Pages

Secangkir Kopi Rindu

Jumat, 14 Agustus 2015



Secangkir Kopi Rindu
Retno Novita S

            Rerintik yang sedari subuh belum tunjukan binar-binar matahari. Bogor yang mendung, selalu lembab oleh hujan. Gaida menghela nafas panjang, didekapnya sebuah buku tipis berisi deretan menu kopi.
            A sweet memori, meminum kopi semanis mengingat kenangan. Siapapun yang sedang patah hati datanglah ke kedai yang telah beroperasi selama tiga tahun ini. Pemiliknya seorang perempuan cantik berusia matang yang telah matang pula urusan cinta. Setelah urung menikah untuk ke dua kali, kemudian ditinggal suami tercinta karna sebuah kecelakaan, belum terhitung kisah cintanya yang selalu kandas berujung pada pengkhianatan, air mata seolah telah kering di pelupuk Gaida. Ia yang seorang pecandu kopi memulai hari barunya dengan menjadikan kesedihannya sebagai lahan usaha.
            Siapapun yang datang ke kedainya harus merasakan bahagia. Begitu ucap Gaida saat pertama kali ide mengemuka. Ia akan membuatkan kopi manis dengan rasa khas yang tidak bisa ditemui di kedai-kedai kopi lainnya, sebab ada air mata yang berusaha dihapus di setiap adukannya, ada ketabahan yang dituang dalam setiap tetesnya, ada rasa manis yang coba dibaginya bukan hanya dari gula namun suka cita rasa. Semua demi kebahagiaan, demi menghilangkan rasa sesaknya patah hati.
            “Selamat sore ada yang bisa saya bantu?” Tanya Gaida pada seseorang yang sudah duduk selama 10 menit di meja yang menghadap kolam.
            “Saya pesan kopi manis” jawabnya pelan, kemudian mata pelanggan baru dan Gaida bertemu. Gaida dengan bulu matanya yang rintik mengulas sebuah senyum lalu dengan cepat tangannya mencatat pesanan, memastikan kembali jumlah dan jenis pesanan, mengucapkan permohonan menunggu maksimal sepuluh menit kemudian pamit undur diri.
            Ini adalah pertemuan pertamanya yang kemudian mengiringi pertemuan-pertemuan berikutnya. Nama pelanggan baru itu, Satria. Gaida memanggilnya Mas Satria, ia seorang karyawan swasta yang perusahaannya terletak di seberang kedai kopi. Setiap pulang kerja Satria menyempatkan diri untuk datang ke kedai dan disambut oleh kehalangatan milik Gaida yang memperlakukan semua pelanggannya dengan baik.
            “Saya sering ke sini bukan karena sedang patah hati…” ucap Satria, kali itu ia datang sekitar pukul empat sore, saat kedai tengah sepi.
            Gaida menjatuhkan badannya di kursi seberang Satria, ia mengerutkan keningnya, tak lama lelaki di depannya melanjutkan cerita,
            “Aku mencintai istriku sesempurna hati yang aku miliki, yang semuanya aku berikan untuk istriku. Dia amat cantik dan piawai membuatku bahagia, senyum dan tawa yang setiap hari terukir selalu remajakan rasa cintaku padanya. Dia mengorbankan hidupnya untukku sejak sepuluh tahun lalu, melayaniku dengan telaten, memperhatikan seluruh kebutuhanku dari habisnya gel rambut sampai lipatan kemejaku ini. Istriku tak pernah marah, tak pernah menolak kemauanku, dia sosok yang sempurna untukku”
            Gaida menyondongkan tubuhnya melihat lebih dalam mata Satria yang menyembunyikan banyak perasaan. Sekilas Gaida perhatikan lipatan setrika kemeja Satria yang sangat rapi juga rambutnya yang mengkilap oleh gel. Sementara oleh angin yang berhembus harum parfum khas lelaki tercium hidung Gaida. Jika, diberi penilaian angka sembilan koma lima bisa diberikan untuk Satria.
            “Aku mengenal dia sejak masa kuliah, istriku adik kelas yang dulu aku ospek. Keluguannya dari awal telah menarik perhatianku tapi aku tak berani mendekatinya apalaginya mengajaknya jalan, aku hanya tahu nama dia Syahdu seraya sesekali memperhatikan perkembangannya di kampus. Dia ternyata tumbuh menjadi seorang aktivis, keluguan yang pertama aku lihat berubah menjadi semangat. Syahdu sangat vokal memperjuangkan hak-hak mahasiswa juga rakyat kecil, semasa dia menjabat di organisasinya entah berapa bakti sosial yang berhasil diusungnya. Tak luput, aku dengar dari teman-temanku, prestasi belajarnya baik dan yang paling penting dia tak pernah terjerat gossip merah muda, Syahdu seorang jomblowati hahaha”
            Gaida ikut tertawa, gerahamnya yang kokoh kian mendewasakan tampilan Satria. Biar ku tebak, usianya belum mencapai kepala empat. Aku pedam pertanyaan besar, untuk apa kamu menceritakan, Syahdumu?. Aku bersabar… sebab pasti ada hal besar pula yang menjadi alasannya, Lirih Gaida dalam hati.
            “Akhirnya dua tahun selulus kuliahku, aku mengubungi Syahdu yang pada waktu itu telah menyelesaikan kuliahnya. Aku berjanji untuk datang menemuinya, langsung bertemu orangtuanya yang tinggal bersamanya di desa, ya, Syahdu selulus kuliah mengabdikan diri di tempat kelahirannya. Syahdu yang lembut, dia bersemangat mengembangkan lahan pertanian orangtuanya dan menjadi guru sekolah dasar di sana”.
            Gaida melirik jam tangannya, sudah 15 menit dirinya duduk di sini mendengarkan cerita lelaki yang baru ia kenal tak lama ini, matahari sudah mulai redup sementara Gaida tidak merasakan tanda-tanda berakhirnya obrolan ini, satu dua pengunjung kemudian keluar digantikan pengunjung-pengunjung yang lain, sekilas Gaida melihat keadaan kedainya para pelayan sibuk melayani pengunjung. Gaida menghirup napas lalu oleh tangannya ia panggil salah seorang pekerjanya.
            “Maaf, Mas Satria mau tambah kopi lagi?”
            Satria menggelengkan kepalanya, “Aku mau kamu bertemu Syahdu…”
            “Saya?”
            Satria tersenyum simpul seraya menganggukkan kepala.
***
            Gaida menutupi mata kirinya, lembayung  sore menyilaukan pandangannya. Mobil yang dikemudikan Satria melaju melintasi jalan Pajajaran kemudian belok ke sebelah kiri memasuki jalan Bantar Jati yang dipenuhi oleh kedai-kedai makanan, tiba di lampu merah kemudian Satria membawa mobilnya melaju di jalan Pandu Raya.
            “Aku perlu keberanian besar sampai akhirnya bisa mengajakmu bertemu Syahdu, sejak awal aku melihat kamu kemudian hari-hari berikutnya aku datang ke kedai sampai hari ini aku mau mendengar ceritaku tentang Syahdu”
            Ucapan Satria menggantung sementara Gaida menunggu lebih lanjut, matanya menatap lekat wajah Satria yang terlihat manis, Satria menyunggingkan senyum.
            “Kita sudah sampai….” Kata Satria membuyarkan tatapan lekat Gaida.
            Satria lantas mengajak dirinya memasuki pelataran rumah bergaya Victoria. Rumah yang luas dan mewah berdiri gagah namun hening tak ada sedikitpun suara yang terdengar. Memasuki ruang tamu Gaida melihat bingkai-bingkai foto dan lukisan, salah satunya foto seorang perempuan yang sedang tertawa lepas di tengah sawah yang menguning warnanya, tangannya memegang selendang hijau yang terterbangkan angin.
            “Ya, itu Syahdu….” Seru Satria seperti tahu pikiran Gaida,
            “Syahdu di hari-hari pertama pernikahan kami, lihat mata coklatnya yang berbinar jernih, juga senyum lepasnya, itu yang membuatku jatuh cinta”
            Setelah mengucapkan kata-kata itu Satria lalu menunduk, suasana yang hening menjadikan apapun suara kecil yang keluar menjadi jelas terdengar. Satria terisak. Ya Tuhan, ada apa lagi ini?.
            Tangan Satria kemudian menggenggam jemari tangan Gaida, diperlakukan seperti itu jelas saja Gaida kaget lalu berusaha melepaskan genggaman tetapi Satria balas menggenggam lebih erat. Ia membawa Gaida menyusuri ruangan demi ruangan rumah besar itu sampai keduanya tiba di belakang rumah. Sebuah bungalau yang dipenuhi bunga anggrek. Seorang perempuan duduk di kursi roda memutar kepalanya melihat kedatangan Satria dan Gaida, perempuan itu tersenyum hangat, sementara Satria melepaskan genggaman tangannya dari Gaida untuk menghampiri perempuan yang tak lain adalah Syahdu. Dengan penuh kelembutan Satria mencium pipi Syahdu.
            “Gaida, perempuan yang selama ini aku ceritakan, Mam….” Bisik Satria di telinga Syahdu.
            Untuk ke dua kalinya Syahdu tersenyum lalu Satria mendorong kursi rodanya menuju Gaida yang berdiri mematung. Syahdu menggapai jemari Gaida dengan susah payah, mencoba menggenggamnya penuh kehangat seorang sahabat.
            “Syahdu terkena stroke, lumpuh dan tidak bisa bicara….” Ucap Satria,
            “Dari tahun-tahun yang lalu Syahdu memintaku untuk kembali menikah, Syahdu terlalu takut dengan sakitnya ia tidak bisa mencintaiku dengan sempurna….” Satria tidak bisa melanjutkan kata-katanya dia memeluk Syahdu dari belakang, terisak kuat di pundak istrinya.
            “Aaa—kkkk-uu….  Mmm---aaa—u… Gaiii---dd-aa… ttt—emm-an---i…. Maa-ss Saa---trriii-aaa….”
            Tenggorokan Gaida tercekat, tanpa mengucapkan kata apa-apa ia berlari meninggalkan Satria dan istrinya, Syahdu. Ia butuh kopi racikannya, di kedai miliknya.
            Saat dirinya terpatah-patah oleh cinta, di dekatnya tercipta pasangan yang memperjuangkan cinta. Mata Gaida menyapu seisi ruangan kedai, banyak cerita yang telah didengarnya selama ini dari para pengunjung kedainya, banyak air mata yang telah mengering di sini, apakah kerinduan akan pula terobati oleh racikan kopi buatannya?. Gaida membenamkan wajah, ia hanya ingin menangis memutar kisahnya seraya menyesap kopinya perlahan sampai tandas.

-TAMAT-
           
                                                                        Bogor, 26 Juni 2015

note: cerpen ini dimuat di Radar Bogor, 12 Agustus 2015
sepertinya cerpen terakhir yang ditulis di komputer lab :D
makasih buat sirs yang gak jadi matiin wifinya, 
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS