Pertiwi
meneguk air mineral kemasan, satu tegukan yang seketika membuat kerongkongannya
segar. Terik matahari pukul satu siang menyalakan semangatnya. Seorang aktivis
yang menjadi orator dalam aksi mahasiswa yang mengepung Istana Bogor. Mahasiswa
semester akhir yang sebetulnya telah kenyang urusan demonstrasi tetiba
menggeliat kembali, urusan skripsi yang sedang digarapnya menjadi kabur,
idealisme Pertiwi meluap setelah satu demi satu bukti pemerintah era sekarang
berlaku ganjil.
“Pertiwi… saya ingatkan kembali hari
ini bimbingan terakhir dengan saya” ucap seorang lelaki dengan suara berat di
seberang telepon sana.
“Hari ini saya aksi Pak” jawab Pertiwi
berterus terang.
“Mahasiswa paling semangat! Sampai
pukul 7 malam saya tunggu kamu di rumah, istri saya rencana memasak enak”.
Telpon ditutupnya, Pertiwi
sunggingkan senyum. Zaman sekarang, hanya sedikit orang seperti Pak Sugih,
mendukung dan memahami tugas dirinya sebagai mahasiswa, bahkan lebih dari itu
Pak Sugih tak segan berbagi pengalaman mengenai geliatnya dulu saat
beralamater.
Jalan sekitaran istana Bogor menjadi lautan
warna-warni almamater, teriakan-teriakan semangat gelorakan suanasa. Di dada
mereka kini bertabu “UNTUK INDONESIA KAMI BERSATU!”. Yel-yel, teriakan demi
terikan, orasi yang membakar dan matahari yang terik berpadu dengan semangat
kebersamaan demi tanah air. Tiba-tiba Pertiwi rasakan senyap di dadanya,
setitik kesedihan yang dibungkamnya menyeruak ke udara. Tujuh hari yang lalu
bersamaan dengan kepulangannya ke kampung halaman untuk bertemu keluarga di
pelosok Garut ia temukan pemandangan tak biasa. Anak-anak yang biasa ramai
pergi ke mesjid untuk mengaji berkurang. Wajah-wajah kecil itu terbuai
kesenangan warung internet untuk bermain game online dan membuka situs
pertemanan. Anak-anak, mereka terlalu kecil, masa mereka belum saatnya mengenal
luas dunia luar. Permainan anak kampung seperti petak umpet dan loncat karet
sudah bukan musimnya. Kini ia berada di tempat ini, di riuahan masa aksi salah
satunya demi pertanyakan; Apa salahnya media Islam sampai harus diblokir?. Demi
keamanan Negara, demi usut tuntas kasus yang konon bernuansa teroris, kebebasan
bersuara jadi dibungkam. Negara hanya peduli keamanan Negara tapi tak peduli
perkembangan akhlak dan iman masyarakatnya.
Setelah BBM naik, kasus KPK dan
Polri, BBM turun kemudian naik lagi, sembako yang mencekik, dan pemblokiran
situs Islam. Akan ada apa lagi?, haruskah kerusuhan belasan tahun lalu kembali
terjadi?. Geliat masyarakat kini telah muncul, satu per satu orang-orang bangun
dari tidurnya, buaian semata, janji yang tidak tertepati seolah makanan pahit
yang terpaksa harus ditelan.
Kemana itu kedamaian?.
Pertiwi menangis.
Matahari kian meranggas, wajah-wajah
para dhuafa, pengemis yang tinggal di kolong-kolong jembatan, rumah kardus
dipinggiran sungai, nenek tua yang harus makan nasi akik, jembatan rusak hingga
para pejuang pendidikan harus memapah dengan penuh kehati-hatian, ibu hamil
yang kurang gizi karna tak punya uang. Semua saling desak di ingatan Pertiwi,
satu tetes air mata akhirnya tumpah.
“Teman-teman…..” ucapnya serak,
sementara tak satu pun orang-orang mendengarnya,
“Teman-teman….” ulangnya, sayang
suara sepelan itu mengalahkan teriakan-teriakan semangat,
“Teman-teman….” semua telah basah,
hatinya, kulitnya, toa yang dipegang Pertiwi bergetar,
Untunglah seseorang menyadari
keadaan Pertiwi, Fariz namanya yang langsung naik ke atas dan berdiri di
samping Pertiwi. Ia yang menjadi koordinator lapangan merebut toa yang sedang
dipegang oleh temannya yang lain, Fariz berteriak keras, menghentak seluruh
peserta aksi.
“Demi Indonesia teman-teman!!!!!”
Semua mata kini tertuju pada Pertiwi
dan Fariz, lelaki berperawakan tinggi itu memegang pundaknya.
“Katakan, apa yang ingin kamu katakana,
Wi…”
****
“Usia saya sekarang 24 tahun, banyak
di antara teman-teman yang mungkin seusia saya. Saya berasal dari keluarga baik
yang tak pernah rasakan kekurangan, hidup saya normal, dan teman-teman saya
yakin melebihi hidup saya. Saya lewati masa anak-anak sampai remaja yang penuh
suka cita, tak pernah ada duka atas perut yang melilit kelaparan, tak pernah
menangis jika sesuatu tak bisa saya beli, sebab semua begitu cukup. Dan
teman-teman saya yakin sama dengan saya bahkan sekali lagi lebih….”
“Tapi… hidup di negeri ini nyatanya
tak semua orang seperti kita. Kita mahasiswa yang dipandang begitu idelis
hingga sepintas memekakkan telinga penguasa, memang harus seperti ini. Kita
yang enyam hidup yang baik sudah semestinya harapkan hal yang sama untuk
saudara-saudara kita. Saya pertiwi menangis siang ini, tapi tanah pertiwi jauh
lebih berduka, hatinya teriris. Saya yang selalu merajuk, apa yang harus
dilakukan?, pertiwi di tanah ini begitu sabar meski terinjak, saya yang selalu
bertanya, akan ada apa lagi setelah gejolak-gejolak ini?, pertiwi di tanah ini
menerima dengan kelapangannya. Sayang sekali teman-teman, tanah pertiwi bungkam
tak bisa bicara, tapi coba bayangkan jika ia mampu berbicara entah balasan
seperti apa yang dimintanya pada Tuhan setelah dizholimi…”
“Untuk saudara-saudara kita…
seberapa besar yang harus dibayar demi hidup layak dan penuh kedamaian itu?”.
Ini bukan orasi, jelas bukan, ini
adalah luapan emosi. Kalimat yang mengalir jelas sudah berasal dari hati. Wajah
Pertiwi sudah berurai air mata saat ia menurunkan toa yang dipegangnya, isak
tangis ternyata bukan hanya bersumber dari dirinya. Tapi lihatlah
rekan-rekannya di bawah sana
pun tak bisa memendung keharuan, perasaan sesak dan sakit hati.
“Apa yang bisa kita lakukan
teman-teman?....” Tanya Pertiwi lemah,
“Kadang saya ingin bertemu langsung
kepala pemerintah ini, bertanya ‘apa mau Tuan?’ kemana Tuan saat orang-orang
kecil membutuhkan, seperti sang nenek tua yang harus cicipi dinginnya kamar
jeruji karna ketidaktahuannya. Nyatanya mengurus negeri tak semudah mengucapkan
janji….”
Pertiwi memejamkan mata, biar
bagaimanapun saat ini adalah waktunya orasi yang membakar semangat. Dihirupnya
napas panjang, biarkan menyesap aliri dada.Tapi meski tidak penuh intonasi
nyatanya semua terbawa suasana, sekarang orang-orang menundukkan kepala,
melihat ke bawah tanah, tanah periwi yang diinjak kakinya, tanah yang tak
pernah mengeluh, tanah yang benar-benar lapang terima segala kejadian tak
menyenangkan.
Hhhmppppuh….
Sekali lagi Pertiwi menghirup napas
panjang sementara di sampingnya Fariz mengambil celah yang kosong,
“Biarkan kita berada di barisan
pejuang, Teman-teman…..” teriak Fariz seraya mengepalkan tinjuan ke udara,
“Indonesia… Indonesia… untuk Indonesia!!!!!!” lanjutnya disusul
oleh teriakan yang sama dari peserta aksi.
****
Malam yang cerah, bintang dengan
cantiknya saling berkedip.
“Ini usul saya makan malam kali ini
di taman, supaya kamu merasakan udara sejuk, Pertiwi…”
Pak Sugih membuka percakapan, ia
tahu aksi siang tadi telah menguras emosi fisik dan psikis mahasiswanya.
“Dulu saya pernah ngobrol dengan
teman, dia sudah sangat geram dengan pemerintah… saya bilang, saya masih abu..
kadang ngnes, kadang coba memahami kalau saya ada di posisi beliau dengan
kepercayaan yang kurang dari masyarakat apa yang terjadi?. Jawabnya, Rasulullah
shallallahu`alaihi
wa sallam bersabda: “Siapa yang melihat
kemungkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah
dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal
tersebut adalah selemah-lemahnya iman. Waktu itu memang hati saya yang bermain, tidak melihat kenyataan…
tapi sekarang justru saya yang aneh, kenapa dulu sempat berpikir seperti itu?”.
“Hahahaha…” Pak
Sugih tertawa,
“Hidupmu
bukan hanya skripsi mu, tapi ini… ini hidupmu!” lanjut lelaki itu.
-TAMAT-
Bogor, 01 April 2015
Ket: dimuat di Radar Bogor, 15 April 2015
2 komentar:
Tulisan bagus mah udah ga aneh kalo dimuat di media cetak. :)
Baru buka lagi. 1 Kalimat di paragraf terakhir diambil dari kisah nyata, "kenapa dulu sempat berpikir seperti itu?" aiiiih!.
Posting Komentar