Pages

Salam Rindu dari Dunia

Senin, 04 November 2013



“Aku mohonkan padamu agar tak lagi menjadi bayang-bayangku...”
Kalimat itu terngiang-ngiang dalam benak Zulki, 3 jam yang lalu ia telah coba rebahkan sekujur tubuhnya di kasur empuk bersepreikan bendera Amerika tentu dengan bantal gulingnya yang nyaman. Sebab kamarnya yang tak berAC ia buka jendela supaya udara malam masuk ke ruang-ruang kamar berukuran sedang untuk remaja akhir seusianya. Ia tidak membutuhkan ruangan yang sangat luas karena kebutuhannya pun tak terhitung banyak, selain tempat tidur yang bersentuhan langsung dengan lantai, meja setengah lutut untuk menyimpan komputer dan jam digital warna hitam serta satu lemari jati tua, tak lupa kaca yang menggantung dipinggir figura foto keduaorangtua dan teman-teman masa kecilnya.

 Zulki akhirnya berdiri, menyibakkan selimbut hitam beludrunya. Ia berjalan menuju pigura samping cermin. Senyum Ibu dan Bapaknya ia tatap lama, mengapa wajahnya amat mirip dengan ke dua orangtua itu? Tuhan yang Maha Baik berikan hadiah istimewa untuknya, karena jika rindu menelisik isi dada pada terkasih yang telah tiada. Zulki hanya perlu becermin, wajahnya yang merupakan perpaduan antara Ibu dan Ayah akan nampak disana. Melihat dirinya sendiri di depan kaca ia seolah melihat ke dua orangtuanya ada disana, disorot mata yang meneduhkan dan senyum indah pendamai hati.
“Salam rindu dari dunia.. Pak...Bu....” Ucap Zulki lirih.
****
“Ki... usia berapa kamu siap menikah?” Pertanyaan Bapak disiang hari seperti hujan deras yang tiba-tiba datang tanpa gelegar petir. Sontak kedua matanya bertatapan dengan mata Bapak.

“Kuliahpun aku belum lulus Pak, tunggu 3 bulan lagi baru jadi sarjana” Jawabnya setelah menimbang jawaban yang tepat. Kuliah belum selesai, jodoh belum dapat itu adalah pokok pikirannya.

“Sudah ada calon belum?” Selidik Ibu dari dapur membawakan teh manis dingin serta camilan keripik pisang yang disimpannya dimeja.
               
 Zulki menggelengkan kepalanya... sontak tawa Bapak menggema.

"Kan Bapak yang larang aku supaya gak pacaran dulu....” Ucap Zulki menjelaskan karna tak paham dengan tawa Bapaknya yang belum juga berhenti.
“Soleh nian putra Ibu....” Satu kecupan di ubun-ubunnya terasa.
“Mau tidak kalau Bapak ketemukan dengan perempuan?” Tawar Bapak, matanya bertemu pandang dengan Ibu kemudian saling mengedip lalu tersenyum bersama.

 “Kalau Bapak sama Ibu sudah tentukan waktu untukku boleh saja...”

Tidak butuh waktu lama bagi ke dua orangtua itu untuk menjemput kebahagiaan putra bungsunya. Dari kandungan, Ibu sudah asuh Zulki dengan kasih sayang penuhnya, nafkah yang halal Bapak ikhtiarkan untuk kecukupan keluarga tercintanya.
Ba`da magrib menjelang, Zulki duduk diluar teras rumah. Ia siap ikut kedua orangtuanya bertemu perempuan putri sahabat lama Bapak. 5 menit kemudian Ibu keluar dari kamar kenakan gamis putih dengan manik-manik biru tua berpola bunga anggrek, sederhana.
“Bapak juga mau pakai koko ini saja biar sama kaya Ibu, putih-putih. Kita serasi sepanjang masa, iya kan Bu?” Ucap Bapak seraya merangkul pundak Ibu mesra diselangi tawa khas Ibu yang mengulum senyum. Malu, karena mesranya Bapak tak berkurang meski usia tak lagi muda, dari kakak-kakaknya Zulki, Ibu dan Bapak sudah diberikan 3 orang cucu yang lucu nan solih.
 “Kalau kamu cocok dengan perempuan ini, kamu gak perlu iri pada kami.. sabar sedikit ya Nduk sebentar lagi waktumu...” Goda Bapak membuat tawa Ibu seketika membeludak. Tak ada lagi senyum dikulumnya.
****

“Baru lulus DIII Keperawatan, tahun ini rencana lanjutin kuliah S1 Keperawatan.. udah kerja di klinik ujung jalan sana.. belum boleh jauh dari rumah, hariwang anak perawan kata Bahasa Sundanya...”

“Namanya Fatimah, Pak Budi dan Bu Rahayu....”
 “Fatimah, perawat toh? Aduh senang sekali saya Pak Salam.. kalau jenguk teman yang sakit di rumah sakit kelihatannya perawat itu baik-baik semua, gak cape ngurusin pasien yang segitu banyaknya...”
“InsyaAllah Bu Rahayu, kalau Den Zulki gimana sudah kerja?”
  “Mohon maaf Pak, saya masih kuliah tahun ini InsyaAllah wisuda...”
“Iya ini Pak Salam, anak saya luluspun belum. Saya datang kemari bermodal tekad dan niat baik saja barangkali bisa menyambung silaturahmi...

Getaran yang tak biasa merasuki isi dada Fatimah, ia yang dari awal tak menyangka akan kedatangan tamu Abinya tak bisa menolak kala Abi dan Uminya meminta ia untuk menyambut kedatangan tamu yang kemudian duduk bersama menyaksikan pembicaraan antar orangtua.

 Saat masuk ke ruang tamu tanpa sengaja pandangan Fatimah dan Zulki bertemu, mereka lantas saling menunduk. Fatimah tak mampu lagi menegakkan kepalanya selain mendengarkan obrolan-obrolan hangat penuh tata keramahan terucap dari bibir ke dua orangtua serta tamunya. Mungkinkah ia akan dijodohkan? Pikiran tersebut terbayang dibenak Fatimah, bagaimana seharusnya ia bersikap?.

  “Buat saya hal itu bukan masalah Pak Budi.. saya mengenal keluarga Pak Budi dan Bu Rahayu dengan baik, hanya saja saya serahkan kembali pada Fatimah....”
Betulkah ini waktunya untukku? Lelaki itukah yang Allah kirimkan untuk menjadi imamku, lelaki di depan sana bernama Zulki yang kurang dari satu jam aku kenal dan aku lihat wajahnya, Ya Allah.. secepat ini Engkau kirimkan aku pendamping hidup? Segala sesuatu telah Kau tuliskan dalam perjalanan hidupku lalu apakah getaran ini sebagai pertanda, bahwa memang malam ini waktu yang tepat aku tentukan pengisi hatiku? Bismillah....
Fatimah mengangguk 2 kali kemudian tersenyum pada kedua orangtuanya. Senyuman kedua orangtua Fatimah merambat pada usapan tangan Ibu diwajahnya yang sudah muncul lipatan keriput.

Ibu.. Bapak... detik ini kau hantarkan anakmu ini menuju gerbang kebahagiaan. Fatimahkah bidadariku, ibu dari anak-anakku, pelipur lara dan gelisahku, pembawa suka dan bahagia dihidupku?. Ia-kah Fatimah, tulang rusuk yang ku temukan berkat do`a darimu Ibu..Bapak...
“Kita tinggal menentukan waktu yang tepat, setiap hari adalah baik, dan lebih cepat akan lebih baik, bukan begitu Pak Budi?”
“Allhamdulillah jazakallahu khoiron khatsiron.. InsyaAllah, besok saya akan kembali datang untuk meminang Fatimah...”
****
 Ibu mengeluarkan sekotak perhiasan dari lemari tuanya, ia menyuruhku untuk duduk ditempat tidurnya. Dengan senyum yang tak juga memudar dari sepulang kami berkunjung ke rumah keluarga Fatimah, nampaknya Ibu sangat bahagia hendak mendapatkan menantu seorang perawat seperti yang selama ini ia idam-idamkan.
“Ki, Ibu punya sepasang cincin untuk kalian...” Ibu perlihatkan cincin emas dan perak yang bermatakan berlian ditengahnya.

“Ini cincin pinangan Bapak dulu, Ibu simpan rencananya untukmu... jadi kamu pakai ini dulu untuk meminang, biar nanti waktu pernikahan kamu maharkan emas yang baru untuk Fatimah... bukan maksud kita pelit atau apa, tapi Ibu mohon kabulkan permintaan terakhir Ibu ini, biar kalian pakai cincin kenangan Ibu dan Bapak dulu...”
Embun-embun dipelupuk mata Zulki berlinangan. Tanpa mengucapkan sepatah katapun ia rangkul tubuh ibunya ke dalam pelukan. Malam ini, resapan damai menyeruak. Kapan terakhir ia memeluk Ibunya? Seingatnya sejak kuliah diluar kota ia tak lagi lakukan hal ini pada Ibu, selain karena rasa malu pula. Hanya kebiasaaan Ibunya saja yang tak berubah; mencium ubun-ubun.
****
 Bintang perpedar cantik keliling bulan sabit di angkasa, malam kemarin Zulki tak bisa menutup mata karna memikirkan hari indah ini. Banyak yang tak dinyana dalam hidupnya, sebab pencarian pendamping tak perlu ia gunakan waktu lama serta sia-sia. Allah telah menakdirkan adanya Fatimah, lewat hati yang baik Ibu dan Bapak juga Abi dan Uminya Fatimah menerima dirinya meski baru sebatas mahasiswa yang sedang menunggu waktu wisuda. Namun, orangtua Fatimah adalah orang bijaksana. Tak dipandangannya status kekayaan dan kesuksesan financial, cukuplah bekal ilmu agama dari orangtua Zulki yang baik menjadi pertimbangan utama.

Cincin di jari manis Fatimah telah tersematkan, tentunya bukan Zulki sendiri yang melingkarkan cincin cantik itu, sebelum halal dilarang menyentuh. Agar semakin istimewa Fatimah bagi Zulki, terjaga harkat dan martabatnya. Tanggal pernikahanpun sepakat ditentukan, tunggu satu bulan kedepan keduanya akan segera melepas masa sendiri. Tak akan disia-siakan waktu ini untuk makin memantaskan diri lahir dan batin untuk menyongsong kebahagiaan dunia akhirat yang teridhoi Ilahi.
Sementara waktu berputar tanpa terasa, tiba saatnya untuk Zulki dan keluarga pamit undur diri dihantar senyum mengembang dari orangtua Fatimah yang mengantar sampai pelataran gerbang rumah megah itu.

 “Semoga apa yang kita lakukan menjadi amal baik, putra-putri kita diridhoi untuk membina keluarga serta menyambungkan persaudaraan kita...” Kata Pak Salam seraya menjabat tangan calon besannya, Pak Budi.
“Aamiin Ya Rabbal Alamin...”
****
Kematian tak akan lepas jauh dari denyut jantung yang berdetak pertanda kehidupan. Pun jodoh, seberapa indah rencana manusia tetaplah Allah yang menentukan. Dihari baik itu, malaikat maut datang menjembut Pak Budi dan Bu Rahayu dalam sebuah kecelakaan lalulintas tanpa Allah berikan waktu bagi keduanya saksikan pernikahan putra bungsunya. Waktu yang tak sebentar untuk Zulki rangkul kepingan hati yang tiada dalam jasad kedua orangtuanya.
 Fatimah adalah pelipur lara harapannya. Perempuan yang dipilihkan kedua orangtuanya untuk menemani masa kesendiriannya. Sampai, sore sehabis hujan di akhir Oktober Zulki datang ke rumah Fatimah untuk membicarakan soal pernikahan yang sempat tertunda.

 “Nak, Fatimah mau ngomong langsung dengan Nak Zulki...” Umi Rina mempersilahkan Zulki masuk ke dalam rumahnya, tak seperti biasa kali ini Fatimah ingin berbicara langsung. Selama ini baik Fatimah maupun Zulki sepakat untuk mengurangi intensitas komunikasi, memilih kedua orangtua mereka menjadi pelantara.
“Mas Zulki, saya mohon dimaafkan.. saya tidak bisa melangkah ke jenjang pernikahan dengan Mas Zulki...” Sehabis itu Fatimah berdiri dari duduknya, ia berbalik lalu lari meninggalkan ruangan.
 
Umi Rina saat itu terlihat menghapus genangan air matanya, ada rasa sakit menyesak saat pertama kali mendengar keputusan putri sulungnya. Apalagi Pak Salam bersikeras menentang keinginan Fatimah, sampai terjadi percekcokan dirumahnya malam kemarin. Fatimah memilih jujur apa kata hatinya, getaran pertama yang dirasakannya tak bersumberkan cinta melainkan ketertarikan awal pada lawan jenis berdasarkan kecakapan fisik yang dimiliki Zulki, selebihnya Fatimah merasakan adanya Zulki sebagai bayangangan yang mengganggu hari-harinya. Tak ada ketenangan hati, setelah acara peminangan itu.
“Tolong.. Umi dan Abi pahami.. jika, Fatimah tetap menikah dengan Mas Zulki. Fatimah hanya menabung dosa karena tak mampu memberikannya cinta hakiki seorang istri pada suaminya...”
****
Dengan tangis yang membakar sekujur hatinya, Zulki pulang meninggalkan rumah calon istrinya yang tak jadi. Ingin cepat ia sampai dirumahnya, lalu melihat pantulan wajahnya dicermin.
 “Salam rindu dari dunia.. Bu..Pak...”

-SELESAI-

Sanding-Garut
3 November 2013

Mahkota Sawitri

Ia pandangi wajahnya yang memantul disebalik kaca berpigurakan kerang laut warna hijau. Bulu matanya yang lentik membayangi kelopak mata, lantas ia tarik ujung-ujung bibirnya untuk tersenyum dengan kedua ibu jari tangannya. Senyuman yang kaku nampak ditengah cermin itu. Ia membuka mulutnya kemudian merapatkan gigi-gigi putihnya hingga beradu satu sama lain. Teringat senyum salah satu iklan pasta gigi yang dulu sering ia lihat dilayar televisi, sekarang waktunya untuk mempraktekan. Senyuman yang dibuat-buat ketara sekali tanpa expresi bahagia. Senyum 5 jari gagal. Merasa bosan, bibir atas dan bawahnya ia rapatkan kemudian membentuk huruf O, kemudian menarik nafas dalam sampai membusung dadanya setelah itu menghembuskannya ke depan cermin.

Ia, Sawitri. Titik-titik air matanya kemudian berlinang, dengan tangan yang mengepal Witri hapus uap-uap hembusan nafas yang memburamkan pandangannya dicermin itu. Air matanya semakin deras dan tangannya melaju cepat menggosok-gosok cermin walau kini telah kembali bersih. Entah ada yang salah atau apa dari pandangannya, Witri merasa bahwa cermin itu tetaplah kotor meski tidak ada uap apalagi debu yang mengotorinya. Lantas apa yang ada dipenglihatan serta pikirannya?.

“Jangan patahkan semangat anakmu Mas, Witri normal. Dia anak pintar disekolahnya, dia cekatan, mau belajar keras, rajin membantu aku kalau dirumah. Witri normal, Witri anak baik”

“Ibu, anak kita semua laki-laki. Aku ingin anak perempuan darimu, supaya Mahkota Diajeung Ayu tetap berjaya digaris keturunan kita. Paras yang cantik dan menawan jadi harga mati untuk pewaris Mahkota itu. Sekarang, apa yang mau dibanggakan dari anak semacam Witri? Jangankan berlenggak-lenggok didepan orang-orang, dia berjalanpun terpincang-pincang. Malu aku Bu....”

“Mas Brama jaga ucapanmu!. Dari awal aku tidak setuju dengan pewaris Mahkota Diajeung Ayu yang kamu dan keluargamu bangga-banggakan itu. Agama kita melarangnya Mas, Islam memuliakan perempuan dengan menutup auratnya sementara ini kau mau jual harga diri anak perempuan kita. Aku tidak menyesali Witri lahir berbeda dari anak gadis pada umumnya, harkat dan martabatnya terjaga”

“Lantang kamu bicara seperti itu pada suamimu, Rasmawati! Kalau begitu, kamu urus sendiri anak perempuan cacatmu itu. Tak sudi aku menganggapnya anak!”.

****

Bedug subuh sahut menyahut berkumandang, tidak seperti biasanya pagi ini tubuh Witri masih terbaring ditempat tidur. Ia pandangi langit-langit kamar dan lampu tua bewarna oranye, bohlam namanya. Pandangannya lurus dan kosong, dari pertama membuka mata 1 jam yang lalu ingin ia bangun dari tidur malam yang tidak nyenyak ini, ia ingin berdiri kemudian mengambil air wudu seperti biasa lantas mendirikan shalat malam sampai menjelang subuh. Kali ini tubuhnya kaku, sulit untuk digerakkan mungkin kehabisan tenaga akibat tangisnya semalaman yang tak surut terkenang ucapan ayahnya yang begitu menyayat jiwanya.

Plak..plak...plak....

Suara orang berjalan semakin terdengar kemudian berhenti tepat didepan pintu kamar. Pintu terbuka dan nampaklah seorang wanita berusia 45 tahun berjalan menghampiri Witri. Perempuan ini, seorang Ibu yang Witri panggil Ibunda.

Wajah Bunda tercekat melihat anak perempuan satu-satunya ini tak bisa menggerakkan badannya. Ia tempelkan punggung tangannya dikening sang putri, suhu tubuh anak itu meningkat. Witri terkena demam.

“Sebentar Nak, Bunda bawakan obat untuk Witri....” Ketika Bunda hendak beranjak dari tempat tidur, tangan Witri mencengkram lemah. Bunda memutarkan kepalanya kebelakang, ia lihat kepala anaknya yang bergerak ke kanan dan ke kiri.

“Gak perlu Bun....” Ucap Witri kemudian dengan nada lemah. Dadanya kini naik turun.

“Witri, ingin bertanya....” Lanjut Witri dengan nafas terpenggal-penggal.

“Silahkan.. Witri mau nanya apa sama Bunda?” Bunda mendekatkan wajahnya, tarikan nafas Witri terasa dikulit-kulit pipinya.

“Witri cantik tidak?”

Pisau berkarat serasa menyayat dada Bunda. Sayatan yang pelan namun menyakitkan. Bukan darah segar yang kemudian menyembur namun darah-darah perih yang bernanah. Bunda tahan air matanya, ia tidak boleh menangis dihadapan Witri. Sudah cukup perih hidupnya selama ini akibat terlahir dengan tubuh yang cacat. Witri tidak memiliki kulit yang putih mulus, giginya saling bertumpukkan hingga sering kali mengulum senyum, tingginya tidak semampai khas gadis seperti umumnya. Witri kecil sering diolok-olok teman sebayanya dan sekarang Witri besar dibuang ayahnya akibat tak layak mengikuti Mahkota Diajeung Ayu yang dibangga-banggakan kerajaan ayahnya.

Sedangkan untuk Bunda, ini merupakan anugerah yang diberikan Tuhan padanya. Dengan kondisi fisik seperti ini, Witri tidak berani mengenakan pakaian adat yang mengumbar tubuhnya. Bunda selalu memilihkan pakaian gamis panjang untuk Witri membingkai wajahnya dengan kerudung. Dengan begitupun Ayah tak banyak komentar bahkan menyetujui langkah yang diambil Bunda, namun kali ini hasrat Ayah tak bisa dibendung. Ia ingin putri satu-satunya mengikuti Mahkota Diajeung Ayu agar martabat kerjaannya semakin kuat. Dengan syarat mutlaknya; cantik fisik.

“Witri kenapa bertanya seperti ini?” Ujar Bunda balik bertanya. Witri tidak menjawab ia malah menangis tersedu-sedu dipangkuan Bundanya.

“Dengar Nak! Asalkan Witri ikhlas, InsyaAllah Witri selamat dari azab Allah yang pedih. Allah melarang perempuan menampakkan auratnya apalagi berlomba-lomba memperlihatkan tubuh kepada orang lain selain orang-orang yang berada digaris mahram. Mahkota Diajeung Ayu itu, tidak berarti apa-apa daripada balasan Allah kepada hambaNya yang taat atas perintahNya. Witri Cantik, Allah menciptakan manusia dengan sempurna. Witri hanya perlu mensyukuri dan berprasangka baik selalu pada Allah. Lillah, karena Allah. Mulai sekarang, jadikan jilbab Witri ini sebagai bentuk ketaantan Witri pada Allah, ikhlas karenaNya bukan sebagai penutup kekurangan atau karena menuruti keinginan Bunda....”

“Witri doakan saja Ayah, agar Allah memberi ampunan pada Ayah dan memberikan hidayah...”

Bunda menghapus air mata Witri, kemudian ia menciumi kening putrinya itu.

Belaian angin pagi kini menyapa, ayam mulai berkokokan sementara bulan dilangit sana hendak bewarna putih.

“Silahkan pergi bulan.. asalkan putriku mengerti atas kewajibannya, hatiku telah damai. Biarkan orang-orang termasuk suamiku sendiri memandang sebelah mata, namun dimata Engkau dia tidak seperti itu”

-SELESAI-

Garut-Sanding, 
26 Oktober 2013

Mawar Putih Kharisma


Segelas susu panas yang mengepul asap-asapnya ke udara, sore hari dengan rintikan hujannya aku kerjakan tugas Ibu mengantar segelas susu untuk putri cantik penghuni rumah ini. Melewati tangga-tangga berkeramik putih aku sampai di depan kamar Non Sya. Meski kamar menutup namun harum penghuninya telah tercium sampai luar, sedang apakah gerangan orang yang ada di dalam? Pasti sedang melamun, duduk di meja rias yang menghadap ke jendela luar. Setelah mengetuk pintu teriakan pelan menyuruhku untuk masuk. Dengan senang hati Non Sya.

21 tahun usia dia hampir sama denganku bahkan kami kuliah di perguruan tinggi yang sama juga, hanya berbeda jurusan namun kegiatannya sehari-hari sebagai aktivis kampus tak pernah luput dari pandanganku. Non Sya yang cantik ini tergolong mahasiswi yang pandai dan energik, ia supel dan memiliki banyak teman-teman. Satu lagi dia amat agamis, seperti keluarganya yang memegang kokoh prinsip Islam.

Tapi.

Non Sya di kampus dan di rumah amat jauh berbeda. Di rumah ini jarang sekali aku temui dia berada di lingkungan rumah selain di kamarnya sendiri, entah apa yang selama ini terjadi atau mungkin Non Sya mempunyai keingingan hingga dirinya memutuskan untuk mogok bicara pada orangtuanya, husssh! Enggak seperti itu. Aku sering kok lihat Ayah dan Ibunya Non Sya ngobrol, tapi tetep mereka yang datang ke kamar Non Sya. Tidak di ruang keluarga yang lengkap dengan TV home theaternya, sofa empuk bercorak dulmatian, karpet halus anti debu dengan ruangan yang menghadap kolam renang serta kolam ikan transparan karna seluruh bagian ruangan berdinding kaca. Aku saja jika melewati ruang keluarga itu selalu dibuat merinding. Tidak pula di bungalau rumahnya yang anggun itu, hehe kok aku sebut anggun ya? Terus apa lagi yang harus bilang untuk menggambarkannya, bungalau rumah ini adalah bungalau tercantik yang pernah aku lihat. Terdiri dari sebuah tempat menyerupai saung khas orang Sunda yang berbentuk kerang laut tempatnya Jiny Oh Jiny tidur hehe, dengan pengcahayaan yang temaram tak ketinggalan bunga-bunga anggrek yang dibiarkan tumbuh subur namun terawat juga bunga mawar yang semerbak harumnya. Kemudian satu lagi, ikan-ikan koi berukuran sedang dibiarkan menari-nari diakuarium berbentuk oval. Satu akuarium satu ikan koi, berjejer rapi diatas meja-meja yang disediakan. Anggun dan cantik.

“Non, ini susunya....” Kataku kemudian menyimpan susu panas itu di meja belajar Non Sya.

“Makasih ya Ra.....” Jawabnya singkat seraya melemparkan senyumnya. Senyuman yang tetap cantik namun tak selepas jika aku bertemu dengannya kala di kampus.

“Kita jarang ngobrol ya Ra, sini duduk disini....” Non Sya berdiri kemudian mengambil kursi belajarnya. Sekarang kami saling berhadapan di depan jendela kamarnya.

“Ira, kamu pernah jatuh cinta?” Pertanyaannya kemudian, tak surut senyum dibibirnya.

“Sekarang juga saya lagi jatuh cinta, Non haha” Jawab aku sumringah supaya tidak terlaku kaku.

“Kalau Non Sya?”

***

Mentari di siang hari meranggas, panas. Pulang sekolah aku tempuh dengan berjalan kaki sejauh 2 kilometer. Ayah menyuruhku menggunakan mobil agar tidak kecapean, tapi buat apa? Kalau kaki masih bisa berjalan. Olah raga alami tolakku. Jilbab putih berbahan polino berhasil serap keringat-keringat yang bersumber dari dasar rambut serta kulit wajahku. Namun tetap saja bau keringat mencuat dari badanku yang kebajiran ini. Memasuki pelataran rumah ada sesuatu yang berbeda, di halaman terdapat seorang lelaki muda tengah bergulat dengan gunting dan pohon bongsai yang dibentuk menyerupai tempat duduk.

Kami saling berpandangan, kemudian cepat aku menunduk dan berlari masuk ke rumah.

Menjelang sore hari lelaki itu belum juga pulang. Ia masih sibuk membentuk pohon bongsai di halaman depan rumah. Aku berpikir bahwa keduaorang tua ku sengaja menggunakan jasanya untuk mendekor taman. Tidak masalah.

Hari berikutnya, lelaki itu bekerja di bungalau. Ia menanam anggrek-anggrek aneka rupa, anggrek ungu, putih, dan anggrek bulan yang cantik. Aku senang melihat tangannya yang cekatan, tidak menjadi masalah baginya karna tangan-tangannya yang kotor akibat berjibaku dengan tanah, ia terlihat begitu menikmati pekerjaannya. Berawal dari ruang keluarga yang transparan aku melihatnya kemudian beranjak pergi ke bungalau untuk melihatnya secara dekat, aku semakin tertarik.

“Namaku Syani, semua orang memanggilku Sya. Abang siapa?” tanyaku memulai percakapan.

“Aku Kharisma, panggil saja Kharis” Ia menjawab tanpa melihat padaku. Dia semakin sibuk dengan pekerjaannya sementara akupun semakin sibuk memperhatikannya. Aku senang melihatnya memejamkan mata ketika menghirup mawar segar yang diambilnya dari toples berair. Tiba-tiba ia mendekat ke arahku dan memberikan mawar itu kehadapanku.

“Coba cium, harum tidak?” Ucapnya disertai senyum hangat. Aku cepat mengikuti perintahnya kemudian kepalaku mengangguk, pertanda aku setuju dengannya. Mawar yang harum.

“Aku suka mawar, itu sebabnya aku memilih jadi tukang kebun” Serunya memulai percakapan.

“Tukang kebun???” Tanyaku tak percaya atas pilihan hidupnya.

“Iya.. tukang kebun seperti ini Sya. Aku memilih menikmati pekerjaan daripada susah payah membohongi diriku dengan pekerjaan yang tidak aku sukai. Karna aku tidak mempunyai jatah hidup dua kali, nikmati kata hati daripada kata nafsu. Itu bahagia”

Aku tersenyum meski tak sepenuhnya setuju dengan pemikiran dia. Sedang tidak berminat untuk debat seperti aktivitas sehari-hariku yang beberapa kali memenangkan kejuaraan debat antar SMA, biarkan saja mengalir. Aku menikmatinya.

***

“Aku rasa itu cinta pertamaku, Ra....”

“Terus sekarang gimana?”

“Ikut, aku Ra....”

Non Sya, memegang pergelangan tanganku. Kami setengah berlari menuruni anak tangga lalu sampai di bungalau. Ditengah rimbunan bunga mawar merah Non Sya berjongkok, lalu membuka beberapa helai tangkai mawar sampai masuk lebih dalam. Rimbunan itu sepenuhnya adalah mawar merah kemudian dua helai tangkai mawar Non Sya patahkan, munculah disana kelopak mawar putih yang tersembunyi. Tinggi mawar putih itu tidak lebih tinggi dari mawar merah, hingga tak bisa terlihat bila tidak benar-benar mencarinya.

“Lihat itu...”

Non Sya mengarahkan telunjuknya diantara dua helai mawar putih. Tepat diantara mawar putih itu, sebuah tulisan terbaca meski memudar akibat termakan musim.

Setelah ini kau tak akan mendapatiku disini,
Selain mawar-mawar ini yang dapat kau nikmati indahnya...
Cinta itu Sya adalah kemurnian niat,
Diantara lautan mawar merah ini akan hadir warna putihmu
Sebagai pendamaimu, penyempurna hidupmu
Tunggulah

***

“Niatku datang kerumahmu hanya untuk bekerja Sya, besok pekerjaanku selesai dan aku akan kembali pulang”

Malam ini, cahaya temaram dari rembulan sinari bungalau. Aku dan Kharis duduk dengan pandangan lurus ke depan. Riak-riak cipratan air yang disebabkan oleh sirip ikan koi yang memantul ke aquarium kaca menjadi alunan musik alami yang syahdu. Perasaan tak menentu berkecambuk di dadaku, beberapa jam lagi aku akan kehilangan Kharis. Besok tidak akan aku dapati dia ada di rumah ini lagi, 3 hari yang dilalui meski amat singkat namun menorehkan kenangan khusus di hidupku. Inilah pertama kali aku berbicara dengan lelaki, diusiaku yang ke 18 tahun saat aku duduk di bangku kelas 3 SMA.

Tesss... air mata tak dapat aku bendung. Lalu, aku memilih berdiri dari dudukku dan berlari masuk ke dalam rumah meninggalkan Kharis tanpa menolehnya lagi.

***

“Jadi, ini yang membuat Non Sya jarang keluar rumah selain di dalam kamar?”

“Iya Ra, bahkan ini pertama kalinya aku kembali menginjakkan kaki di bungalau. Aku hanya mampu melihat keindahan ini dari balik jendela kamarku, aku tak mampu melupakan kenangan ini... Kharis masih melekat diingatanku”

“Tulisan ini aku tahu... karna malam hari sebelum dia pergi. Aku lihat Kharis menuliskannya untukku... tanpa dia tahu aku melihatnya untuk terakhir kali”

-SELESAI-


Sanding-Garut,


26 Oktober 2013


 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS