Bismillah..
Malam ini saya ingin memutar ingatan ke belakang, menyamakan keadaan dengan kondisi saya saat ini.
Kurang lebih satu bulan,
kedekatan saya dengan gadis kecil yang baru duduk di bangku PAUD ini terjalin, Kaureena namanya. Kedekatan yang membawa perasaan saya menyadari banyak kekeliruan dalam menghadapi anak-anak.
Kaureena hanya seorang sedang dulu saya membersamai sekitar dua puluh anak. Bermain bersama anak-anak bukan hal baru, sebab selain bertemu di mesjid mereka pun senang datang ke rumah mengajak bermain. Tapi karna lelah habis pulang kuliah atau dinas sering kali saya ucapkan nada pilu pada mereka "Teteh cape.. wios iraha2 deui? engke pan pendak di mesjid" dikatakan begitu mereka ngerti dengan tidak bersuara keras lagi "Teh Enooooo" tapi mereka tak beranjak malah main di teras rumah, tak apalah....
ke dua, seringnya saya ucapkan "ulah bangor.. ulah harereuy wae.. ulah gogorowokan wae... dan ulah bla bla bla yang lainnya"
Encep pernah dengan nanarnya berkata "Teh Eno mah pilih kasih!", saya sedih sekali mendengarnya namun bukankah ucapan anak adalah kejujuran yang sumbernya dari hati?.
kekeliruan saya yang lain adalah tak paham perasaan anak. Keyla yang sering sekali menangis akan diam jika saya hampiri lalu menggendonya tapi itu hanya satu dua kali saya lakukan karena anak yang lain masih menunggu saya dengan harapan ingin cepat pulang, selebihnya saya meminta anak yang lebih besar untuk menenangkan.
Dan, Kaureena.
senyum ceria seperti dia lah yang seharusnya anak-anak dapatkan, perhatian untuk didengar dan kebebasan berexpesi yang harusnya mereka dapatkan pula.
Seharusnya saya dulu tak perlu membawa penggaris kayu yang panjang untuk diketukkan ke atas bor jika mereka sulit dikendalikan, saya hanya perlu menghampiri lalu duduk mendengarkan.
Saya merasa terlambat untuk melakukan itu semua, membuat mereka bahagia selayaknya dunia anak yang penuh warna. Mewujudkan keinginan mereka, memahami yang mereka inginkan bukan hanya saya sendiri yang bahagia atas kedekatan mereka.
Terlebih bagi saya,
yang esok lusa jika Allah mengijinkan ingin sempurnakan dipanggil "Ibu" bukan hanya panggilan "Teh Eno".
Pelajaran berharga...
Belajar dari Kaureena
Kamis, 25 Desember 2014
Sabtu, 06 Desember 2014
Bismillah..
Tulisan ini dibuat sebagai ucapan selamat untuk sahabat saya Kang Gielang yang beberapa hari yang lalu memperingati tiga tahun bisnis fashion designernya.
Fashion designer yang miliki label dagang "Acuk La2ki" dan berpusat pada kain batik Garutan ini memang ciamik. Oke, ini di mata saya sebagai konsumen ya bukan teman. Kang Gielang Setraa memang lihai memadu padankan batik dengan model yang anak muda banget. Contohnya koko sorban yang Ramadhan tahun kemarin jadi produk andalannya. Saya kalau punya suami pengen banget beli ini baju soalnya unik.
Saya yang kalau bertemu suka denger cerita bisnisnya kadang suka berpikir sendiri "Iiiih keren! hebat pisan! dari modal nol sampai punya label dagang sendiri". Oh paneslah ownernya juga pantang menyerah, sikat mang sikat!. Kang Gielang yang selalu semangat menceritakan perjalanan bisnisnya, matanya berbinar kala menuturkan cerita. "Neng, Akang nyampe ditanya ku Teteh JNEna. Kirim apa, Mas? baju, koko sorban! ooh coba lihat saya mau pesen buat suami". Halaaah nyampe segitunya kan? :D.
Oke lah, daripada saya citcat terus nyeritain.. mending lihat karyanya sendiri aja yuk, cekidot.
Selamat Akang, sukses sukses sukses!
Seperti kata kita di Penulis Muda Garut; bermimpi dan wujudkan!
Tulisan ini dibuat sebagai ucapan selamat untuk sahabat saya Kang Gielang yang beberapa hari yang lalu memperingati tiga tahun bisnis fashion designernya.
Fashion designer yang miliki label dagang "Acuk La2ki" dan berpusat pada kain batik Garutan ini memang ciamik. Oke, ini di mata saya sebagai konsumen ya bukan teman. Kang Gielang Setraa memang lihai memadu padankan batik dengan model yang anak muda banget. Contohnya koko sorban yang Ramadhan tahun kemarin jadi produk andalannya. Saya kalau punya suami pengen banget beli ini baju soalnya unik.
Saya yang kalau bertemu suka denger cerita bisnisnya kadang suka berpikir sendiri "Iiiih keren! hebat pisan! dari modal nol sampai punya label dagang sendiri". Oh paneslah ownernya juga pantang menyerah, sikat mang sikat!. Kang Gielang yang selalu semangat menceritakan perjalanan bisnisnya, matanya berbinar kala menuturkan cerita. "Neng, Akang nyampe ditanya ku Teteh JNEna. Kirim apa, Mas? baju, koko sorban! ooh coba lihat saya mau pesen buat suami". Halaaah nyampe segitunya kan? :D.
Oke lah, daripada saya citcat terus nyeritain.. mending lihat karyanya sendiri aja yuk, cekidot.
![]() |
owner n dua modelnya |
Seperti kata kita di Penulis Muda Garut; bermimpi dan wujudkan!
Minggu, 30 November 2014
Bismillah...
Ahad di Bogor kali ini ramai oleh suara angin, dari semalam angin bertiup kencang. You know lah di sini banyak pepohonan jadi makin berjaya si angin. Semoga keselamatan senantiasa Allah curahkan.
Saya ingin cerita kabar bahagia, atas ijin Allah sahabat saya yang terkenal tomboy, ucrad acred haha, hobinya pakai celana jens meski kadang suka pakai rok juga hehe dengan kerudung gemblus atau segi empat yang dipasang sekenanya, sekarang berubah jadi lebih anggun. Bahkan sahabat saya pakai kaos kaki!. Alhamdulillah segala puji bagi Allah. Kerudung pun yaa dia gunakan menutupi dada plus bros hihi, dulu paling ogaaaah kaya gitu.
Allah,
InsyaAllah keimanan pada Allah bertambah, berpenampilan syar'i bukan nampak dari luarnya saja. Ini menyoal keputusan untuk satu langkah lebih taat pada Sang Pemilik Hidup. Hingga Allah karuniakan dia sebuah ujian. Yaap. Sama halnya seperti saya, sekarang dia menjadi anak rantau dan tinggal dengan beberapa temannya yang berbeda kota. Qodarullah, sahabat satu kamarnya terjadi kecelakaan lalu lintas dan meregang nyawa. Betapa sakit hatinya setelah satu minggu sebelumnya Almarhummah minta untuk diajarkan baca Qur'an namun belum terpenuhi. Semoga amal kebaikannya Allah terima dan sahabat saya dikuatkan hatinya.
Allahurabbi...
Engkau yang Maha Berkehendak.
Ahad di Bogor kali ini ramai oleh suara angin, dari semalam angin bertiup kencang. You know lah di sini banyak pepohonan jadi makin berjaya si angin. Semoga keselamatan senantiasa Allah curahkan.
Saya ingin cerita kabar bahagia, atas ijin Allah sahabat saya yang terkenal tomboy, ucrad acred haha, hobinya pakai celana jens meski kadang suka pakai rok juga hehe dengan kerudung gemblus atau segi empat yang dipasang sekenanya, sekarang berubah jadi lebih anggun. Bahkan sahabat saya pakai kaos kaki!. Alhamdulillah segala puji bagi Allah. Kerudung pun yaa dia gunakan menutupi dada plus bros hihi, dulu paling ogaaaah kaya gitu.
Allah,
InsyaAllah keimanan pada Allah bertambah, berpenampilan syar'i bukan nampak dari luarnya saja. Ini menyoal keputusan untuk satu langkah lebih taat pada Sang Pemilik Hidup. Hingga Allah karuniakan dia sebuah ujian. Yaap. Sama halnya seperti saya, sekarang dia menjadi anak rantau dan tinggal dengan beberapa temannya yang berbeda kota. Qodarullah, sahabat satu kamarnya terjadi kecelakaan lalu lintas dan meregang nyawa. Betapa sakit hatinya setelah satu minggu sebelumnya Almarhummah minta untuk diajarkan baca Qur'an namun belum terpenuhi. Semoga amal kebaikannya Allah terima dan sahabat saya dikuatkan hatinya.
Allahurabbi...
Engkau yang Maha Berkehendak.
Minggu, 23 November 2014
Bismillah...
Bogor, 16 November 2014.
Ahad
di Bogor, ini minggu pertama, sekarang saya resmi tinggal di kota hujan ini
setelah sekian waktu mendekapnya sebagai harapan. Kata Mamah keyeng tangtu pareng ternyata iya memang
begitu manusia berharap, jika selurus dengan kehendak Allah mimpi InsyaAllah
terwujud, semuanya akan Dia beri jalan. Meski dampaknya harus jauh dari
orangtua tapi tetap sekali lagi jika ini adalah kehendak Allah pasti akan temui
kebaikan. Misalnya sudah pasti saya dituntut mengurus hidup seorang diri, dari
bangun sampai tidur. Segalanya saya pikirakan sendiri, makan sama apa, jam
berapa, masak apa. Tapi, Alhamdulillah saya bersama teman saya; Ici dan Rinrin,
teman satu kampus yang sekarang jadi teman satu kamar. Jadi, enggak sepi lah
:D.
Untuk
bisa diterima masuk kerja di salah satu rumah sakit swasta di kota Bogor ini,
beberapa kali saya bolak-balik Garut Bogor. Test tulisan dan test lisan tanggal
4 November, habis test langsung pulang ke Garut, dua hari kemudian dapat
panggilan lagi untuk segera medical check up. Ya Allah, sudah merasa remuk
badan, saya pun tidak bisa menutup wajah malu pada tempat kerja saya
sebelumnya. Sudah saya utarakan ingin segera resign tapi dr.Natri yang
baiiiiiik sekali itu malah mau nunggu sampai saya betul-betul keterima di
Bogor. Finally, esoknya saya berangkat untuk bekerja di rumahsakit Bogor,
malamnya saya baru resign dari klinik di Garut setelah ngebut kerjakan laporan
yang selama bolak balik keteteran.
Tralalaaa...
Setelah sedih-sedihan perpisahan sama Bi Enur dan Sarah yang sampai sekarang
masih perhatian mengingatkan saya supaya jangan lupa makan, terbukti saya bisa
makan baik. Siapa bilang anak kosan makan warteg dan mie instan terus? Ini
buktinya saya makan sayur mayur :D. Berhubung kita bertiga (Saya, Ici dan
Rinrin) doyan makan terus Mamah saya bawa kompor listrik, di dekat kosan ada
tukang sayuran, jadi tiap lapar ya kita masak! :D. So, jangan khawatir saya di
sini jadi langsing hihihi. Meski untuk peralatan kita lagi nyicil-nyicil buat
beli, rapopo kan ya? :D.
Alhamdulillah...
Hidup
sendiri seperti ini membuat saya berusaha ingin dekat dengan Allah, menggantungkan
hidup, menitipkan apa yang ada dalam diri saya dan keluarga kepadaNya.
Mengobati rindu, menebalkan ketabahan, karena bukan hal yang mudah bagi anak
seperi saya. Iya, saya tak miliki apa-apa sekarang, tak minta sesuatu yang
besar selain limpahan kasih sayangNya.
Rosululllah
SAW Bersabda : “Allah SWT itu santun dan pemurah. Dia merasa malu pada
hamba-Nya, jika hamba-Nya mengangkat kedua tangannya, memohon pada-Nya,
kemudian membiarkan kedua tangan hamba itu kosong (tidak dikabulkan)”.
Iya,
rindu sekarang berubah doa...
Betewe,
sahabat2 saya apa kabar ya? salam kangeeeen....
Kamis, 13 November 2014
Bangun.
Harum bunga mawar tercium sampai kamar, aku menoleh pasti karena jendela yang
lupa aku tutup semalam, gigil angin dingin merambat sampai tulang-tulangku.
Harum mawar dari taman milik ibu yang terletak di samping kamar belum usai
semerbakkan kamarku ini sementara telingaku menangkap bebunyian air yang jatuh
ke tanah juga hembusannya yang ku bayangkan menyiram bunga-bunga itu. Dengan
langkah yang berat aku turun dari kasur untuk menutup jendela, pagi ini aku
ingin tidur atau bahkan biarkan 24 jam putaran waktu hari ini aku diam dalam
kamar. Kepala seolah berputar, pusing tiada ketara meski jendela hanya berjarak
tiga langkah dari tempat tidur namun tubuhku bak tak bisa menopang langkah
kakiku. Jendela yang letaknya percis berhadapan dengan meja kecil tempatku
biasa menulis surat cinta untuk pujaan yang tak mampu ku ungkapkan lewat lisan.
Menuju jendela sama dengan aku duduk di meja itu yang artinya aku urai lagi
tangis semalam yang belum sirna. Lihat mataku di bayang cermin, sempurna
sembab, bengkak, rapat, saking derasnya cucuran air dari dalam mataku.
Benar-benar ngilu, benar-benar
sakit, terlebih saat aku berdiri tepat di depan jendela pun di depan meja yang
berantakan oleh kertas-kertas warna merah muda. Semalam aku curahkan seluruh
isi hatiku, hati yang tiga tahun ini terjejal oleh harapan cinta, bunga-bunga
yang tumbuh dalam hatiku, hari demi hari yang malamnya ku tutup dengan
penantian, maka ku tulis gejolak rasaku dalam keras, lantas aku tidur ditemani
dengan bayang kehadiran seorang dia yang selama ini aku kagumi dalam diam,
kemudian mimpiku adalah miliki dia seutuhnya, hidup dalam kebahagiaan aku dan
dia dalam sakralnya pernikahan.
Dan semua rutinitas malam hariku
harus aku pupus secara paksa semenjak hari kemarin saat amplop yang bewarna sama
merah muda sampai ke tanganku.
“Kantor sepi sekali Sa, pada kemana
ya?”
Elsa menghiraukan pertanyaanku kami
berdua menunggu pintu lift terbuka sampai masuk ke dalam lift aku edarkan
pandang, dalam lift ini hanya ada aku dan Elsa sementara hari-hari biasanya
penuh oleh sesama rekan kerja.
“Sa....”
“Apa Sof?”
“Iya, orang-orang pada kemana sih?”
“Kamu nanyain semua orang atau cuman
cari satu orang yang dari awal pintu masuk sampai lift ini belum kamu lihat?”
Aku mengernyitkan dahi yang beberapa
detik kemudian berubah senyum di bibirku, Elsa tepat sekali.
“Sof, aku sebetulnya males tanyain
ini ke kamu soalnya kalimat yang keluar dari mulutku akan sama kaya sinetron
tapi ya... sudahlah sekali-kali, aku memang harus bertanya ke kamu langsung”
“O..em...ji Elsa mau nanya aja pake
prolog sinetron segala, apa-apa silahkan....”
“Kamu dari sejak kapan menganggap
aku sahabat?”
“Lama.. dari SMA bukan ya?”
“Oke fix, SMA sampai sekarang kerja
berarti 10 tahun, bukan begitu?”
“SMA 3 tahun, kuliah 4 tahun, kerja
sekarang 3 tahun....”
“Tapi... kenapa kamu tak pernah
bicara tentang rasa sukamu?! Aku jadi bingung, kamu menganggap aku sahabat atau
tidak... padahal jika terjadi apa-apa denganmu saat kamu senang aku akan jauh
lebih senang dan saat kamu sedih aku akan rasain dukanya, kamu terlalu
menyimpannya rapat... seorang diri.... cinta dalam diam yang kamu bilang”
Sreeeeet pintu lift terbuka, Elsa
melangkah ke luar sementara aku masih mencerna rentetan kalimat yang baru
selesai dia bicarakan, punggung Elsa semakin menjauh tanpa menoleh padaku tak
lama orang-orang masuk ke dalam lift, aku mundur ke belakang, ikuti alur lift
yang akan membawaku ke lantai berikutnya.
****
Ramai sekali lantai tempat ku
bekerja sebagai editor naskah berita, beberapa wartawan lalu lalang dengan
senyum yang merekah, Aldais wartawan baru yang namanya sedang naik daun karena
beritanya yang mengangkat kisah hidup seorang nenek tua renta di daerah pelosok
Jawa Barat hingga membuat perhatian dari pemerintah kini lambaikan tangannya
padaku.
“Ke sini Mbak Sof!”
“Apa Al? Kamu sudah setor naskah?”
“Sudah Mbak, tapi ini ada berita
yang lebih fenomenal.....”
Aku mendekat ke bilik kerja tempat
teman-temanku berkerumun. Semua memasang wajah senang bahkan ada yang sampai
berteriak-teriak saking expresif dengan
perasaannya. Ku lihat Winda yang terkenal dengan ke-lebayan-nya hingga
menitikkan air mata.
“Eh orangnya sekarang dimana ya? Gue
belum lihat....”
“Ah gila bikin penasaran aja suer!”
“Hahaha udah dipingit kaliiiii,
calon pengantin!”
Potongan percakapan yang ku dengar
selintas, pengantin? Siapa yang menikah?.
“Huhuhu... Sof, undangan buatmu aku
simpan di meja kerjamu! Liat gih supaya gak bengong gitu....” Winda berkata
padaku sambil menyeka air matanya, aku mengurungkan langkah ke kerumunan itu,
cepat aku balik badan dan berjalan ke bilik kerjaku.
Amplop warna merah muda yang di
bungkus plastik kemudian diberi stiker putih dengan tulisan; Kepada Latifa
Sofie. Sambil membuka bungkusan plastik aku jatuhkan tubuhku ke kursi tentu
dengan pikiran penuh tanya siapa gerangan pengundang pernikahan ini. Bersamaan
dengan satu tarikan nafas aku buka isi ampop itu dan ku baca jelas nama yang
tercantum di sana.
Cinta dalam diamku. Nama yang ku
sebut dalam puluhan surat merah mudaku sebelum tidur.
Radian Fajar Gumelar.
Kakak kelasku, kakak tingkatku dan
bosku di kantor.
Aku ingat kalimat yang Elsa katakan kamu terlalu menyimpannya rapat... seorang
diri.... cinta dalam diam yang kamu bilang...
Sekarang aku tak lagi diam, untuk
pertama kali nya aku curahkan isi hatiku, dalam tangis yang perlahan kemudian
mengundang perhatian seisi ruangan yang hening seketika. Orang-orang
mengerumuni bilik kerjaku, Elsa datang entah tahu dari siapa berita ini.
Mungkin sebelum aku mengatakannya dia sudah tahu aku telah mimpikan lelaki itu
menjadi pasangan hidupku. Masih dalam tangis yang mengundang iba dia membawa
aku ke dalam pelukannya.
****
Tok...tok...tok....
Suara ketukan pintu terdengar,
setelah melamunkan kejadian kemarin aku gagal kembali tidur, aku malah duduk di
meja ini di hadapan puluhan kertas merah muda yang amat berantakan. Aku lihat
jam digital yang menunjukan pukul 07.30, tak terasa satu jam aku melamun dan
sekarang mempelai pria mungkin sedang bersiap untuk pergi dari rumahnya.
Tok...tok...tok...
“Aku masuk ya?”
Suara Elsa, tak mengapa biarlah
waktunya dia tahu semuanya. Tanpa menunggu jawaban dariku pintu kamar terbuka,
sosok Elsa dengan rambutnya yang diikat satu sambil membuka kacamata silvernya
masuk, mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kamar kemudian tiba matanya
bersitatap denganku.
Aku menarik ujung-ujung bibirku
untuk tersenyum, lebih tepatnya memaksakan senyum. Elsa mendekat, dia kini bersimpuh
di lantai setengah duduk.
“Kusut sekali Sof....” katanya
dengan tangan yang memegang wajahku.
“Maafin aku ya Sa....” ucapku parau.
“Gak ada maaf-maafan Sof, kamu
sendiri yang sering bilang pilihan hidup selalu ada konsekuensinya”
“Hahaha jadi ini mungkin konsekuensi
buatku ya, diam dengan perasaan lantas tak mendapatkan cintaku...” aku tertawa
getir, tawa yang justru mengundang titik bening di sudut mata Elsa.
“Tuhkan Sa, maaf ya....”
Elsa cepat menggelengkan kepala dia
lalu berdiri dan memegang pundakku.
“Sof, aku ke sini tak akan memintamu
menceritakan bagaimana perasaanmu, sejak kapan rasa itu tumbuh dan seperti apa
wujud mimpimu atau menuntut kenapa kamu tidak bercerita sedikitpun padaku,
sebagai sahabat aku ingin mengajakmu hadapi kenyataan biar pahit namun harus
tetap kamu lewati. Kamu harus saksikan cinta yang kamu simpan bahagia dengan
cintanya, sebab sebagaimanapun cinta yang kamu miliki rencana Tuhan pada
makhluknya tak akan berubah dan kamu harus menerimanya, mulai dari detik
ini....”
“Maksudmu aku harus datang ke
pernikahan itu, Sa?”
“Jika kamu sanggup....”
****
Cinta.
Tak pernah terlintas sedetikpun
kejadian ini menimpa hidupku. Tuhan, tak pernah pula aku do’akan dia hidup
dengan yang lain terkecuali denganku. Tuhan tak mengabulkan do’aku karena Dia
tahu kebahagiaan aku dan dia tidak dalam satu ruang cinta.
Aku menarik napas panjang, beberapa
langkah lagi aku sampai ke pelaminan tempatnya dia dan yang sekarang menjadi
istrinya memasang senyum pada tamu-tamu yang datang.
“Makasih ya Sof, Elsa udah
dateng....”
“Sama-sama Mas!”
“Eh kita foto dulu yuk.. Sofie dan
Elsa ini teman sekolah sampai kantorku Yang, yuk foto!”
Blize kamera memotret kami, aku
berdiri di sampingnya dan memasang senyum. Aku tahu teman-teman kantorku yang
hari kemarin menyaksikan kejadianku mereka ada melihat kami. Aku harap semoga
mereka diam, mulai detik ini juga aku akhiri cintaku dan amat aku harap
kejadian ini cukup sebagai pengalaman pertama dan terakhirku. Aku ingin
bahagia, dengan jodohku yang Tuhan tetapkan.
-SELESAI-
Sabtu, 08 November 2014
Di bawah ini ada satu puisi yang membuat saya merinding. Mata saya panas saat membaca bait per bait diksi di
dalamnya, terlebih murobi bercucuran air mata saat mengulas kembali perjalanan dakwah. Sebuah puisi yang memiliki jiwa, memang tidak dirangkai dengan majas
atau perumpamaan namun ruh di dalamnya tak kuasa hentakkan dada.
Untuk aktivis dakwah mungkin tak asing dengan puisi
karya Ust. Rahmat Abdullah ini, tapi bagi saya pribadi yang baru membacanya, Ya
Allah hati tersayat....
Aku
Rindu Dengan Zaman Itu
Aku rindu zaman ketika “halaqoh” adalah kebutuhan,
bukan sekedar sambilan apalagi hiburan
Aku rindu zaman ketika “membina” adalah kewajiban,
bukan pilihan apalagi beban dan paksaan
Aku rindu zaman ketika “dauroh” menjadi kebiasaan,
bukan sekedar pelengkap pengisi program yang dipaksakan
Aku rindu zaman ketika “tsiqoh” menjadi kekuatan,
bukan keraguan apalagi kecurigaan
Aku rindu zaman ketika “tarbiyah” adalah pengorbanan,
bukan tuntutan dan hujatan
Aku rindu zaman ketika “nasihat” menjadi kesenangan,
bukan su’udzon atau menjatuhkan
Aku rindu zaman ketika kita semua memberikan segalanya untuk da’wah ini
Aku rindu zaman ketika “nasyid ghuroba” menjadi lagu kebangsaan
Aku rindu zaman ketika hadir di “liqo” adalah kerinduan, dan terlambat adalah kelalaian
Aku rindu zaman ketika malam gerimis pergi ke puncak mengisi dauroh
dengan ongkos ngepas dan peta tak jelas
Aku rindu zaman ketika seorang ikhwah benar-benar jalan kaki 2 jam di malam buta sepulang tabligh dakwah di desa sebelah
Aku rindu zaman ketika akan pergi liqo selalu membawa uang infak, alat tulis, buku catatan dan Qur’an terjemahan ditambah sedikit hafalan
Aku rindu zaman ketika seorang binaan menangis karena tak bisa hadir di liqo
Aku rindu zaman ketika tengah malam pintu depan diketok untuk mendapat berita kumpul subuh harinya
Aku rindu zaman ketika seorang ikhwah berangkat liqo dengan ongkos jatah belanja esok hari untuk keluarganya
Aku rindu zaman ketika seorang murobbi sakit dan harus dirawat, para binaan patungan mengumpulkan dana apa adanya
Aku rindu zaman itu,..
Aku rindu…Ya ALLAH,..
Jangan Kau buang kenikmatan berda’wah dari hati-hati kami…
Jangan Kau jadikan hidup ini hanya berjalan di tempat yang sama…
Aku rindu zaman ketika “halaqoh” adalah kebutuhan,
bukan sekedar sambilan apalagi hiburan
Aku rindu zaman ketika “membina” adalah kewajiban,
bukan pilihan apalagi beban dan paksaan
Aku rindu zaman ketika “dauroh” menjadi kebiasaan,
bukan sekedar pelengkap pengisi program yang dipaksakan
Aku rindu zaman ketika “tsiqoh” menjadi kekuatan,
bukan keraguan apalagi kecurigaan
Aku rindu zaman ketika “tarbiyah” adalah pengorbanan,
bukan tuntutan dan hujatan
Aku rindu zaman ketika “nasihat” menjadi kesenangan,
bukan su’udzon atau menjatuhkan
Aku rindu zaman ketika kita semua memberikan segalanya untuk da’wah ini
Aku rindu zaman ketika “nasyid ghuroba” menjadi lagu kebangsaan
Aku rindu zaman ketika hadir di “liqo” adalah kerinduan, dan terlambat adalah kelalaian
Aku rindu zaman ketika malam gerimis pergi ke puncak mengisi dauroh
dengan ongkos ngepas dan peta tak jelas
Aku rindu zaman ketika seorang ikhwah benar-benar jalan kaki 2 jam di malam buta sepulang tabligh dakwah di desa sebelah
Aku rindu zaman ketika akan pergi liqo selalu membawa uang infak, alat tulis, buku catatan dan Qur’an terjemahan ditambah sedikit hafalan
Aku rindu zaman ketika seorang binaan menangis karena tak bisa hadir di liqo
Aku rindu zaman ketika tengah malam pintu depan diketok untuk mendapat berita kumpul subuh harinya
Aku rindu zaman ketika seorang ikhwah berangkat liqo dengan ongkos jatah belanja esok hari untuk keluarganya
Aku rindu zaman ketika seorang murobbi sakit dan harus dirawat, para binaan patungan mengumpulkan dana apa adanya
Aku rindu zaman itu,..
Aku rindu…Ya ALLAH,..
Jangan Kau buang kenikmatan berda’wah dari hati-hati kami…
Jangan Kau jadikan hidup ini hanya berjalan di tempat yang sama…
*
Murobi,
orang-orang ikhlas yang membagikan ilmu, menyampaikan
nasihat dan meluangkan waktu. Ucapan murobi adalah kasih sayang, binaan
ibaratkan buah hati membuatnya seolah tak ingin kaki salah melangkah. Beri
perhatian, kesejukan dibalutan wajah bersih tanpa make up dan jilbab lebar
menjuntai ke lantai saat duduk. Ciuman pipi disertai ucapan diawal perjumpaan “Assalamualaykum
Ukhti” dan kalimat perpisahan yang menguatkan “Istiqomah yaa...” dengan
pegangan tangan erat.
Murobi,
jangan bayangkan mereka orang yang tak miliki kerjaan
hingga bisa luangkan waktu. Agenda mereka padat oleh pekerjaan dan kewajiban
sebagai istri dan ibu, tapi demi dakwah, demi generasi islami yang dimimpikan
semua menjadi perjuangan.
Di malam minggu ini yang melankolis,
izinkan saya berharap besar semoga Allah pertemukan
kita semua kelak di surga-Nya bersama terkasih Rosulullah. Hidayah milik Allah
namun lewat murobilah cahaya itu sampai, semoga pahala senantiasa mengalir....
Selasa, 04 November 2014
Pertama kali saya kenal kata RIBA sekitar dua tahun
lalu dari kedua teman saya. Maklum saya ini fakir ilmu namun merasa beruntung Allah perlihatkan langsung dari orang-orang di
sekeliling dengan pengalamannya yang nyata.
Saya cukup mengerutkan kening kala teman berbicara jauh
tentang bunga bank, tentang mundurnya ia dari perusahaan keluarga karena ingin
terbebas dari jeratan riba, juga teman saya yang satunya lagi setelah bekerja
dan penuhi kebutuhan keluarga dengan segera selesaikan semua urusan yang berbau
riba, bahkan kakak perempuannya dia paksa untuk berhenti bekerja di bank.
What?! Naon hela atuh eta riba teh...
Singkat saya riba itu menambahkan. Jadi, kalau minjam
uang nih ke bank terus ada bunga yang harus dibayar, nah bunga itu yang disebut
riba. Dari hadist disebutkan; Dari Jabir
ra, ia berkata. “Rasulullah saw melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, dua
saksinya dan penulisnya.” Dan Beliau bersabda, “Mereka semua sama.” (Shahih: Mukhtasar Muslim no: 955,
Shahihul Jami’us Shaghir no: 5090 dan Muslim III: 1219 no: 1598).
Dan hadist di bawah ini yang membuat saya merinding,
pertama karena bunyinya, kedua karena saya lihat lelehan air mata teman saya
saat menyampaikan.
Dari Ibnu Mas’ud ra bahwa Nabi saw bersabda, “Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu, yang
paling ringan (dosanya) seperti seorang anak menyetubuhi ibunya.”
(Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3539 dan Mustadrak Hakim II: 37).
“pokona No, pas abi apal... langsung telpon Mamah,
lunasan eta bunga bank, ulah pinjem-pinjem deui” ucap teman saya setelah kedua
telapak tangan menggosok wajahnya yang hujan air mata.
Kemudian untuk referensi silahkan cari buku SATANIC
FINANCE karya DR. Ahmad Riawan Amin. Bagaimana muslihat setan dijelaskan dengan
cara yang unik dan bahasa ringan.
Zaman sekarang dengan mudah bisa pinjam uang dari bank,
bahkan dengan tidak datang ke bankpun orang-0rang bank sudah mencari kita,
semua itu dilakukan demi keuntungan mereka namun di masyarakat sudah berubah maknanya
“atuh da mun teu ka bank kamana deui....” nah itulah yang Islam wanti-wanti,
kebebasan meminjam uang ke bank menjadikan manusia sedikit terlena dan tidak
mengindahkan syariat Islam dalam bermuamalah. Awalnya manusia disenangkan oleh
adanya bantuan uang namun setelahnya tenggorokan akan tercekik karena bunga
yang menggelembung, apalagi jika tak mampu membayar sesuai ketentuan wuaaaah
semakin besar bunga-bunga itu dan perlahan membuat manusia jatuh dalam
kemiskinan. Konon katanya mengapa negara kita sekarang seperti ini salah satunya
karena bentuk riba yang dilakukan di masa lalu.
Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin...
Semoga tangan-tangan kita dimudahkan untuk menolong
sesama,
semoga diri kita dijauhkan dari laknat riba,
ah dosa saya sudah menjulang jika sudah tahu salah satu
hukum, hindarilah bila larangannya jelas, ingat kembali pada tujuan; hidup bahagia dunia dan akhirat.
*
Agustus,
tanggal 13 tahun 2013 saya mulai tuliskan pemahaman saya mengenai riba lewat FIKMIN
di bawah ini.
Sajian di tengah riba
;Ibu, sekarang makan sama apa?
Selasar pagi menjadi lautan pilu ditengah tatapan gemintang putra cikal rupawan, Anakku
;Ini nafkah dariku
Derai keringat lembabkan kening kusam penuh kerutan, bibir dengan kumis tipisnya tersenyum, damai dan bahagia. Ayah anakku.
;Nak, kau hanya boleh menerima uang baik. Diperoleh dengan baik dan hukumnya menyelamatkan dunia serta akhiratmu
Amanahnya adalah sumber lampahku, ucapan bermakna besar ketika sungkem dipangkuannya digelar pada akad sakralku
*
Wahai Masku!
Aku masih menanti buliran suci dari hatimu, bukan sekadar sucinya cinta dan ungkapan kasihmu
Aku tak kan menjadi pemuja yang buta karena rasa perih ini tak dapat dijelaskan
Di dadamu aku terlelap musnahkan risau dan segala jenis nafsu duniawi
Di belakangmu aku adalah makmum yang lafalkan 'Aamiin' setelah lantunan Ummul Kitab kau lisankan, disana 7 pujian kau limpahkan dan pinta petunjuk jalan yang lurus kau mohonkan maka aku adalah pengikut terbahagia yang berdiri disana, karena tak lain Imamku yang panjatkan ayat indah itu
Hanya saja pada kau dan pengakuanku pada Tuhan,
Aku gelisah dengan caramu mencari nafkah;
duduk dibelakang meja berhiasa bunga mawar segar, ruangan sejuk oleh pendingin, kau tersenyum tampakkan gigi rapihmu ucapkan kalimat sapaan lalu seseorang duduk didepanmu. Lantas, kau bermain dengan pena, jemari yang senantiasa kau gunakan untuk menengadahkan do'a pada Tuhan kau pakai untuk hitung lembaran rupiah
Huufh, disini dirumah aku kenang golongan manusia pengerja riba dan siksa terkecilnya tak ubahnya seperti mezinahi saudara sebapak
Dan nampaknya aku selalu tak kuasa, hidangkan sajian untuk anakmu dari hasil yang Tuhan tak suka
Wahai Masku!
Pahamilah, bersuci dan tinggalkan
Selasar pagi menjadi lautan pilu ditengah tatapan gemintang putra cikal rupawan, Anakku
;Ini nafkah dariku
Derai keringat lembabkan kening kusam penuh kerutan, bibir dengan kumis tipisnya tersenyum, damai dan bahagia. Ayah anakku.
;Nak, kau hanya boleh menerima uang baik. Diperoleh dengan baik dan hukumnya menyelamatkan dunia serta akhiratmu
Amanahnya adalah sumber lampahku, ucapan bermakna besar ketika sungkem dipangkuannya digelar pada akad sakralku
*
Wahai Masku!
Aku masih menanti buliran suci dari hatimu, bukan sekadar sucinya cinta dan ungkapan kasihmu
Aku tak kan menjadi pemuja yang buta karena rasa perih ini tak dapat dijelaskan
Di dadamu aku terlelap musnahkan risau dan segala jenis nafsu duniawi
Di belakangmu aku adalah makmum yang lafalkan 'Aamiin' setelah lantunan Ummul Kitab kau lisankan, disana 7 pujian kau limpahkan dan pinta petunjuk jalan yang lurus kau mohonkan maka aku adalah pengikut terbahagia yang berdiri disana, karena tak lain Imamku yang panjatkan ayat indah itu
Hanya saja pada kau dan pengakuanku pada Tuhan,
Aku gelisah dengan caramu mencari nafkah;
duduk dibelakang meja berhiasa bunga mawar segar, ruangan sejuk oleh pendingin, kau tersenyum tampakkan gigi rapihmu ucapkan kalimat sapaan lalu seseorang duduk didepanmu. Lantas, kau bermain dengan pena, jemari yang senantiasa kau gunakan untuk menengadahkan do'a pada Tuhan kau pakai untuk hitung lembaran rupiah
Huufh, disini dirumah aku kenang golongan manusia pengerja riba dan siksa terkecilnya tak ubahnya seperti mezinahi saudara sebapak
Dan nampaknya aku selalu tak kuasa, hidangkan sajian untuk anakmu dari hasil yang Tuhan tak suka
Wahai Masku!
Pahamilah, bersuci dan tinggalkan
Langganan:
Postingan (Atom)