Pages

Rahasia untuk Mamak

Kamis, 19 Desember 2013

Tanah merah yang memanas tak terasa di ruas telapak kaki wanita yang telah menapaki usia diatas kepala tiga. Terhunyun-hunyun lewati jembatan besi usang, semakin meranggas pula ekor mentari sebabkan lelehan peluh keluar tak beraturan namun secepat kilat ditepis oleh punggung tangannya yang hitam oleh sengatan matahari.

Berlari semakin kuat dan cepat seolah kereta listrik mengejar dibelakang. Hush..hush... Beberapa detik paru bak mengecil tak cukup ruang untuk mengempis udara. Sementara diingatan sekolebat rintihan terus nampak, "Mak datang yah Mak...". Hhm, jangan kau minta yang tidak-tidak Nak! tepuk tanganku tak mampu kenyangkan perutmu.

Saidah menjauh dari tatapan, ia kini bersembunyi dibalik pintu rumah biliknya. Sedang hati berlirih ungkap apa saja ini nurani, tak terasa juga cairan putih mengalir dari kelopak mata. Saidah kemudian meringkus semuanya seorang diri ditemani bayang Ibunda yang tengah berdiri didepan bejana besar. Tangannya bekerja keras, kayu yang kadang berdentangan dengan dinding-dinding bejana.

"Pergi saja sendiri Nak, bukankah setiap kali kau begitu?" teriak Ibunda, tak menahu lelehan air mata sambangi pipi pualam Saidah. Ada yang Ibunda tak tahu juga Saidah yang bermain rahasia. Mungkin ukiran prestasi telah kenyang Ibunda terima atas isi kepala cemerlang yang dimiliki ananda tersayang. Setiap Senin, ia datang dengan kalung bundar bewarna emas yang mengantung di dada, sewaktu SD Saidah berikan piala lomba membaca puisi, berjalannya waktu lemari tua tempat menyimpan piring dan gelas telah dirubahnya menjadi tempat pajangan piala.

"Mak, sekali saja Mamak datang, terakhir Mamak ke sekolahkan waktu saya SD, sekarang saya sudah kelas tiga SMA. Tahun terakhir saya sekolah" Malam hari Saidah tak juga habis tenaga untuk bujuk Ibunda. Sekarang giliran wanita yang disebutnya Mamak beranjak dari hadapan Saidah, ia bersembunyi menahan kemelut sendu didebar jantungnya. Dari awal Ibunda tahu jika anaknya memang tak biasa, dikarunia kecerdasan emosional juga intelektula yang tak dimiliki teman sebayanya di desa ini.

Apapun ditangan Saidah akan miliki harga, daun lontar yang kering disulapnya menjadi hiasan kerudung menarik, apalagi materi sekolah sejurus perhatiannya fokus seratuslah nilai yang didapat saat ujuan datang.

***

Pagi tadi Saidah berangkat diantar kicau Cangkurileng sementara Ibunda seperti biasa telah bekerja di ladang tetangga. Meski dadanya masih dirundung haru ia tetap melatih sunggingkan senyum. Tak pantas jika teman, guru bahkan kepala sekolah bersorai gembira sementara dirinya dilanda bisu dan air mata.

"Mengapa kau masih disini Rahayu?" Pertanyaan padanya tak digubris sepenuh hati, ibunda hanya menengadahkan wajahnya sebentar lalu kembali bekerja.

"Anakku bilang, Saidah ukir prestasi lagi sekarang"

"Rahayu, aku akan bersyukur jika anakku sepintar Saidah".

"Siapa bilang aku tak bersyukur Min? lima waktu air mataku tak pernah surut atas karunia yang diberikan Tuhan pada putri semata wayangku. Saidah warisi kepintaran Ayahnya juga pantang menyerah diriku untuk menyambung hidup ini. Tapi, pantang menyerah milikku tak akan mampu sempurnakan harapannya. Kau tahu Min? selepas lulus SMA ini Saidah pasti ingin melanjutkan pendidikannya. Lalu aku mana mungkin bisa mengabulkannya? setiap hari bertemu nasipun sudah kami syukuri" Ibunda curahkan gejolak yang tertanam dihatinya dalam waktu lama ini, tak terhitung hari yang dilewatinya untuk menyimpan semua seorang diri, terlebih semenjak kekasah tercinta Ayah Saidah alami musibah di perantauan, tak ada tempat berbagi gelisah selain pada Tuhan Yang Maha Pemurah.

"Hanya itu masalahmu Rahayu? Kau hanya takut tak mampu sekolahkan Saidah? Hey! cepat susul anakmu disana.. Saidah dapat beasiswa pendidikan, kuliah diluar negeri pula Rahayu" Genggapam tangan Aminah terasa hangat disekujur tubuh Rahayu yang membeku. Mata Aminah yang bulat bertemu pandang dengan lelehan air mata Rahayu. Kemudian keduanya saling peluk.

"Bahkan Rahayu, anakmu bukan hanya membuat bangga dirimu, tapi seantero kepala yang hidup serba mendusun di kampung ini".

***

Jika tadi matahari tak kunjung berbelas kasihan berikan awan teduhnya, kini disekolah yang bangunannya diperkirakan tak akan berumur panjang hanya keajaiban yang membuatnya terus kokoh sebab rusak oleh hujan dan angin kemarau terasa amat syahdu oleh hati yang membiru.

Ada isakan yang bersumber dari dada kepala sekolah "Anak-anakku, prestasi Saidah bukan hanya membawanya melayang duduk dipesawat terbang kelak, tapi disini tempat kaki kalian berpijak diatas tanah sebuah perubahan akan kalian rasakan, tempat menuntut ilmu yang ala kadarnya dan tak pernah dilirik pemerintah sekarang menjadi buah bibir, sekolah desa lahirkan siswa berotak mutiara" tepuk tangan bergemuruh di sekeliling lapangan. Desah angin menyisir setiap kulit hingga membuat bulu kuduk ikut berdiri. Di tengah berdiri seorang gadis dengan kerudung putih yang menjelma hendak bewarna gading, tatapnnya menunduk ke bawah gerimis sudah sedari tadi turun dari langit matanya, ia tak mampu tegakkan kepala atau melihat kedepan tempat namanya dielu-elukan oleh para guru.

"Saidah... murid berprestasi... Saidah... ayo maju kedepan, empat tahun kedepan kau akan jadi sarjana lulusan luar negeri Saidah... ayo Nak maju! beri semangat teman-temanmu yang lain...."

Pak Guru, engkau tak tahu jika saat ini yang paling membutuhkan semangat adalah diriku, Mamak dimana Mamak.... Batin Saidah disela air matanya yang semakin menderas.

"Nak, Saidah... Mamak didepanmu...."

-Selesai-

*cerpen ini ditulis di note hape; cangkeul oge geningnya*
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS