorbankan hidupnya untukku sejak sepuluh
tahun lalu, melayaniku dengan telaten, memperhatikan seluruh kebutuhanku dari
habisnya gel rambut sampai lipatan kemejaku ini. Istriku tak pernah marah, tak
pernah menolak kemauanku, dia sosok yang sempurna untukku”
Gaida menyondongkan tubuhnya melihat
lebih dalam mata Satria yang menyembunyikan banyak perasaan. Sekilas Gaida
perhatikan lipatan setrika kemeja Satria yang sangat rapi juga rambutnya yang
mengkilap oleh gel. Sementara oleh angin yang berhembus harum parfum khas
lelaki tercium hidung Gaida. Jika, diberi penilaian angka sembilan koma lima bisa diberikan untuk
Satria.
“Aku mengenal dia sejak masa kuliah,
istriku adik kelas yang dulu aku ospek. Keluguannya dari awal telah menarik
perhatianku tapi aku tak berani mendekatinya apalaginya mengajaknya jalan, aku
hanya tahu nama dia Syahdu seraya sesekali memperhatikan perkembangannya di
kampus. Dia ternyata tumbuh menjadi seorang aktivis, keluguan yang pertama aku
lihat berubah menjadi semangat. Syahdu sangat vokal memperjuangkan hak-hak
mahasiswa juga rakyat kecil, semasa dia menjabat di organisasinya entah berapa
bakti sosial yang berhasil diusungnya. Tak luput, aku dengar dari
teman-temanku, prestasi belajarnya baik dan yang paling penting dia tak pernah
terjerat gossip merah muda, Syahdu seorang jomblowati hahaha”
Gaida ikut tertawa, gerahamnya yang
kokoh kian mendewasakan tampilan Satria. Biar
ku tebak, usianya belum mencapai kepala empat. Aku pedam pertanyaan besar,
untuk apa kamu menceritakan, Syahdumu?. Aku bersabar… sebab pasti ada hal besar
pula yang menjadi alasannya, Lirih Gaida dalam hati.
“Akhirnya dua tahun selulus kuliahku,
aku mengubungi Syahdu yang pada waktu itu telah menyelesaikan kuliahnya. Aku berjanji
untuk datang menemuinya, langsung bertemu orangtuanya yang tinggal bersamanya
di desa, ya, Syahdu selulus kuliah mengabdikan diri di tempat kelahirannya. Syahdu
yang lembut, dia bersemangat mengembangkan lahan pertanian orangtuanya dan
menjadi guru sekolah dasar di sana”.
Gaida melirik jam tangannya, sudah
15 menit dirinya duduk di sini mendengarkan cerita lelaki yang baru ia kenal
tak lama ini, matahari sudah mulai redup sementara Gaida tidak merasakan
tanda-tanda berakhirnya obrolan ini, satu dua pengunjung kemudian keluar digantikan
pengunjung-pengunjung yang lain, sekilas Gaida melihat keadaan kedainya para pelayan
sibuk melayani pengunjung. Gaida menghirup napas lalu oleh tangannya ia panggil
salah seorang pekerjanya.
“Maaf, Mas Satria mau tambah kopi
lagi?”
Satria menggelengkan kepalanya, “Aku
mau kamu bertemu Syahdu…”
“Saya?”
Satria tersenyum simpul seraya
menganggukkan kepala.
***
Gaida menutupi mata kirinya, lembayung
sore menyilaukan pandangannya. Mobil
yang dikemudikan Satria melaju melintasi jalan Pajajaran kemudian belok ke
sebelah kiri memasuki jalan Bantar Jati yang dipenuhi oleh kedai-kedai makanan,
tiba di lampu merah kemudian Satria membawa mobilnya melaju di jalan Pandu
Raya.
“Aku perlu keberanian besar sampai
akhirnya bisa mengajakmu bertemu Syahdu, sejak awal aku melihat kamu kemudian
hari-hari berikutnya aku datang ke kedai sampai hari ini aku mau mendengar
ceritaku tentang Syahdu”
Ucapan Satria menggantung sementara
Gaida menunggu lebih lanjut, matanya menatap lekat wajah Satria yang terlihat
manis, Satria menyunggingkan senyum.
“Kita sudah sampai….” Kata Satria
membuyarkan tatapan lekat Gaida.
Satria lantas mengajak dirinya memasuki
pelataran rumah bergaya Victoria.
Rumah yang luas dan mewah berdiri gagah namun hening tak ada sedikitpun suara
yang terdengar. Memasuki ruang tamu Gaida melihat bingkai-bingkai foto dan
lukisan, salah satunya foto seorang perempuan yang sedang tertawa lepas di
tengah sawah yang menguning warnanya, tangannya memegang selendang hijau yang
terterbangkan angin.
“Ya, itu Syahdu….” Seru Satria
seperti tahu pikiran Gaida,
“Syahdu di hari-hari pertama
pernikahan kami, lihat mata coklatnya yang berbinar jernih, juga senyum
lepasnya, itu yang membuatku jatuh cinta”
Setelah mengucapkan kata-kata itu
Satria lalu menunduk, suasana yang hening menjadikan apapun suara kecil yang
keluar menjadi jelas terdengar. Satria terisak. Ya Tuhan, ada apa lagi ini?.
Tangan Satria kemudian menggenggam
jemari tangan Gaida, diperlakukan seperti itu jelas saja Gaida kaget lalu
berusaha melepaskan genggaman tetapi Satria balas menggenggam lebih erat. Ia
membawa Gaida menyusuri ruangan demi ruangan rumah besar itu sampai keduanya tiba
di belakang rumah. Sebuah bungalau yang dipenuhi bunga anggrek. Seorang
perempuan duduk di kursi roda memutar kepalanya melihat kedatangan Satria dan
Gaida, perempuan itu tersenyum hangat, sementara Satria melepaskan genggaman
tangannya dari Gaida untuk menghampiri perempuan yang tak lain adalah Syahdu.
Dengan penuh kelembutan Satria mencium pipi Syahdu.
“Gaida, perempuan yang selama ini
aku ceritakan, Mam….” Bisik Satria di telinga Syahdu.
Untuk ke dua kalinya Syahdu
tersenyum lalu Satria mendorong kursi rodanya menuju Gaida yang berdiri
mematung. Syahdu menggapai jemari Gaida dengan susah payah, mencoba menggenggamnya
penuh kehangat seorang sahabat.
“Syahdu terkena stroke, lumpuh dan
tidak bisa bicara….” Ucap Satria,
“Dari tahun-tahun yang lalu Syahdu
memintaku untuk kembali menikah, Syahdu terlalu takut dengan sakitnya ia tidak
bisa mencintaiku dengan sempurna….” Satria tidak bisa melanjutkan kata-katanya
dia memeluk Syahdu dari belakang, terisak kuat di pundak istrinya.
“Aaa—kkkk-uu…. Mmm---aaa—u… Gaiii---dd-aa… ttt—emm-an---i….
Maa-ss Saa---trriii-aaa….”
Tenggorokan Gaida tercekat, tanpa
mengucapkan kata apa-apa ia berlari meninggalkan Satria dan istrinya, Syahdu.
Ia butuh kopi racikannya, di kedai miliknya.
Saat dirinya terpatah-patah oleh
cinta, di dekatnya tercipta pasangan yang memperjuangkan cinta. Mata Gaida
menyapu seisi ruangan kedai, banyak cerita yang telah didengarnya selama ini
dari para pengunjung kedainya, banyak air mata yang telah mengering di sini,
apakah kerinduan akan pula terobati oleh racikan kopi buatannya?. Gaida
membenamkan wajah, ia hanya ingin menangis memutar kisahnya seraya menyesap
kopinya perlahan sampai tandas.
-TAMAT-
Bogor, 26 Juni 2015
note: cerpen ini dimuat di Radar Bogor, 12 Agustus 2015
sepertinya cerpen terakhir yang ditulis di komputer lab :D
makasih buat sirs yang gak jadi matiin wifinya,