Pages

.... Sebelum Pagi Tiba

Rabu, 15 Mei 2019



Mata Meriana menyapu seluruh sudut ruangan yang dihiasi cotton rope dengan selingan daun monstera berbagai ukuran. Sesekali juga matanya melihat batang kayu yang telah dililit lampu gantung berwarna orange. Jemari Meria kini tiba dibarisan foto hitam putih yang direkatkan pada dinding yang menembus sampai arah pintu keluar. Lambat, kakinya mengikuti barisan foto dua orang lelaki dan perempuan dengan balutan baju berwarna putih dan coklat tanah. Senyum keduanya di foto itu mengembang, ada lirikan mesra, ada tawa lepas sampai di foto terakhir hanya ada dua jemari yang telah dilingkari cincin perak dengan satu mata berlian di jemari perempuan. 
Meriana mematung sementara kakinya satu langkah lagi menuju karpet putih, pandangannya tertuju pada meja dengan 6 buah kursi yang saling berhadapan. Seseorang di depan sana sedang sibuk mengatur penempatan bunga lili segar yang disimpannya di canvas bening. Jam menunjukan pukul 02.00, perempuan dihadapan Meriana belum mampu memejamkan matanya, padahal dia berhadapan dengan waktu yang selama ini dinantinya.
 “Meriana.... kemana saja kamu? Bukannya janji datang sore, liat jam 2 malam kamu baru datang! Apa yang bisa kamu bantu kalau semuanya sudah selesai aku kerjakan. Dasar! Dari awal kamu yang berjanji akan gagalkan tema pernikahan dari vendor pilihan Mamaku itu, hahaha lihat semuanya sudah seperti yang kita mau”
Meriana tidak membalas racauan dari sahabatnya itu, bibirnya hanya menyunggingkan senyum tipis. Badannya bergeser ke kanan, kakinya urung menginjak karpet putih, Meriana menjatuhkan badannya di atas rumput yang basah oleh embun. Sementara perempuan yang berjarak 3 meter di hadapannya kini berjalan mendekati lalu turut duduk bersampingan mengikuti Meriana memeluk lutut.
 “Kamu gak tidur, Car?”  Ucap Meriana penuh telisik
 “Mana bisa aku tidur, aku mau habiskan malam ini bareng kamu”
 “Lah, kalo ngantuk ya tidur aja kali, besok setelah akad kamu akan melewati perjalanan jauh”
 “Justru karena itu! Untuk malam ini aku mau sama kamu Ri, makasih ya, kamu udah nemenin aku selama 20 tahun ini, akhirnya di usia menjelang 30 tahun aku akan dinikahi”
Meriana mengalihkan pandangannya menatap Carmel, ia mau berbicara namun lidahnya terasa pahit akibat kusutan benang di pikirannya.
 “Lucu banget perjalanan kita ini hahaha, kalo kamu selama ini enjoy walau terus ditanya kapan nikah oleh orangtuamu beda sama aku... yang greget mau menyudahi keadaaan ini! Tapi setiap penantian akan bertemu masanya kalo sekarang giliran aku, aku yakin sebentar lagi Tuhan akan wujudkan doaku buat kamu”
 “Aku bahagia.... Prama kembali datang. Prama yang kecilnya ingusan itu jadi calon suamiku”  
Meriana menghela napas panjang.....  Kebahagiaan Carmel begitu nampak dimatanya
 “Sini Car....” Meriana meregangkan jemari tangannya meminta sambutan dari jemari sahabatnya
 “Aku maunya kamu bahagia terus....” ucap Meriana tulus
****
10 jam sebelum pukul 02.00 WIB
Teks message datang ke WA Meriana
 “Mer, untuk merayakan senja terakhir, bisa aku bertemu?”
Meriana menghentikan laju mobilnya  untuk membaca pesan dari kontak bernama Prama Ingusan.
 “Ya, di rumah Carmel aja aku otw ke sana” balas Meriana cepat
 “Gak Mer, aku mau makan jagung bakar, Carmel mana mau dia”
 “Ya, tinggal beli aja jagungnya makan di rumah Carmel “
 “Nolak terus sih, udah puter balik, aku tunggu”
Meriana hapal tempat yang dimaksud Prama, sejujurnya Meriana kesal karena tidak dapat menepati janjinya pada Carmel tapi demi sahabat lelakinya ini ia memutar balik laju kendaraannya.
10 menit berlalu sosok lelaki yang mengenakan sweater berwarna army dengan rambut messy yang bergelombang menutupi telinga berdiri tegap membelakangi arah mobil Meriana. Sesaat setelah mendengar deru mesin mobil, Prama memutar badannya. Ia menunggu dengan tatapan khas miliknya, pedar mata berwarna cokelat yang tajam namun meneduhkan itu mengikuti gerak tubuh Meriana keluar dari mobil.
 “Yuk, kesana...” ajak Prama mempersilahkan Meriana berjalan di depannya. Meriana balas dengan tarikan kedua alis matanya ke atas.
Prama menghirup udara dari segelas teh hangat yang dipesannya, berada di sebuah bukit yang dinamakan Fly Florest ini memberi ketenangan bagi Prama di tengah isi hatinya yang berdesir dan tak mampu dirinya jabarkan.
 “Mana jagung bakarnya, katanya  mau jagung bakar” Ucap Meriana mengawali perbincangan diantara keduanya. Meriana berdiri di atas rumah berubin kayu yang biasa mereka kunjungi.
 “Ya minum teh dulu kali” Jawab Prama ringan.
 “Ada apa sih?” Selidik Meriana dengan mata penuh tanya.  
 “Mer, aku cuman mau  berandai. Seandainya yang ada diposisi Carmel itu kamu, kamu seneng gak?”
Meriana mengernyitkan dahi seraya mengarahkan matanya ke mata Prama yang sedang menatapnya lekat.
HHHhhmmmmfuuuuuh........
Keduanya menarik napas panjang bersamaan, lalu kembali saling bertatapan, hingga kepalan tangan Meriana singgah di bahu Prama membuat lelaki berkulit sawo matang ini meringis kesakitan.
“Sakitnya kamu tuh gak sebanding sama sakitnya Carmel nunggu kepastian dari kamu!” tambah Meriana.
 “Dulu aku dan Carmel hanya cinta monyet, aku ikut ortu keluar dan selama belasan tahun itu Carmel tungguin aku, tanpa dia tahu apa dan bagaimana keadaan aku disana. Parahnya dia sama sekali gak tau perasaan aku” Jelas Prama dengan nada suara naik satu oktaf.
Ya, Meriana tahu itu. Dari selesainya Sekolah Dasar keluarga Prama meninggalkan Indonesia. Sahabat lelakinya ini menghilang tanpa kabar berita, tak pernah ada selembar surat ataupun nyaring telpon yang sampai ke Indonesia. Sementara Carmela hidupnya dihabiskan dengan penantian dan Meriana menjadi teman pemberi tissue setiap kali Carmela putus harapan.
 “Aku tuh Mer, gak bisa lupain Prama! Aku tau ini konyol, aku sekolah, kuliah, kerja, bertemu banyak orang tapi yang ada diingatan aku cuman Prama” isak Carmela saat itu.
Meriana memejamkan mata, semua hal yang terjadi pada Carmela di masa lalu berkelebatan di pikirannya. Bukannya tidak membantu Carmela untuk move on tetapi Meriana saat itu seolah telah kehabisan cara.
 “Mer......” ucap Prama mencoba mengembalikan pikiran Meriana.
 “Ya......” Meriana menjawab pelan.
 “Kamu gak lupa kan 2 tahun yang lalu, aku pernah kirim email ke kamu? Tapi gak pernah kamu balas”
 “Padahal.... tiap waktu aku tunggu balasan email kamu, sampai akhirnya kita kembali bertemu gak pernah kamu bicarakan email itu”
Meriana tak bisa menjawab. Dadanya berdegup kencang seolah jantung akan keluar dari biliknya.
 “Lalu kenapa kamu belum menikah? Apa kamu juga nunggu aku?” lanjut Prama lagi-lagi memecah kebisuan Meriana.
 “Terus Mer, andai kamu tanya kenapa aku belum nikah? Akan aku jawab karena aku nunggu kamu! Bukan yang lain.... bukan pula perempuan-perempuan yang aku temui di luar sana” Pecah! Akhirnya kalimat yang selama ini Prama pendam sampai di perempuan yang pelan-pelan dia cintai.
 “Aku gak nyangka Pram, kepulangan kamu ke sini membuat keadaan menjadi rumit”
 “Gak rumit Mer, kalau kamu balas email aku waktu itu. Kamu terima atau tolak aku, selesai”
 “Terus sekarang kamu mau gimana??” Tanya Meriana dengan nada tinggi, dia sudah benar-benar tak sabar ingin meninggalkan Prama.
 “Kamu mau bilang mencintai aku, mau menikah dengan aku dan meninggalkan Carmel? Gila!” Tambah Meriana dengan kaki menuruni anak tangga.
 “Mer... Mer... jangan pergi” sanggah Prama menggejar Meriana yang berjalan cepat meninggalkannya.
 “Aku... Mer, cuman mau kamu tahu aja” Akhirnya tangan Prama berhasil menjangkau pundak Meriana.
 “STOP! Kamu berhenti jadi lelaki egois” Tunjuk Meriana tepat ke mata Prama yang menatapnya dengan penuh harap.
 “Bagaimanapun... pernikahan kalian sudah diatur, kamu ke luar negeri demi mempersiapkan masa depan yang baik dengan Carmel, hargai orangtua kalian Pram jangan seperti ini”
 “Ya, aku ngerti Mer. Aku mau kamu tahu aja tentang perasaan dan pengharapanku”
 “Perasaan dan pengharapan sekarang sudah tidak berlaku lagi....”
Prama mematung sementara Meriana telah dahulu melangkahkan kakinya. Bagi keduanya senja kali ini begitu rumit. Meriana harus terus berjalan, ia tidak mau memutar kembali badan dan ingatannya ke belakang, Prama hanya sekelumit kisah yang sama sekali tak pernah hatinya harapkan sebab sejak datangnya email tersebut Meriana telah berada dalam kelimbungan. Ia bingung harus mengobati hatinya diantara harapan Carmela yang tak pernah usai.
Dan ternyata Meriana hanya ingin menjadi teman yang baik untuk Carmela.  
****
 “Aku bantu....” Carmela berdiri dari duduknya hendak menyematkan bunga di tatanan rambut Meriana.
Keduanya saling melempar senyum.
 “Gaunnya pas banget dipake kamu, Mer” Ucap Carmela seraya memainkan gaun putih selutut yang dikenakan Meriana.
 “Calon penganten itu harusnya duduk manis aja tunggu mempelai pria datang, diem udah gak usah bantu-bantu orang” Sanggah Meriana disela usapan lipcream marun di bibirnya.
 “Tuh suara mobil udah kedenger, ayo siap-siap! Sebentar lagi aku antar kamu ke pelaminan, Car”
Jemari Meriana terbuka,
Keduanya mulai melangkahkan kaki menuju altar pernikahan hendak menemui Prama yang pagi itu telah datang dengan toxedo putihnya. Carmela berkali-kali memalingkan wajah untuk menatap Meriana yang pandangannya lurus ke depan seolah tak merasakan kehadiran pandangan Carmela yang memperhatikannya. Dada Carmela tiba-tiba terasa penuh, tenggorokannya tercekat dan bulir air mata menetes tak tertahankan.
Dua tahun lalu, saat berada di dalam kamar Meriana tak sengaja ia membuka pesan Prama. Betapa bahagianya Carmela saat itu akhirnya Prama menghubunginya melalui Meriana. Namun, setelah selesai membaca semua paragraf email itu baru ia sadar tak ada namanya yang disebut Prama. Isi email itu semuanya tentang harapan Prama pada Meriana yang ditutup dengan satu kalimat “Meriana aku sudah meyakinkan hati aku untuk menerima seluruh kebaikan dan kekurangan kamu, mau kah kamu menemaniku untuk selamanya?”
Iya, Camela masih hafal satu per satu kalimat yang ada dalam email itu. Namun waktu terasa kurang untuk Carmela meyakinkan Meriana bahwa Prama adalah pria untuknya. Sampai Prama kembali dan semuanya begitu cepat diatur oleh keluarga keduanya.
 “Sampai disini aku menemani kalian....” bisik Meriana diatara Carmela dan Prama.
Cepat.
Meriana memutar badannya.
                Ia tak mau berada lama-lama di altar pernikahan itu.
                Ia akan berjalan bersama masa depannya.
                Sedetik ia menoleh kebelakang, meminta agar Carmela tersenyum.
-SELESAI-
                                                                Di sela kantor,
26 April 2019

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS