Pages

Pada akhirnya, semua untukmu....

Kamis, 27 Februari 2014

Pada akhirnya, semua yang Bunda lakukan saat ini adalah untukmu Nak....

21 tahun genap sudah usia Bunda, dan apa yang Bunda lalukan di tahun sebelumnya? Salah satunya adalah memulai niatkan diri untuk berada di jalan Allah yang lurus, di jalan yang teridhoi Allah untuk bertemu dengan Ayahmu. Namun nampaknya Allah amat mengetahui keadaan Bunda sekarang, waktu belum mempertemukan kami. Ah tapi tak terlalu Bunda risaukan sebab di usia Bunda yang masih muda ini akan banyak kemungkinan-kemungkinan yang terjadi untuk menyambutmu ke dunia, Nak.

Nak, akidah Islam adalah pedoman hidupmu kelak.. maka sebelum kamu lahir, saat ini Bunda harus menyenyamnya untuk nanti Bunda wariskan padamu, Bunda adalah pesantren dan perpustakaan pertama untukmu. Maka dari itu juga, di balik kesibukan kuliah, sekarang Bunda mengusahakan diri untuk menulis sebuah buku sebagai catatan kecil bagi para Bunda untuk menanamkan kecintaan pada Allah melalui Al-Qur’an. Semoga Allah meridhoi. Bunda ingin Nak, seluruh ibu di dunia ini mengerti bahwa pendidikan agama bagi anak adalah modal terbesar untuk menjalankan kehidupan. Apalagi di masa kanak-kanak yang merupakan masa pembentukan watak, apa dan seperti apa anak dipengaruhi oleh didikan Ibunda di waktu kecil.

Bunda ingin anak-anak solih yang beraklak bagus, pintar, pandai membaca Al-Qur’an, memiliki hafalan yang baik, tidak hanya berada di pesantren. Namun tumbuh dan berkembang di rumah-rumah dengan kehangatan orangtua, Bunda dan Ayah yang membimbing.

Pun dengan semua ini, Bunda harus pintar mengatur waktu. Kapan Bunda kerjakan tugas-tugas kuliah, menulis dengan kegiatan organisasi juga waktu belajar ilmu agama, tak lupa pekerjaan rumah; memasak.

Nak, meski kau belum hadir di rahim Bunda tapi sosok dirimu yang kelak akan tumbuh di dunia membuat Bunda mencintaimu sedari dini... iyaaa Bunda mencintaimu sebelum Bunda bertemu ayahmu.

Sayang... kau harus tumbuh dengan baik, meski udara sudah tak segar lagi, tapi Bunda dan kelak ayahmu tercipta sebagai penyegar untukmu dan kau Qurrata Aini diantara kami.. penyejuk mata Bunda.

Semoga Nak, jika waktu telah tepat pertemukan Bunda dengan ayahmu, dia adalah sosok yang miliki pemahaman yang sama dengan Bunda hingga terlahirlah kau dengan sebaik-baiknya anak di dunia juga akhirat.
Bunda sama Fitia, putri murobi Bunda. eh tapi aneh fotonya kok bisa ke balik gini yaaa, gpp deh :)

Buku Oh Buku!

Minggu, 02 Februari 2014



Selamat hari minggu :D

Hari ini saya santai sekali, kosong agenda asiiiik tapi mungkin karna niatnya dari kemarin cuman mau beresin buku eeh saya jadi lupa punya cucian hihihi, kebuktikan buku mengalahkan segalanya? Plaaaak! 

Tapi alam juga mendukung kok, tuh diluar hujan :D #alasan 

Hobi baca saya sebetulnya dari SMP tapi dulu kurang suka ngoleksi buku paling cuman pinjem dari Perpustakaan Umum Garut atau dari temen, nah semenjak jadi mahasiswa mulai deh keluar masuk toko buku, nabung-nabung uang jajan buat beli buku daaaan apapun asal demi buku saya korbankan. 

dari SD langganan PU Garut

mau buku lagiiii

InsyaAllah sebentar lagi saya lulus kuliah bakal dapat kerjaan, berarti kalau punya kerjaan saya bakal bebas mau beli buku apa aja asiiiik asiiiiiik :D 

Saya mau nanti kalau udah berkeluarga punya rumah sendiri, di ruang tamu rumah saya itu bukan hiasan atau barang elektronik tapi jejeran buku-buku. Anak-anak saya hobi juga baca buku, suamipun begitu atau kalau bisa punya toko buku sekaligus #Aamiin

Coba tanya, apa yang membuat saya galau?
Habis buku bacaan. 

Kalau sudah gak ada yang bisa saya baca, alaaaaah serasa buat apa hidup ini?! 

Eh tapi buku apa dulu saya baca?
Bukan buku pelajaran hehehe, sekarang saya lagi senang novel bergenre thiller dan buku sejarah Islam atau all about Islam deh saya suka. 

Berikut ini buku harapan saya di bulan Februari:
1.       Muhammad Penggenggam Hujan – Tasaro GK
2.       Muhammad Al-Fatih – Felix Siauw
3.      The Khilafah – Zainur Ridwan
4.      The Ladies Friends – Dan Brown
5.      Surat Lepas Lajang – Ratna Ayu Budhiarti
6.      Filosofi Kopi – Dee
7.      Madilog – Tan Malaka

Kalau ada orang yang sayang ke saya dan mau beliin buku-buku diatas, kirim aja ke sini haiyaaaah hahaha : Sanding Lebak Gg AhmadJayadi no 54 RT/RW 03/-01, Garut Jawa Barat. Atas Nama Retno/Eno,
ngasaaaal pisan :v

Oke deh, dadaaah selamat weekend :D


Sepetak Sawah

Sabtu, 01 Februari 2014



           

           
            Gulungan awan-awan di langit tersibakan tempatnya oleh matahari yang meranggas seolah membuka ruang lebar bagi cahaya untuk masuk tepat ke permukaan bumi. Terik dan panas menyalakan kulit-kulit manusia di bawahnya yang terbakar siang bolong. Seorang lelaki menghapus keringat di pelipis kirinya oleh punggung tangan yang bewarna coklat tua tanda sengatan matahari yang setiap hari menerpa seluruh tubuhnya. Lelaki yang berjongkok dan melakukan gerakan melangkah ke belakang dengan kedua tangannya yang cekatan menanami binih padi. Penutup kepala yang terbuat dari anyaman bambu kering ia gunakan sebagai penghalau panas dan teman setia pekerjaannya sekaligus yang membuat ia dikenal oleh orang-orang sebagai Pak Marwan petani sawah.
            Berpuluh tahun Marwan geluti pekerjaan ladang nafkah dirinya dan keluarga dari sebelum menikah sampai dikarunia tiga orang anak, sepetak sawah peninggalan orangtua Marwan yang di urusinya dengan telaten. Di saat orang-orang ramai menjual sawah mereka kepada perusahaan properti untuk dijadikan perumahan, Marwan adalah satu-satunya petani yang bersikukuh tak mau sawahnya dijual-belikan, ia berkelah kasih sayang orangtua memang sepanjang masa, disaat telah tiada dan sosoknya menjadi kenangan pun, kasih sayang terus terasa oleh peninggalan terakhirnya yang harus dijaga.
            “Pak, Ibu mengerti sepetak sawah kita peninggalan Emak dan Abah, selama ini menjadi pemenuh kebutuhan hidup kita, tapi satu tahun terakhir ini penghasilan dari sawah tidak cukup. Ibu tidak keberatan membantu Bapak bekerja, pagi berjualan gorengan siang hari pergi ke rumah-rumah tetangga membawa baju-baju kotor untuk di cuci. Tapi Pak... dengan Ibu bekerjapun ternyata masih tetap tidak mencukupi”
            Percakapan dengan Halimah istrinya kemarin malam terkenang di benak Marwan, obrolan serius yang membuat malamnya susah tidur.
            “Terus Ibu maunya apa?”
            “Kalau Bapak tidak keberatan Ibu ingin bekerja saja seperti Ceu Elis ke luar negeri”
            “Maksud Ibu jadi TKW?”
            “Kalau Bapak ijinkan demi kebaikan keluarga Ibu tak mengapa harus kerja di negeri orang lagipula anak-anak kita sudah besar, Irma kelas 2 SMA, Rani SMP dan si bungsu Aziz jika ditinggalkan usianya sudah bukan lagi balita yang menangis jika susunya habis”
            Marwan berdiri dari jongkoknya sepetak sawah telah semuanya tertanami binih ia lantas memilih duduk di saung biliknya, di atas tikar butut Marwan seloyorkan kedua kakinya yang kotor sempurna oleh tanah. Di tariknya nafas dalam, ada sebersit rasa perih menyergap isi hatinya. Halimah perempuan yang dinikahinya 20 puluh tahun lalu, sederhana dan tak pernah membangkang. Istri penurut dan mau menerima keadaan suami apa adanya, seingat Marwan istrinya itu meski hidup seperti ini tak pernah mengeluh apalagi marah-marah pada dirinya. Hari ini anak-anak makan pun sudah sangat bersyukur Halimah pada Tuhan atas keberkahan rezeki yang diberikan pada keluarganya.
            “Bu, apa Bapak selama ini tidak pernah membahagiakan Ibu?”
            “Kok Bapak nanya gitu? Karna Ibu ingin jadi TKW?”
            “Bapak mohon maaf Bu...”
            “Pak, sekarang bukan waktunya lagi Bapak memikirkan kebahagiaan Ibu. Irma, Rani dan Aziz melebihi segalanya untuk Ibu, jika mereka dapat sekolah dengan baik tanpa ada permasalahan keuangan di sekolahnya itu kebahagiaan untuk Ibu”
            Marwan memikirkan bagaimana hidupnya jika ditinggal istri sebaik Halimah mungkin bukan anak-anaknya saja yang sehari dua hari atau bahkan berbulan-bulan menangisi kepergian ibunya, tapi begitupun dengan dirinya atau mungkin Marwan bisa meratap selamanya jika Halimah tidak ia lihat ditiap sudut rumahnya.
            Marwan merogoh ke dalam saung, ia ambil gelas plastik warna kuning lalu tuangkan air teh ke dalamnya.
            “Kalau begitu biar Bapak saja yang jadi TKW....”
            Tangan Halimah berada di udara dan cepat jari-jarinya saling bergoyang ke kanan ke kiri.
            “Tidak...tidak Pak.... kalau Bapak jadi TKW, nanti sawah bagaimana?”
            Alangkah perhatian Ibu pada dirinya jika cinta Ibu bukan hanya untuknya tapi pada almarhum Bapak dan Emak.
            “Ya sudah kita jual saja sepetak sawah kita.....”
            Hening, mata Halimah terpejam sementara pundak Marwan kini terasa berat. Sudah tersungkur kepala istrinya di pundak Marwan dengan suara yang berisak air mata. Pun dengan Marwan, apa yang diucapkan bibirnya? Sungguh tak pernah terbayang. Pengorbanan Halimah harus terbayar, tak mengapa cinta kalahkan logika karena kebahagiaan harus terus diperjuangkan. Sampai kapan ego kuasai nurani? Itulah hebatnya cinta mampu luluhkan benteng egoisme, maka benar kiranya sebuah pepatah; jika egoisme melebihi cinta, itu namanya bukan cinta.
            “Bu, jika sawah sudah terjual.. kita hijrah ke kota dan buat usaha yang baru disana.. berkah Allah ada pada hambaNya yang mau berusaha” 

****

            Di pematang sawah seorang perempuan berjalan dibuntuti anak lelaki berusia 4 tahun yang berjinjit amat hati-hati jalannya. Mendekati saung tangan anak lelaki bernama Aziz itu melambai dengan senyum yang menampakkan deretan gigi putihnya, ia berlari dan duduk di pangkuan ayahnya yang selesai melamunkan kejadian semalam antaranya dirinya dengan Ibu dari anak-anaknya.
            “Cape, Pak?” Halimah bertanya lembut lalu duduk disamping Marwan.
            “Biasa saja Bu...”
            “Sekarang terakhir Bapak tanami binih sawah kita ya?” Sorot mata Halimah memandang tajam mata Marwan kemudian menatap lurus sawah di depannya dengan pandangan sendu.
            “Selalu harus ada yang dikorbankan untuk menjemput kebahagiaan, agar kita panjatkan semakin banyak do’a tanda lemah di hadapan Yang Maha Kuasa”
            Jemari Marwan menarik tangan Halimah untuk kemudian di genggamnya erat. 

-SELESAI-


           

Waktu Untuk Bicara



;adakah waktu untuk kita sama-sama saling bicara?

Nug, mungkin cermin yang aku gunakan berkaca terselimuti debu
Sampai tak bisa aku lihat jelas jejak senyum dalam bibirku
Setelah hari itu, akhirnya aku tahu
Kau telah jauh melangkah di depanku

Nug, siapa yang lantas menjadi tumbal kesalahan di kisah kita
Aku atau kau?
Ku pikir tak ada...
Sebab awal dan akhirnya pun aku tak tahu seperti apa
Kita hanya berada dalam poros lolongan orang-orang
Tentang ikatan yang tak pernah kita ikrarkan

Namun Nug,
Sejak saat itu...
Saat yang telah lalu
Di kali pertama aku melihatmu
Entah aura apa yang menyelubungi ragamu
Seperti blackhole di angkasa raya yang menarik akalku

Mungkin kala itu, aku benar jatuh cinta padamu?
Hingga sampai saat ini aku masih melipat bongkahan cinta itu di dada
Namun tak pernah aku utarakan padamu
Sekarang, adakah waktu untuk kita sama-sama saling bicara?
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS