Gaida keluar kamar dengan dada berdebar kencang, ia raba nadi
tangannya yang berdetak kuat, matanya sempatkan melirik jam dinding
menghitung kecepatan nadi yang luar biasa sampai takikardi, yakni 90
kali permenit, sama halnya seperti lari keliling lapangan.
Awalnya
selepas Maghrib Gaida sedang melakukan rutinitas hariannya yakni
mengulang hafalan juz 30 nya, kali ini surat An-Naziat yang dimurojaah
Gaida. Dengan sedikit menyesal pada dirinya sendiri karena sulit
meluangkan waktu hingga hafalannya tak bertambah Gaida mulai
mengazzamkan diri untuk memperbaikinya sebab sahabatnya Deana pun selalu
komentar terhadap hafalan surat yang dimilikinya.
“Cah ayu, usia
sudah mau 25 tahun, kapan hapalannya bertambah? aku temenmu sampe bosan
lihat kamu mondar-mandir gak nambah hapalannya…. katanya mau nikah?”.
Bluk! bantal empuk sukses Gaida lemparkan ke arah Deana, sahabat
dekatnya yang sore itu berkunjung ke rumahnya bersama anak
kesayangannya,
“Cah ayu, untung aku gak lagi gendong anak lanangku, bisa-bisa nangis dia kamu timpuk pake bantal!”
Sekarang semua boneka-boneka yang bertengger di atas kasurnya satu per satu Gaida lemparkan ke arah Deana sambil tertawa keras.
“Gaida… bukan hanya hapalannya yang gak bertambah tapi kelakuannya masih kaya abege, pantes… kapan… nikahnya?”.
Bluk!
Sekarang
bukan bantal atau boneka yang melayang ke udara tetapi ucapan Deana
yang seolah lemparan batu ke hatinya. Gaida diam ia berhenti tertawa,
suasana hening seketika, Deana yang menyadari ucapannya terlampau keras
mengigit bibir bawahnya, perempuan berjilbab abu itu menghampiri Gaida,
sementara yang dihampiri justru menghindar. Gaida turun dari atas
kasurnya, ia berjalan menuju cermin.
“Kadang aku berpikir, mengapa
sampai terlintas dulu menolak lamaran Mas Agung, meski usiaku masih 22
tahun tapi lelaki yang melamarku dia dewasa dan mampu membimbingku.
Mengapa aku terpikir ingin menikmati indahnya dunia, padahal setelah
menikah kemungkinan menikmati indahnya dunia bersama jauh lebih indah”
“Aku
takut setelah menikah duniaku berubah, aku yang bekerja dengan
penghasilan lebih untuk mencukupi diri sendiri tak ingin berubah menjadi
ibu rumah tangga yang bekerja di dapur dan pekarangan rumah, aku yang
terbebas membelanjakan ini itu semua kemauanku, takut kehilangan moment
itu karna harus membagi uang belanja dengan tagihan listrik, padahal
Allah mengatur rezeki hambaNya, cicak yang diam saja, yang ikhtiarnya
melata Allah kirimkan nyamuk, apalagi manusia, apalagi yang telah
membangun rumah tangga…”
“Deana, ternyata bukan hanya usiaku dulu
yang masih labil tapi kelemahan imanku, kekalahan diriku oleh dunia yang
membuat mataku gelap untuk melihat kebesaran Allah, kurang apa Mas
Agung, hanya karena dia baru lulus kuliah dan sedang merintis usaha
berjualan herbal dan gamis, aku tega menolaknya? Padahal dari semua
teman organisasiku hanya dia yang menjaga interaksinya dari perempuan,
kesetiannya pada Tuhan terjamin. Lalu lihat sekarang Mas Agung,
kesabaran dan ketekunannya merintis usaha berbuah manis, keluargaku saja
belanja kebutuhan sehari-hari ke Market Sunnah miliknya, bukan lagi
herbal dan gamis!”
“Dan… berlipat-lipat pula kebahagiannya karena
di sampingnya berdiri perempuan bercadar marun dan buah hati yang sedang
belajar A..Ba..Ta..Tsa… sementara jika bertemu denganku dia nampak
selalu ramah seperti halnya pada pelanggannya yang lain meski tetap
menjaga pandangan ciri khasnya, seolah tak pernah terjadi apa-apa… beda
halnya denganku…”
“Sssstt…. Gaida, jangan samakan dirimu dengan
Mas Agung dan jangan biarkan masa lalu membuatmu tersiksa oleh
penyesalan. Dulu itu keputusanmu… maka tak usah kamu ambil pusing dengan
penyesalan, terlalu rumit nanti hidupmu, di tengah ikhtiar menemukan jodoh
kamu pun permasalahkan masa lalumu. Ngomong-ngomong kapan mau move on?
Ayam aja tiap pagi berkokok” Ujar Deana seraya menatap lekat Gaida
diakhiri dengan kerlingan mata.
“Kamu cantik… sholehah…”
“Iya..
cantik.. sholehah.. hanya terlalu pilih-pilih!” seru Gaida memotong
ucapan Deana yang langsung sahabatnya itu bekap mulut Gaida
“Ucapanmu itu doa, hati-hati!”
***
Tak
ada yang lebih lama dari panjangnya masa penantian. Mengetuk pintu
pengabulan doa dari waktu ke waktu, menunggu saat mustajab untuk
bersujud dengan buncahan harapan. Tak terasa buliran air mata menjadi
pelengkap keinginan yang kuat, kekhusyuan dari permintaan yang membawa
pada realitas perbaikan diri.
Banyak cerita yang menuliskan
perjuangan perempuan temukan tambatan hati yang mengajak berdiri di
altar pelaminan, pun itu yang saat ini Gaida lalui. Semoga tak menuai
kebosanan sebab memang hal ini benar terjadi. Dijerat usia, dirundung
penyesalan masa lalu, ditekan pertanyaan “kapan menikah?” ialah
faktor-faktor yang kian menguatkan keinginan, selain tentunya kebutuhan
tak kasat mata yang muncul dari diri seorang insan untuk hidup
menyempurna.
Pagi ini… tak seperti pagi paginya yang lain. Dengan
mata panda yang menandakan Gaida kurang tidur, ia keluar rumah dengan
hati ceria. Didekapnya buku-buku tebal materi perkuliahan karena meski
hari Minggu sebagai mahasiswa pasca sarjana ia harus menunaikan
kewajibannya kuliah non regular. Gaida berjalan menuju shalter bus
tempat ia menunggu alat transportasi darat. Kini, kembali dadanya
berdegup, setelah kejadian kemarin malam akankah dirinya kembali bertemu
sesosok yang selama ini menunggu bus yang sama di shelter tempatnya
berdiri ini. Hembus angin pagi menyapa kulit wajah Gaida. Bus biasanya
datang pukul 08.00, masih 20 menit lagi. Terlalu pagikah? Pikir Gaida,
namun tak lantas membuatnya risau. Gaida ingin menikmati pagi ini
sepanjang yang mampu ia lakukan. Gaida memejamkan matanya, memutar
kembali betapa perjuangannya menyempurnakan agamanya tidak seperti
membalikkan telapak tangan.
“Lelaki yang baik… untuk perempuan
yang baik, begitupun sebaliknya….” Ujar Deana menjawab pertanyaan
mengapa di tahun kedua perkuliahan dirinya memutuskan menggunakan jilbab lebar.
“Loh, jadi perubahanmu hanya untuk itu, De? Gak ikhlas dong…” Sembur Gaida dengan bibir maju beberapa senti.
“Ngawur!
Aku hanya berpikir ini menjadi wasilah, jalan untukku bertemu lelaki
sholih. Kamu tahu mana mungkin ada lelaki yang mau sama cewek yang
dandanannya kaya aku gini, apa kamu bilang dulu, kaya emak-emak? Susah
dapet kerjaan? susah dapet jodoh?.
Aku gak peduli!. Dengan penampilan aku yang seperti sekarang aku merasa
jauh lebih terjaga, jangankan ikut-ikutan nonton, lihat cowok yang
bukan mahromku saja sekarang aku segan….”
“Dan…. Yang pasti, aku
merasa patuh pada titah Allah. Selebihnya aku berharap kehidupanku jauh
lebih berkah dan cara aku bertemu jodoh sesuai dengan syariat Islam. Aku gak mau pacaran, Gaida, aku gak mau!”.
Gaida
mendengar ucapan sahabatnya itu dengan mata tak berkedip. Seterusnya
Gaida menyaksikan proses Deana mewujudkan harapan membangun mahligai
rumah tangga tanpa proses pacaran. Hanya dua minggu Deana bertemu lelaki
itu kemudian menikah dan hidup bahagia sampai anak lanangnya lahir.
Dalam hati, diam-diam Gaida pun mengharapkan kebahagiaan yang sama,
diazzamkanlah sebuah keputusan besar; tak ingin pacaran.
Memutuskan
kekasih yang membuatnya menangis tiap malam lantas terbangun dengan
harapan Allah menggantikan yang lebih baik, menolak lamaran pria shalih,
dirundung penyesalan tak berkesudah saat usia beranjak seperempat abad
tapi suami idaman belum juga nampak ke permukaan, ditanyai orang-orang
terdekat “kapan menikah?” Orangtua meski tak mendesak namun terlihat
begitu senang tiap menggendong anak orang. Semuanya telah cukup membawa
hati Gaida ke jurang kedukaan.
“Aku
pasrah aja, De kalau memang takdirku terus melajang….” Isak Gaida pagi
itu di pundak sahabatnya. Gaida jika sudah terdesak untuk curhat tak
pernah melihat tempat dan waktu, kali ini di shalter bus saat bertemu
Deana perempuan bermata bulat itu langsung curahkan isi hatinya.
“Gak
boleh gitu, Cah Ayu… semangat! Allah akan berikan yang terbaik, ingat
janji Allah yang menciptakan semua makhluk berpasangan….”
“Terus kapan?”
“Gak
semua pertanyaan harus dijawab saat ini, Cah Ayu…” Deana menarik tubuh
Gaida ke pelukannya. Jarum jam hendak menunjukan pukul 08.00, dari
kejauhan bus yang ditunggu Gaida mulai nampak. Oleh jemari tangannya
Gaida menghapus sisa-sisa air mata yang membuat wajahnya sembab. Ia
berdiri diikuti Deana yang kembali memeluknya.
“Dah… hati-hati….”
“Assalamualaikum….”
Sapa seseorang pada Deana setelah dirinya melepas kepergian Gaida,
tangannya yang masih melambai pada bus yang dinaiki Gaida menggantung di
udara.
“Waalaikumsalam, ya, ada yang bisa dibantu?”.
“Perkenalkan nama saya Ginan, maaf sekali jika saya lancang, apakah teman anda yang tadi bercerita belum menikah?”.
Mata Deana seolah hendak keluar, ia perhatikan lelaki yang berdiri di hadapannya dari rambut sampai ujung kaki.
“Oh mohon maaf, saya sepertinya pernah melihat anda di kantor cabang PT.Auraxo, sepertinya anda istri teman saya”
Deana
dibuat bingung setengah mati, ingin sekali ia pergi mengingat kepatutan
seorang istri berbicara dengan lelaki lain. Deana takut akan bahaya
fitnah, melihat gerak-gerik Deana, lelaki yang menyebut namanya Ginan
itu segera paham lalu pamit undur diri setelah mengucapkan sebuah
kalimat,
“Nanti saya akan bertamu ke rumah suami anda….”
***
Malam itu Gaida dipaksa keluar kamar oleh Deana, dibukanya kain mukena perlahan.
“Pakai kerudung biru ini, dari proposal yang sudah kita pelajari, Ginan suka warna biru…”
“De, betul ini semua?”
“Betul apanya Gaida?”
“Aku
merasa begitu cepat, kalian datang tanpa memberiku kabar, kamu minta
aku tuliskan data diriku lengkap, apa kamu bilang? Proposal pernikahan?
lalu sekarang setelah meminta aku untuk shalat istikharah, kamu datang
dengan lelaki yang baru aku lihat fotonya saja?”
“Kamu yakin dengan kemantapan hatimu kan, Cah Ayu?”
“InsyaAllah…”
“Alhamdulillah,
sudah ayo, kita temui Ginan di depan, dia sedang menunggu jawabanmu,
dia datang untuk mengkhitbahmu. Suamiku sebagai saksinya Gaida, jika
Ginan adalah lelaki yang baik, taat ibadahnya, InsyaAllah dia pantas
kamu harapkan untuk menjadi imammu dan kita tak pernah tahu apakah
kedatangannya adalah cara Allah untuk menjawab doa-doamu?”.
***
“Andai
dosa itu menjalarkan aroma bau, entah sengatan busuk seperti apa yang
keluar dari celah-celah fisik. Andai dosa itu mengeluarkan lendir, entah
wujud seperti apa yang selimuti anggota tubuh dan andai dosa itu
mengikis jasad maka sudah tak berpijak lagi seonggok diri yang penuh
dosa ini di atas tanah, mungkin telah terkubur menjadi renik-renik tanpa
guna menunggu siksa”
“Maha Mulia Allah yang memberi
kesempatan utnuk perbaiki diri, menyulam robekan demi robekan yang usang
karena ketidaktahuan juga lemahnya iman. Tidak dijadikan manusa
tersiksa aroma bau, lendir maupun kikisan yang bersumber dari dosa.
Allah beri keleluasan waktu untuk memperbaiki diri, memohon ampunan dan
menata kehidupan yang baik sesuai syariat Islam dan denganmu wahai
imamku, aku genapkan titah agamaku, ibadah sepanjang usiaku”
“Kau, lelakiku pembuka pintu surga…” Lirih Gaida pelan menyapu peluh yang keluar dari kening suaminya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar