Pages

Mujahid Dalam Rahimku

Sabtu, 12 Desember 2015

Bismillah...

Bogor yang hujan tapi hati aku bertebaran bunga,
MasyaAllah pengharapan dari sejak dulu bahkan sebelum menikah Allah kabulkan.
Setelah empat kali coba test kehamilan yang hasilnya satu strip terus, untuk test ke lima akhirnya dua strip muncul di stik :D.

Munculnya garis itu cepet banget, dengan perasaan dagdigdug aku cuci tangan yang gak sampai 10 detik kemudian balik kanan memperhatikan lajur warnah merah itu, strip di bawah - strip di atas - postif!. Sontak aku panggil ceman-ceman kerja.

"Positif Lu, positif!"
"Udah langsung ke dokter aja!"
"Neng.. itu mah strip nya udah jelas, hormonnya udah tinggi!"

Sore kemarin yang mendadak ramai dan aku tegang, percaya teu percaya! melihat aku yang panik bin bingung, satu di antara mereka hubungi poli kebidanan, usul poli kebidanan langsung ke dokter kandungan biar langsung di USG katanya.

kata Dokter In, usianya 4 minggu, kantung rahimnya keliatankan :)
MasyaAllah...
Desember ini memang luar biasa, AllahuAkbar!
sebelum mendapatkan detak jantung ada dalam rahimku ini, di awal Desember ini pikiran dan tenaga aku memang sedang terkuras oleh agenda syukuran pernikahan dan ujian perpanjangan kontrak kerja, bo! aku yang udah lama gak lakuin tindakan keperawatan disuruh ujian, walhasil masuk jam 10 pagi pulang jam 9 malam, jam kerja ditambah latihan tindakan dulu. Tapi proses yaaa nikmatin ajaaaa, meski sekarang banyak bisik-bisik supaya hati-hati jalannya ulah seseredeg, jangan kecapean, jangan bolak balik pulang ke Garut.

MasyaAllah... Ya Allah...
Mujahidku, Kholifahku, Syuhadaku baik-baik ya Sayang dalam rahim Umi, kita harus kuat setrooong, harapan Umi terkabul Nak, pas syukuran Adik udah ada jadi doa-doapun turut mengalir ke Adik.


Abi kayanya makin sayang ke kita, Nak :*
we love u coz Allah....

Lelaki Pembuka Pintu Surga (Post On Dkawatuna)

Jumat, 11 Desember 2015

Gaida keluar kamar dengan dada berdebar kencang, ia raba nadi tangannya yang berdetak kuat, matanya sempatkan melirik jam dinding menghitung kecepatan nadi yang luar biasa sampai takikardi, yakni 90 kali permenit, sama halnya seperti lari keliling lapangan.

Awalnya selepas Maghrib Gaida sedang melakukan rutinitas hariannya yakni mengulang hafalan juz 30 nya, kali ini surat An-Naziat yang dimurojaah Gaida. Dengan sedikit menyesal pada dirinya sendiri karena sulit meluangkan waktu hingga hafalannya tak bertambah Gaida mulai mengazzamkan diri untuk memperbaikinya sebab sahabatnya Deana pun selalu komentar terhadap hafalan surat yang dimilikinya.

“Cah ayu, usia sudah mau 25 tahun, kapan hapalannya bertambah? aku temenmu sampe bosan lihat kamu mondar-mandir gak nambah hapalannya…. katanya mau nikah?”.

Bluk! bantal empuk sukses Gaida lemparkan ke arah Deana, sahabat dekatnya yang sore itu berkunjung ke rumahnya bersama anak kesayangannya,

“Cah ayu, untung aku gak lagi gendong anak lanangku, bisa-bisa nangis dia kamu timpuk pake bantal!”
Sekarang semua boneka-boneka yang bertengger di atas kasurnya satu per satu Gaida lemparkan ke arah Deana sambil tertawa keras.

“Gaida… bukan hanya hapalannya yang gak bertambah tapi kelakuannya masih kaya abege, pantes… kapan… nikahnya?”.

Bluk!
Sekarang bukan bantal atau boneka yang melayang ke udara tetapi ucapan Deana yang seolah lemparan batu ke hatinya. Gaida diam ia berhenti tertawa, suasana hening seketika, Deana yang menyadari ucapannya terlampau keras mengigit bibir bawahnya, perempuan berjilbab abu itu menghampiri Gaida, sementara yang dihampiri justru menghindar. Gaida turun dari atas kasurnya, ia berjalan menuju cermin.

“Kadang aku berpikir, mengapa sampai terlintas dulu menolak lamaran Mas Agung, meski usiaku masih 22 tahun tapi lelaki yang melamarku dia dewasa dan mampu membimbingku. Mengapa aku terpikir ingin menikmati indahnya dunia, padahal setelah menikah kemungkinan menikmati indahnya dunia bersama jauh lebih indah”

“Aku takut setelah menikah duniaku berubah, aku yang bekerja dengan penghasilan lebih untuk mencukupi diri sendiri tak ingin berubah menjadi ibu rumah tangga yang bekerja di dapur dan pekarangan rumah, aku yang terbebas membelanjakan ini itu semua kemauanku, takut kehilangan moment itu karna harus membagi uang belanja dengan tagihan listrik, padahal Allah mengatur rezeki hambaNya, cicak yang diam saja, yang ikhtiarnya melata Allah kirimkan nyamuk, apalagi manusia, apalagi yang telah membangun rumah tangga…”

“Deana, ternyata bukan hanya usiaku dulu yang masih labil tapi kelemahan imanku, kekalahan diriku oleh dunia yang membuat mataku gelap untuk melihat kebesaran Allah, kurang apa Mas Agung, hanya karena dia baru lulus kuliah dan sedang merintis usaha berjualan herbal dan gamis, aku tega menolaknya? Padahal dari semua teman organisasiku hanya dia yang menjaga interaksinya dari perempuan, kesetiannya pada Tuhan terjamin. Lalu lihat sekarang Mas Agung, kesabaran dan ketekunannya merintis usaha berbuah manis, keluargaku saja belanja kebutuhan sehari-hari ke Market Sunnah miliknya, bukan lagi herbal dan gamis!”

“Dan… berlipat-lipat pula kebahagiannya karena di sampingnya berdiri perempuan bercadar marun dan buah hati yang sedang belajar A..Ba..Ta..Tsa… sementara jika bertemu denganku dia nampak selalu ramah seperti halnya pada pelanggannya yang lain meski tetap menjaga pandangan ciri khasnya, seolah tak pernah terjadi apa-apa… beda halnya denganku…”

“Sssstt…. Gaida, jangan samakan dirimu dengan Mas Agung dan jangan biarkan masa lalu membuatmu tersiksa oleh penyesalan. Dulu itu keputusanmu… maka tak usah kamu ambil pusing dengan penyesalan, terlalu rumit nanti hidupmu, di tengah ikhtiar menemukan jodoh kamu pun permasalahkan masa lalumu. Ngomong-ngomong kapan mau move on? Ayam aja tiap pagi berkokok” Ujar Deana seraya menatap lekat Gaida diakhiri dengan kerlingan mata.
 
“Kamu cantik… sholehah…”

“Iya.. cantik.. sholehah.. hanya terlalu pilih-pilih!” seru Gaida memotong ucapan Deana yang langsung sahabatnya itu bekap mulut Gaida

“Ucapanmu itu doa, hati-hati!”

***

Tak ada yang lebih lama dari panjangnya masa penantian. Mengetuk pintu pengabulan doa dari waktu ke waktu, menunggu saat mustajab untuk bersujud dengan buncahan harapan. Tak terasa buliran air mata menjadi pelengkap keinginan yang kuat, kekhusyuan dari permintaan yang membawa pada realitas perbaikan diri.

Banyak cerita yang menuliskan perjuangan perempuan temukan tambatan hati yang mengajak berdiri di altar pelaminan, pun itu yang saat ini Gaida lalui. Semoga tak menuai kebosanan sebab memang hal ini benar terjadi. Dijerat usia, dirundung penyesalan masa lalu, ditekan pertanyaan “kapan menikah?” ialah faktor-faktor yang kian menguatkan keinginan, selain tentunya kebutuhan tak kasat mata yang muncul dari diri seorang insan untuk hidup menyempurna.

Pagi ini… tak seperti pagi paginya yang lain. Dengan mata panda yang menandakan Gaida kurang tidur, ia keluar rumah dengan hati ceria. Didekapnya buku-buku tebal materi perkuliahan karena meski hari Minggu sebagai mahasiswa pasca sarjana ia harus menunaikan kewajibannya kuliah non regular. Gaida berjalan menuju shalter bus tempat ia menunggu alat transportasi darat. Kini, kembali dadanya berdegup, setelah kejadian kemarin malam akankah dirinya kembali bertemu sesosok yang selama ini menunggu bus yang sama di shelter tempatnya berdiri ini. Hembus angin pagi menyapa kulit wajah Gaida. Bus biasanya datang pukul 08.00, masih 20 menit lagi. Terlalu pagikah? Pikir Gaida, namun tak lantas membuatnya risau. Gaida ingin menikmati pagi ini sepanjang yang mampu ia lakukan. Gaida memejamkan matanya, memutar kembali betapa perjuangannya menyempurnakan agamanya tidak seperti membalikkan telapak tangan.

“Lelaki yang baik… untuk perempuan yang baik, begitupun sebaliknya….” Ujar Deana menjawab pertanyaan mengapa di tahun kedua perkuliahan dirinya memutuskan menggunakan jilbab lebar.

“Loh, jadi perubahanmu hanya untuk itu, De? Gak ikhlas dong…” Sembur Gaida dengan bibir maju beberapa senti.

“Ngawur! Aku hanya berpikir ini menjadi wasilah, jalan untukku bertemu lelaki sholih. Kamu tahu mana mungkin ada lelaki yang mau sama cewek yang dandanannya kaya aku gini, apa kamu bilang dulu, kaya emak-emak? Susah dapet kerjaan? susah dapet jodoh?. Aku gak peduli!. Dengan penampilan aku yang seperti sekarang aku merasa jauh lebih terjaga, jangankan ikut-ikutan nonton, lihat cowok yang bukan mahromku saja sekarang aku segan….”

“Dan…. Yang pasti, aku merasa patuh pada titah Allah. Selebihnya aku berharap kehidupanku jauh lebih berkah dan cara aku bertemu jodoh sesuai dengan syariat Islam. Aku gak mau pacaran, Gaida, aku gak mau!”.

Gaida mendengar ucapan sahabatnya itu dengan mata tak berkedip. Seterusnya Gaida menyaksikan proses Deana mewujudkan harapan membangun mahligai rumah tangga tanpa proses pacaran. Hanya dua minggu Deana bertemu lelaki itu kemudian menikah dan hidup bahagia sampai anak lanangnya lahir. Dalam hati, diam-diam Gaida pun mengharapkan kebahagiaan yang sama, diazzamkanlah sebuah keputusan besar; tak ingin pacaran.

Memutuskan kekasih yang membuatnya menangis tiap malam lantas terbangun dengan harapan Allah menggantikan yang lebih baik, menolak lamaran pria shalih, dirundung penyesalan tak berkesudah saat usia beranjak seperempat abad tapi suami idaman belum juga nampak ke permukaan, ditanyai orang-orang terdekat “kapan menikah?” Orangtua meski tak mendesak namun terlihat begitu senang tiap menggendong anak orang. Semuanya telah cukup membawa hati Gaida ke jurang kedukaan.

“Aku pasrah aja, De kalau memang takdirku terus melajang….” Isak Gaida pagi itu di pundak sahabatnya. Gaida jika sudah terdesak untuk curhat tak pernah melihat tempat dan waktu, kali ini di shalter bus saat bertemu Deana perempuan bermata bulat itu langsung curahkan isi hatinya.

“Gak boleh gitu, Cah Ayu… semangat! Allah akan berikan yang terbaik, ingat janji Allah yang menciptakan semua makhluk berpasangan….”

“Terus kapan?”

“Gak semua pertanyaan harus dijawab saat ini, Cah Ayu…” Deana menarik tubuh Gaida ke pelukannya. Jarum jam hendak menunjukan pukul 08.00, dari kejauhan bus yang ditunggu Gaida mulai nampak. Oleh jemari tangannya Gaida menghapus sisa-sisa air mata yang membuat wajahnya sembab. Ia berdiri diikuti Deana yang kembali memeluknya.

“Dah… hati-hati….”

“Assalamualaikum….” Sapa seseorang pada Deana setelah dirinya melepas kepergian Gaida, tangannya yang masih melambai pada bus yang dinaiki Gaida menggantung di udara.

“Waalaikumsalam, ya, ada yang bisa dibantu?”.

“Perkenalkan nama saya Ginan, maaf sekali jika saya lancang, apakah teman anda yang tadi bercerita belum menikah?”.

Mata Deana seolah hendak keluar, ia perhatikan lelaki yang berdiri di hadapannya dari rambut sampai ujung kaki.

“Oh mohon maaf, saya sepertinya pernah melihat anda di kantor cabang PT.Auraxo, sepertinya anda istri teman saya”

Deana dibuat bingung setengah mati, ingin sekali ia pergi mengingat kepatutan seorang istri berbicara dengan lelaki lain. Deana takut akan bahaya fitnah, melihat gerak-gerik Deana, lelaki yang menyebut namanya Ginan itu segera paham lalu pamit undur diri setelah mengucapkan sebuah kalimat,

“Nanti saya akan bertamu ke rumah suami anda….”

***

Malam itu Gaida dipaksa keluar kamar oleh Deana, dibukanya kain mukena perlahan.

“Pakai kerudung biru ini, dari proposal yang sudah kita pelajari, Ginan suka warna biru…”

“De, betul ini semua?”

“Betul apanya Gaida?”

“Aku merasa begitu cepat, kalian datang tanpa memberiku kabar, kamu minta aku tuliskan data diriku lengkap, apa kamu bilang? Proposal pernikahan? lalu sekarang setelah meminta aku untuk shalat istikharah, kamu datang dengan lelaki yang baru aku lihat fotonya saja?”

“Kamu yakin dengan kemantapan hatimu kan, Cah Ayu?”

“InsyaAllah…”

“Alhamdulillah, sudah ayo, kita temui Ginan di depan, dia sedang menunggu jawabanmu, dia datang untuk mengkhitbahmu. Suamiku sebagai saksinya Gaida, jika Ginan adalah lelaki yang baik, taat ibadahnya, InsyaAllah dia pantas kamu harapkan untuk menjadi imammu dan kita tak pernah tahu apakah kedatangannya adalah cara Allah untuk menjawab doa-doamu?”.

***

“Andai dosa itu menjalarkan aroma bau, entah sengatan busuk seperti apa yang keluar dari celah-celah fisik. Andai dosa itu mengeluarkan lendir, entah wujud seperti apa yang selimuti anggota tubuh dan andai dosa itu mengikis jasad maka sudah tak berpijak lagi seonggok diri yang penuh dosa ini di atas tanah, mungkin telah terkubur menjadi renik-renik tanpa guna menunggu siksa”

“Maha Mulia Allah yang memberi kesempatan utnuk perbaiki diri, menyulam robekan demi robekan yang usang karena ketidaktahuan juga lemahnya iman. Tidak dijadikan manusa tersiksa aroma bau, lendir maupun kikisan yang bersumber dari dosa. Allah beri keleluasan waktu untuk memperbaiki diri, memohon ampunan dan menata kehidupan yang baik sesuai syariat Islam dan denganmu wahai imamku, aku genapkan titah agamaku, ibadah sepanjang usiaku”
“Kau, lelakiku pembuka pintu surga…” Lirih Gaida pelan menyapu peluh yang keluar dari kening suaminya.

Menikah Tanpa Perasaan Cinta (Post On Dakwatuna)

“Tapi aku sama sekali tidak mengenalnya, tidak memiliki perasaan istimewa padanya, lantas bagaimana aku bisa menikah dengannya?”. Kalimat-kalimat itu yang muncul dalam benak seorang insan saat pertimbangan pernikahan datang.
Menikah adalah perkara seumur hidup, ibadah sepanjang usia maka haruslah kita jatuhkan pilihan pada orang yang tepat. Seseorang yang membersamai kita lewati segala musim, ujian juga kebahagiaan. Menapaki tangga demi tangga kehidupan, berlayar di samudra kenyataan yang luas, saling menguatkan lewat genggaman tangan dan keyakinan penuh. Semua berawal dari keputusan, memilihnya sebagai pasangan hidup menjadi patner sejati.
Menikah tanpa perasaan cinta, memang harus begitu bukan? Sebab jika cinta sudah terasa jalari hati, waspada, di sana permainan setan turut serta. Memang siapa dia, apa kepentingannya dalam hidupmu, bagaimana syariah berkata, jika seorang yang belum halal untuk kau genggam perasaannya telah mengisi hatimu?.
Menikah tanpa perasaan cinta, bisa jadi buaian angan semata yang merajuk hatimu mencari seseorang yang kau cintai tanpa hubungan sah, mencari dan terus mencari sampai terjelembab di lubang kenistaan yang telah Allah larang, yakni zina.
Menikah tanpa perasaan cinta, membiarkan hatimu tetap dalam keadaan kosong yang hanya diisi dengan kepercayaan pada Allah, jika perempuan yang baik untuk lelaki yang baik begitu pun sebaliknya. Mengisinya dengan prasangka baik pada Allah lewat pengharapan-pengharapan doa yang pasti Allah dengar, sedangkan cepat atau lambat itu hanyalah perkara waktu yang haqqul yakin Allah mengabulkannya.
Menikah tanpa perasaan cinta, akan terhapuskan setelah kau temukan dia sang pangeran jawaban atas doa-doamu, kondisi dan keadaan setelah menikah yang mewajibkan sepasang suami istri hidup bersama walaupun baru saling mengenal akan membentuk perasaan cinta. Jika sebelum menikah telah miliki perasaan cinta pada pasangan yang tidak diakui KUA apalagi Tuhan itu adalah permainan syaitan yang menjerumuskan, sedangkan buih perasaan cinta yang hadir setelah menikah yakinlah itu kebesaran Allah yang menghantarkan dua insan menuju gerbang kebahagiaan dunia dan akhirat.
Perasaan cinta mampu tumbuh dengan sendirinya, terlebih bagi seorang perempuan, melihat pasangan berakhlak baik pun telah getarkan perasaan-perasaan. Jangan takut menikah tanpa perasaan cinta, jika telah yakin bahwa pasangan yang meminangmu miliki pemahaman yang baik terhadap agama. Pasangan yang baik agamanya, menjadikan kewajiban sebagai landasan tanggung jawabnya. Dan tanggung jawab ialah bukti cintanya. Tanggung jawab bukan hanya di dunia tetapi akhirat.

Menikah ~ Ibadah Sepanjang Usia

Selasa, 01 September 2015

Bismillah...

Tidak terasa sudah dua minggu usia pernikahan kami meski kata suami, "Gak usah dihitung, Mi..." "Kenapa gitu Bi? karena selamanya yaa..." hihi namanya perempuan asyik aja nanda-nandain hari apalagi setelah menikah setiap hari rasanya ditunggu buat ketemu haiiiih, pasutri LDR mah kieu :D.

Betewe, udah ngomongin nikah aja, emang kapan kamu, No nikah? gak ada kabarnya sekaligus gak ada bisik-bisik tetangga di blog ini. Wkwk, demi menjaga kerahasiaan agar tidak timbul fitnah, keluarga besar pun baru tahu beberapa hari menjelang pernikahan, teman-teman tahunya pas saya kasih pengumuman *Ceileeeeh emang siapa dirimu itu No?!. Oke-oke kabuur*.

Tanggal 16 Agustus 2015, saya dipersunting lelaki yang InsyaAllah sholih, lelaki yang selama ini saya sebut-sebut dalam doa di tengah kepasrahan, siapa gerangan jodoh yang Allah takdirkan untuk arungi hidup denganku, membangun rumah tangga dengan visi misi bersama. Lelaki yang sama sekali tidak saya kenal, belum pernah bertemu dalam aktivitas apapun kecuali mungkin pernah tapi tidak saling menyadari, aku dimana... dia dimana... *pake lagunya Ran*. Kami bertemu dua kali, sementara pada pertemuan ke tiga saya duduk sebagai calon mempelai perempuan. Pukul 09.00 bertempat di kediamana saya, Sanding lebak dia datang bersama rombongan keluarganya untuk mempersunting saya. Kami mempersiapkan walimahtul ursy ini dalam waktu satu minggu dengan keadaan saya yang di Bogor, beliau dan keluarga di Garut. Bahkan satu hari menjelang pernikahan saya masih bekerja di Bogor dan baru sampai ke Garut jam 11 malam, esoknya pernikahan terselenggara. Tapi... segala puji bagi Allah yang telah memudahkan niat kami ini, ibadah yang berjalan sepanjang usia. Saya ingat saat menunggu Bapak menjemput di terminal, saya ngobrol dengan bapak-bapak yang menunggu anaknya pulang, setelah panjang lebar si bapak bertenya "Neng, sudah berkeluarga?" saya jawab "InsyaAllah besok saya nikah, Pak...." si bapak itu terbelalak. Hihihi.

Setelah semuanya berjalan, saya setuju dengan ucapan orang-orang jika niat baik InsyaAllah jalannya mudah, satu minggu yang penuh pakpukpek itu baik keluarga maupun beliau (red:suami sekarang) diberi kemudahan oleh Allah, dimulai dari daftar KUA yang hanya berjarak tiga hari, baju penganten yang dijahit cuma 2 hari, hubungi sanak saudara, sesepuh tempat tinggal, persiapan di pihak lelaki terkait mahar dll, jamuan tamu masak memasak. Semua Allah permudah.

Hiks, udah jam lima waktunya pulang kerja, karna saya posting ini pake komputer kantor cerita dilanjut esok, okraaay!.

Pagiiii, tanggal satu di September ceria. Aamiin. Saya mau lanjut cerita, tapi jadi bingung mau nulis apa. Ouwaaa, mungkin sebagian dari kesadaranku masih merasa tidak percaya jika sekarang statusku menjadi seorang istri dan di Garut sana ada lelaki yang setia menghubungi, pagi, siang, malam untuk bertanya kabar, mengingatkan sholat, dan note-note keseharian. Syukur Alhamdulillah.... Allah pertemukan saya dengan lelaki yang terjaga aktivitas ibadahnya, rutinitas dan terjadwal, tidak perlu lah saya ingatkan dan berseru-seru agar suami pergi ke mesjid sebab saya malah dibangungkannya karna ketiduran di mesjid saat kami menunggu waktu syuruq.

*

Menjalani pernikahan tanpa perasaan, ternyata tidak menyeramkan namun justru nikmat rasanya. Sebab hati terjaga dari radar zina, setelah menikah perasaan tumbuh bermekaran seperti bunga di musim semi yang pernuh warna *ceuilaaaah*. Percaya deh, mending nikah daripada cinta-cintaan tapi boongan, cinta-cintaan yang gak diakui KUA apalagi Tuhan. Perasaan digenggam tangan pertama kali oleh suami, lelaki yang halal bagi diri rasanya zzzrrrrr banget, memangilnya dengan sebutan "Sayang...." pahala sudah didapat, apalagi  jadi istri taat yang membahagiakan hatinya *Yap InsyaAllah berjuang!*. Surga seolah dekat.

Oh ya, saya pun teringat betapa lapang hati orangtua saya menerima keputusan saya yang  ingin melangsungkan akad nikah, setelah banyak pengorbanan yang mereka berikan di usia muda saya putuskan untuk mengakhiri masa lajang padahal pengorbanan mereka begitu besar untuk kehidupan saya yang belum saya genapi untuk membalasnya. Hatur nuhun Mamah...Bapak... MasyaAllah kedah kumaha abdi ngalawer sadayana mugia Allah maparin surga kanggo Mamah Bapak....

*

Last, sedikit foto acara pernikahan kemarin,

saya dan suami

sahabat-sahabat :*


surat lepas lajang

Jazakillah khoir untuk orangtua dan keluarga, Bi Rani dan Bi Ati baju pengantinnya, Mah Aas yang ngerias, Intan Kiki Ulfah yang nata kerudung, untuk semua doa yang mengiringi perjalanan kami, tangga baru kehidupan sudah saya buka untuk ditapaki, saya percayakan hidup saya dan hidup anak-anak saya pada lelaki yang ada di samping saya lelaki yang InsyaAllah baik agamanya, terjaga hati dan pandangannya, sebab jika bukan karna tujuan kita yang sama, kita tidak akan mungkin bersatu, Bi... semoga dengan pernikahan ini mampu membawa kebaikan untuk dakwah kita. Beberapa bulan ke depan InsyaAllah kami akan menyelenggerekan syukuran pernikahan semoga Allah mempermudah.

Secangkir Kopi Rindu

Jumat, 14 Agustus 2015



Secangkir Kopi Rindu
Retno Novita S

            Rerintik yang sedari subuh belum tunjukan binar-binar matahari. Bogor yang mendung, selalu lembab oleh hujan. Gaida menghela nafas panjang, didekapnya sebuah buku tipis berisi deretan menu kopi.
            A sweet memori, meminum kopi semanis mengingat kenangan. Siapapun yang sedang patah hati datanglah ke kedai yang telah beroperasi selama tiga tahun ini. Pemiliknya seorang perempuan cantik berusia matang yang telah matang pula urusan cinta. Setelah urung menikah untuk ke dua kali, kemudian ditinggal suami tercinta karna sebuah kecelakaan, belum terhitung kisah cintanya yang selalu kandas berujung pada pengkhianatan, air mata seolah telah kering di pelupuk Gaida. Ia yang seorang pecandu kopi memulai hari barunya dengan menjadikan kesedihannya sebagai lahan usaha.
            Siapapun yang datang ke kedainya harus merasakan bahagia. Begitu ucap Gaida saat pertama kali ide mengemuka. Ia akan membuatkan kopi manis dengan rasa khas yang tidak bisa ditemui di kedai-kedai kopi lainnya, sebab ada air mata yang berusaha dihapus di setiap adukannya, ada ketabahan yang dituang dalam setiap tetesnya, ada rasa manis yang coba dibaginya bukan hanya dari gula namun suka cita rasa. Semua demi kebahagiaan, demi menghilangkan rasa sesaknya patah hati.
            “Selamat sore ada yang bisa saya bantu?” Tanya Gaida pada seseorang yang sudah duduk selama 10 menit di meja yang menghadap kolam.
            “Saya pesan kopi manis” jawabnya pelan, kemudian mata pelanggan baru dan Gaida bertemu. Gaida dengan bulu matanya yang rintik mengulas sebuah senyum lalu dengan cepat tangannya mencatat pesanan, memastikan kembali jumlah dan jenis pesanan, mengucapkan permohonan menunggu maksimal sepuluh menit kemudian pamit undur diri.
            Ini adalah pertemuan pertamanya yang kemudian mengiringi pertemuan-pertemuan berikutnya. Nama pelanggan baru itu, Satria. Gaida memanggilnya Mas Satria, ia seorang karyawan swasta yang perusahaannya terletak di seberang kedai kopi. Setiap pulang kerja Satria menyempatkan diri untuk datang ke kedai dan disambut oleh kehalangatan milik Gaida yang memperlakukan semua pelanggannya dengan baik.
            “Saya sering ke sini bukan karena sedang patah hati…” ucap Satria, kali itu ia datang sekitar pukul empat sore, saat kedai tengah sepi.
            Gaida menjatuhkan badannya di kursi seberang Satria, ia mengerutkan keningnya, tak lama lelaki di depannya melanjutkan cerita,
            “Aku mencintai istriku sesempurna hati yang aku miliki, yang semuanya aku berikan untuk istriku. Dia amat cantik dan piawai membuatku bahagia, senyum dan tawa yang setiap hari terukir selalu remajakan rasa cintaku padanya. Dia mengorbankan hidupnya untukku sejak sepuluh tahun lalu, melayaniku dengan telaten, memperhatikan seluruh kebutuhanku dari habisnya gel rambut sampai lipatan kemejaku ini. Istriku tak pernah marah, tak pernah menolak kemauanku, dia sosok yang sempurna untukku”
            Gaida menyondongkan tubuhnya melihat lebih dalam mata Satria yang menyembunyikan banyak perasaan. Sekilas Gaida perhatikan lipatan setrika kemeja Satria yang sangat rapi juga rambutnya yang mengkilap oleh gel. Sementara oleh angin yang berhembus harum parfum khas lelaki tercium hidung Gaida. Jika, diberi penilaian angka sembilan koma lima bisa diberikan untuk Satria.
            “Aku mengenal dia sejak masa kuliah, istriku adik kelas yang dulu aku ospek. Keluguannya dari awal telah menarik perhatianku tapi aku tak berani mendekatinya apalaginya mengajaknya jalan, aku hanya tahu nama dia Syahdu seraya sesekali memperhatikan perkembangannya di kampus. Dia ternyata tumbuh menjadi seorang aktivis, keluguan yang pertama aku lihat berubah menjadi semangat. Syahdu sangat vokal memperjuangkan hak-hak mahasiswa juga rakyat kecil, semasa dia menjabat di organisasinya entah berapa bakti sosial yang berhasil diusungnya. Tak luput, aku dengar dari teman-temanku, prestasi belajarnya baik dan yang paling penting dia tak pernah terjerat gossip merah muda, Syahdu seorang jomblowati hahaha”
            Gaida ikut tertawa, gerahamnya yang kokoh kian mendewasakan tampilan Satria. Biar ku tebak, usianya belum mencapai kepala empat. Aku pedam pertanyaan besar, untuk apa kamu menceritakan, Syahdumu?. Aku bersabar… sebab pasti ada hal besar pula yang menjadi alasannya, Lirih Gaida dalam hati.
            “Akhirnya dua tahun selulus kuliahku, aku mengubungi Syahdu yang pada waktu itu telah menyelesaikan kuliahnya. Aku berjanji untuk datang menemuinya, langsung bertemu orangtuanya yang tinggal bersamanya di desa, ya, Syahdu selulus kuliah mengabdikan diri di tempat kelahirannya. Syahdu yang lembut, dia bersemangat mengembangkan lahan pertanian orangtuanya dan menjadi guru sekolah dasar di sana”.
            Gaida melirik jam tangannya, sudah 15 menit dirinya duduk di sini mendengarkan cerita lelaki yang baru ia kenal tak lama ini, matahari sudah mulai redup sementara Gaida tidak merasakan tanda-tanda berakhirnya obrolan ini, satu dua pengunjung kemudian keluar digantikan pengunjung-pengunjung yang lain, sekilas Gaida melihat keadaan kedainya para pelayan sibuk melayani pengunjung. Gaida menghirup napas lalu oleh tangannya ia panggil salah seorang pekerjanya.
            “Maaf, Mas Satria mau tambah kopi lagi?”
            Satria menggelengkan kepalanya, “Aku mau kamu bertemu Syahdu…”
            “Saya?”
            Satria tersenyum simpul seraya menganggukkan kepala.
***
            Gaida menutupi mata kirinya, lembayung  sore menyilaukan pandangannya. Mobil yang dikemudikan Satria melaju melintasi jalan Pajajaran kemudian belok ke sebelah kiri memasuki jalan Bantar Jati yang dipenuhi oleh kedai-kedai makanan, tiba di lampu merah kemudian Satria membawa mobilnya melaju di jalan Pandu Raya.
            “Aku perlu keberanian besar sampai akhirnya bisa mengajakmu bertemu Syahdu, sejak awal aku melihat kamu kemudian hari-hari berikutnya aku datang ke kedai sampai hari ini aku mau mendengar ceritaku tentang Syahdu”
            Ucapan Satria menggantung sementara Gaida menunggu lebih lanjut, matanya menatap lekat wajah Satria yang terlihat manis, Satria menyunggingkan senyum.
            “Kita sudah sampai….” Kata Satria membuyarkan tatapan lekat Gaida.
            Satria lantas mengajak dirinya memasuki pelataran rumah bergaya Victoria. Rumah yang luas dan mewah berdiri gagah namun hening tak ada sedikitpun suara yang terdengar. Memasuki ruang tamu Gaida melihat bingkai-bingkai foto dan lukisan, salah satunya foto seorang perempuan yang sedang tertawa lepas di tengah sawah yang menguning warnanya, tangannya memegang selendang hijau yang terterbangkan angin.
            “Ya, itu Syahdu….” Seru Satria seperti tahu pikiran Gaida,
            “Syahdu di hari-hari pertama pernikahan kami, lihat mata coklatnya yang berbinar jernih, juga senyum lepasnya, itu yang membuatku jatuh cinta”
            Setelah mengucapkan kata-kata itu Satria lalu menunduk, suasana yang hening menjadikan apapun suara kecil yang keluar menjadi jelas terdengar. Satria terisak. Ya Tuhan, ada apa lagi ini?.
            Tangan Satria kemudian menggenggam jemari tangan Gaida, diperlakukan seperti itu jelas saja Gaida kaget lalu berusaha melepaskan genggaman tetapi Satria balas menggenggam lebih erat. Ia membawa Gaida menyusuri ruangan demi ruangan rumah besar itu sampai keduanya tiba di belakang rumah. Sebuah bungalau yang dipenuhi bunga anggrek. Seorang perempuan duduk di kursi roda memutar kepalanya melihat kedatangan Satria dan Gaida, perempuan itu tersenyum hangat, sementara Satria melepaskan genggaman tangannya dari Gaida untuk menghampiri perempuan yang tak lain adalah Syahdu. Dengan penuh kelembutan Satria mencium pipi Syahdu.
            “Gaida, perempuan yang selama ini aku ceritakan, Mam….” Bisik Satria di telinga Syahdu.
            Untuk ke dua kalinya Syahdu tersenyum lalu Satria mendorong kursi rodanya menuju Gaida yang berdiri mematung. Syahdu menggapai jemari Gaida dengan susah payah, mencoba menggenggamnya penuh kehangat seorang sahabat.
            “Syahdu terkena stroke, lumpuh dan tidak bisa bicara….” Ucap Satria,
            “Dari tahun-tahun yang lalu Syahdu memintaku untuk kembali menikah, Syahdu terlalu takut dengan sakitnya ia tidak bisa mencintaiku dengan sempurna….” Satria tidak bisa melanjutkan kata-katanya dia memeluk Syahdu dari belakang, terisak kuat di pundak istrinya.
            “Aaa—kkkk-uu….  Mmm---aaa—u… Gaiii---dd-aa… ttt—emm-an---i…. Maa-ss Saa---trriii-aaa….”
            Tenggorokan Gaida tercekat, tanpa mengucapkan kata apa-apa ia berlari meninggalkan Satria dan istrinya, Syahdu. Ia butuh kopi racikannya, di kedai miliknya.
            Saat dirinya terpatah-patah oleh cinta, di dekatnya tercipta pasangan yang memperjuangkan cinta. Mata Gaida menyapu seisi ruangan kedai, banyak cerita yang telah didengarnya selama ini dari para pengunjung kedainya, banyak air mata yang telah mengering di sini, apakah kerinduan akan pula terobati oleh racikan kopi buatannya?. Gaida membenamkan wajah, ia hanya ingin menangis memutar kisahnya seraya menyesap kopinya perlahan sampai tandas.

-TAMAT-
           
                                                                        Bogor, 26 Juni 2015

note: cerpen ini dimuat di Radar Bogor, 12 Agustus 2015
sepertinya cerpen terakhir yang ditulis di komputer lab :D
makasih buat sirs yang gak jadi matiin wifinya, 

P E R T I W I

Senin, 20 April 2015




          Pertiwi meneguk air mineral kemasan, satu tegukan yang seketika membuat kerongkongannya segar. Terik matahari pukul satu siang menyalakan semangatnya. Seorang aktivis yang menjadi orator dalam aksi mahasiswa yang mengepung Istana Bogor. Mahasiswa semester akhir yang sebetulnya telah kenyang urusan demonstrasi tetiba menggeliat kembali, urusan skripsi yang sedang digarapnya menjadi kabur, idealisme Pertiwi meluap setelah satu demi satu bukti pemerintah era sekarang berlaku ganjil.
            “Pertiwi… saya ingatkan kembali hari ini bimbingan terakhir dengan saya” ucap seorang lelaki dengan suara berat di seberang telepon sana.
            “Hari ini saya aksi Pak” jawab Pertiwi berterus terang.
            “Mahasiswa paling semangat! Sampai pukul 7 malam saya tunggu kamu di rumah, istri saya rencana memasak enak”.
            Telpon ditutupnya, Pertiwi sunggingkan senyum. Zaman sekarang, hanya sedikit orang seperti Pak Sugih, mendukung dan memahami tugas dirinya sebagai mahasiswa, bahkan lebih dari itu Pak Sugih tak segan berbagi pengalaman mengenai geliatnya dulu saat beralamater.
            Jalan sekitaran istana Bogor menjadi lautan warna-warni almamater, teriakan-teriakan semangat gelorakan suanasa. Di dada mereka kini bertabu “UNTUK INDONESIA KAMI BERSATU!”. Yel-yel, teriakan demi terikan, orasi yang membakar dan matahari yang terik berpadu dengan semangat kebersamaan demi tanah air. Tiba-tiba Pertiwi rasakan senyap di dadanya, setitik kesedihan yang dibungkamnya menyeruak ke udara. Tujuh hari yang lalu bersamaan dengan kepulangannya ke kampung halaman untuk bertemu keluarga di pelosok Garut ia temukan pemandangan tak biasa. Anak-anak yang biasa ramai pergi ke mesjid untuk mengaji berkurang. Wajah-wajah kecil itu terbuai kesenangan warung internet untuk bermain game online dan membuka situs pertemanan. Anak-anak, mereka terlalu kecil, masa mereka belum saatnya mengenal luas dunia luar. Permainan anak kampung seperti petak umpet dan loncat karet sudah bukan musimnya. Kini ia berada di tempat ini, di riuahan masa aksi salah satunya demi pertanyakan; Apa salahnya media Islam sampai harus diblokir?. Demi keamanan Negara, demi usut tuntas kasus yang konon bernuansa teroris, kebebasan bersuara jadi dibungkam. Negara hanya peduli keamanan Negara tapi tak peduli perkembangan akhlak dan iman masyarakatnya.
            Setelah BBM naik, kasus KPK dan Polri, BBM turun kemudian naik lagi, sembako yang mencekik, dan pemblokiran situs Islam. Akan ada apa lagi?, haruskah kerusuhan belasan tahun lalu kembali terjadi?. Geliat masyarakat kini telah muncul, satu per satu orang-orang bangun dari tidurnya, buaian semata, janji yang tidak tertepati seolah makanan pahit yang terpaksa harus ditelan.
            Kemana itu kedamaian?.
            Pertiwi menangis.
            Matahari kian meranggas, wajah-wajah para dhuafa, pengemis yang tinggal di kolong-kolong jembatan, rumah kardus dipinggiran sungai, nenek tua yang harus makan nasi akik, jembatan rusak hingga para pejuang pendidikan harus memapah dengan penuh kehati-hatian, ibu hamil yang kurang gizi karna tak punya uang. Semua saling desak di ingatan Pertiwi, satu tetes air mata akhirnya tumpah.
            “Teman-teman…..” ucapnya serak, sementara tak satu pun orang-orang mendengarnya,
            “Teman-teman….” ulangnya, sayang suara sepelan itu mengalahkan teriakan-teriakan semangat,
            “Teman-teman….” semua telah basah, hatinya, kulitnya, toa yang dipegang Pertiwi bergetar,
            Untunglah seseorang menyadari keadaan Pertiwi, Fariz namanya yang langsung naik ke atas dan berdiri di samping Pertiwi. Ia yang menjadi koordinator lapangan merebut toa yang sedang dipegang oleh temannya yang lain, Fariz berteriak keras, menghentak seluruh peserta aksi.
            “Demi Indonesia teman-teman!!!!!”
            Semua mata kini tertuju pada Pertiwi dan Fariz, lelaki berperawakan tinggi itu memegang pundaknya.
            “Katakan, apa yang ingin kamu katakana, Wi…”
****
            “Usia saya sekarang 24 tahun, banyak di antara teman-teman yang mungkin seusia saya. Saya berasal dari keluarga baik yang tak pernah rasakan kekurangan, hidup saya normal, dan teman-teman saya yakin melebihi hidup saya. Saya lewati masa anak-anak sampai remaja yang penuh suka cita, tak pernah ada duka atas perut yang melilit kelaparan, tak pernah menangis jika sesuatu tak bisa saya beli, sebab semua begitu cukup. Dan teman-teman saya yakin sama dengan saya bahkan sekali lagi lebih….”
            “Tapi… hidup di negeri ini nyatanya tak semua orang seperti kita. Kita mahasiswa yang dipandang begitu idelis hingga sepintas memekakkan telinga penguasa, memang harus seperti ini. Kita yang enyam hidup yang baik sudah semestinya harapkan hal yang sama untuk saudara-saudara kita. Saya pertiwi menangis siang ini, tapi tanah pertiwi jauh lebih berduka, hatinya teriris. Saya yang selalu merajuk, apa yang harus dilakukan?, pertiwi di tanah ini begitu sabar meski terinjak, saya yang selalu bertanya, akan ada apa lagi setelah gejolak-gejolak ini?, pertiwi di tanah ini menerima dengan kelapangannya. Sayang sekali teman-teman, tanah pertiwi bungkam tak bisa bicara, tapi coba bayangkan jika ia mampu berbicara entah balasan seperti apa yang dimintanya pada Tuhan setelah dizholimi…”
            “Untuk saudara-saudara kita… seberapa besar yang harus dibayar demi hidup layak dan penuh kedamaian itu?”.
            Ini bukan orasi, jelas bukan, ini adalah luapan emosi. Kalimat yang mengalir jelas sudah berasal dari hati. Wajah Pertiwi sudah berurai air mata saat ia menurunkan toa yang dipegangnya, isak tangis ternyata bukan hanya bersumber dari dirinya. Tapi lihatlah rekan-rekannya di bawah sana pun tak bisa memendung keharuan, perasaan sesak dan sakit hati.
            “Apa yang bisa kita lakukan teman-teman?....” Tanya Pertiwi lemah,
            “Kadang saya ingin bertemu langsung kepala pemerintah ini, bertanya ‘apa mau Tuan?’ kemana Tuan saat orang-orang kecil membutuhkan, seperti sang nenek tua yang harus cicipi dinginnya kamar jeruji karna ketidaktahuannya. Nyatanya mengurus negeri tak semudah mengucapkan janji….”
            Pertiwi memejamkan mata, biar bagaimanapun saat ini adalah waktunya orasi yang membakar semangat. Dihirupnya napas panjang, biarkan menyesap aliri dada.Tapi meski tidak penuh intonasi nyatanya semua terbawa suasana, sekarang orang-orang menundukkan kepala, melihat ke bawah tanah, tanah periwi yang diinjak kakinya, tanah yang tak pernah mengeluh, tanah yang benar-benar lapang terima segala kejadian tak menyenangkan.
            Hhhmppppuh….
            Sekali lagi Pertiwi menghirup napas panjang sementara di sampingnya Fariz mengambil celah yang kosong,
            “Biarkan kita berada di barisan pejuang, Teman-teman…..” teriak Fariz seraya mengepalkan tinjuan ke udara,
            “Indonesia… Indonesia… untuk Indonesia!!!!!!” lanjutnya disusul oleh teriakan yang sama dari peserta aksi.
****
            Malam yang cerah, bintang dengan cantiknya saling berkedip.
            “Ini usul saya makan malam kali ini di taman, supaya kamu merasakan udara sejuk, Pertiwi…”
         Pak Sugih membuka percakapan, ia tahu aksi siang tadi telah menguras emosi fisik dan psikis mahasiswanya.
            “Dulu saya pernah ngobrol dengan teman, dia sudah sangat geram dengan pemerintah… saya bilang, saya masih abu.. kadang ngnes, kadang coba memahami kalau saya ada di posisi beliau dengan kepercayaan yang kurang dari masyarakat apa yang terjadi?. Jawabnya, Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam  bersabda: “Siapa yang melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman. Waktu itu memang hati saya yang bermain, tidak melihat kenyataan… tapi sekarang justru saya yang aneh, kenapa dulu sempat berpikir seperti itu?”.
“Hahahaha…” Pak Sugih tertawa,
            “Hidupmu bukan hanya skripsi mu, tapi ini… ini hidupmu!” lanjut lelaki itu.
-TAMAT-

            Bogor, 01 April 2015

Ket: dimuat di Radar Bogor, 15 April 2015

Taman Kencana





KRL commuter line sesak bahkan dari pertama kakiku menginjak gerbong khusus perempuan di stasiun Depok, nasibnya aku tak dapatkan kursi hingga harus berdiri melewati empat stasiun sampai akhirnya tiba di stasiun Bogor. Depok – Bogor perjalanan ini tak akan aku lalui tanpa deringan pesan singkat yang masuk ke ponselku tadi pagi. “Izza, pukul 5 sore di taman kencana, aku harap kamu datang sebelum sempurna aku hilang dari hidupmu”. Mengingat pesan itu tiba-tiba saja lelehan keringat aku rasa basahi keningku, hembusan AC di KRL ini tak cukup dinginkan perasaanku. Mahar benar-benar membuatku kepayahan sejak tadi pagi di kantor, apa maksudnya ia katakan hilang dari hidupku.
            Rambutnya yang ikal jatuh lewati telinga, rahangnya yang kokoh tersamarkan oleh rambut-rambut kecil disekitar pipinya. Aku bergidik saat pertama kali melihat lelaki yang berdiri di sekitar trotoar Taman Kencana. Waktu itu menunjukan pukul 22.30 malam, aku yang tak terbiasa berpergian larut malam tak bisa sembunyikan perasaan cemas. Aku menyesal kenapa harus memaksakan pergi semalam ini apakah besok tak bisa? Tapi rasa khawatir ingin bertemu Nenek yang sedang sakit di salah satu rumah sakit di daerah Pajajaran mengalahkan semuanya.
            “Izzati maaf kamu ke rumahsakit sendiri, pakai angkot 03 kemudian turun di Taman Kencana setelah itu kamu naik angkot 08” kata seorang lelaki dengan nada cemas di ujung telpon saat aku merajuk minta dijemput. Tiba di Taman Kencana, hilir mudik kendaraan sudah tak seramai di siang hari, aku menunggu datangnya angkot 08 yang bagiku terasa lama sekali. Lelaki berambut ikal itu berdiri tak jauh dari tempat aku berdiri, aku perhatikan ia dengan ujung mataku. Dia yang juga kenakan kemeja kotak-kotak merah lengkap dengan jeans hitam memasukan tangan ke saku celananya, sesekali bersiul ringan sampai akhirnya mata aku dan dia saling bertatap.
            “HEP!” aku menggigit bibir bawahku sementara ia tersenyum simpul.
            “Nunggu angkot, Mbak?” tanyanya ramah.
            Aku kikuk menjawab hingga hanya menganggukan kepala saja.
            Pukul 23.00, setengah jam sudah aku berdiri menunggu angkot yang tidak juga datang. Kini aku sempurna cemas.
            “Mbak, memang mau pergi ke mana?” Tanya lelaki itu.
            “Rumah sakit di jalan Pajajaran….” Jawabku lemah.
            “Kalau angkot tidak juga datang, mau saya antar? Perkenalkan nama saya Mahar, saya khawatir saja melihat Mbak sendirian di sini apalagi sudah larut malam” mendengar ucapannya entah kenapa tenggorokanku seperti tersedak biji berduri, aku menangis terguguk sambil berjongkok memeluk lutut, aku merasa menjadi orang paling menyedihkan di dunia.
            “Loh, loh… Mbak… Mbak… kenapa menangis???” Tanya dia yang namanya Mahar dengan nada kebingungan.
****
             Mahar ternyata lelaki yang baik, usianya 27 tahun lebih tua dariku 3 tahun. Dia alumnus IPB kini bekerja di Departemen Agronomi dan Hortikultura Bogor, setiap akhir pekan sambil menjenguk Nenek yang masih di rawat kami kerap bertemu. Aku selalu memintanya menjemput di Taman Kencana meski Mahar sering kali memaksaku untuk dijemput di statisun atau langsung di tempat kerjaku. Ah tidak, tidak… bagi aku Taman Kencana menjadi sebuah sejarah yang manis sepanjang perkenalanku dengan Mahar.
             Dan kini tiba akhir pekan yang membuat keningku berkerut dan perasaan tak menentu. Apa maksud pesan itu….
            Tiba di Stasiun Bogor, angkotan kota 03 lama sekali untuk melaju, Abang Supir bilang tunggu dulu sampai angkot penuh.
            Hhmpp…
            Ingatanku melanglang, enam bulan aku berteman dengan Mahar memang kami tak pernah ikrarkan perasaan maupun ikatan apa yang terjadi. Aku tak pernah bertanya juga Mahar yang tak pernah mengatakan apa-apa, aku menikmati kebersamaan kami, pekatnya isi kepala oleh tuntutan pekerjaan juga sedikit kejenuhan hubungan seketika menghilang oleh obrolan antara aku dan Mahar yang mengalir, aku dan dirinya senang menikmati sup durian yang disajikan dingin terlebih Bogor dijuluki kota hujan, obrolan kami, tawa kami diantara gemericik hujan menembus dalam ingatan dan sekat-sekat hatiku. Mahar sosok yang menyenangkan selain teramat baik, dia pun miliki wawasan yang luas, apapun bisa jadi topik yang hangat untuk diperbincangkan. Dia juga sering mengungkit kejadian malam itu saat pertama kali kami bertemu, menggodaku dengan betapa anehnya sikapku yang tiba-tiba menangis sambil jongkok memeluk lutut.
            “Tuh kan… kamu malu sendiri, ih pipinya jadi merah mirip kepiting rebus!” goda Mahar yang mengundang tinju dari kepalan tanganku,
            “Aw sakit! Oke deh hari ini saya enggak mau traktir, Izza bayar sendiri ya sup duriannya” tambahnya membuatku lagi-lagi melayangkan tinjuan ke bahunya.
            “Taman kencana…..” ujar Abang Supir memencahkan gelembung-gelembung ingatanku.
            Setelah menghirup napas panjang aku turun dari angkot lalu edarkan pandangan ke sudut-sudut taman, biasanya Mahar selalu berdiri tepat di pinggir trotoar menunggu angkotku berhenti. Sekarang, dia tak ada. Deru hatiku kian tak menentu.
            BIP! Satu pesan masuk ke dalam aplikasi BBMku,
            “Tunggu di bangku taman ya, Izza sebentar lagi saya sampai”
****
            Mahar tersenyum ia memberiku cappuccino hangat yang masih mengepul uapnya, lelaki ini datang tiba-tiba dari arah belakang hingga aku tak menyadari derap langkahnya.
            “Kamu pasti suka…” ujar Mahar lalu duduk di sampingku.
            “Aku lebih suka kopi hitam saja”
            “Hhm aku tahu… biar hitam tapi rasanya pastikan? Tidak melebur. Biar kamu tidak suka, kamu harus tetap minum Za, udara dingin tadi dari Depok aku tahu pasti terburu-buru artinya kamu lelah, sekarang rileks sejenak...”
            Huuuuffffh…. Udara Bogor yang dingin terasa semakin dingin, ada untungnya ternyata cup cappuccino yang aku pegang ini sedikit menghangatkan tanganku.
            “Selama kita bertemu tak pernah kamu tanyakan perasaanku, Za.. sampai aku tak tahu sedikit pun tentang kehidupan pribadimu, selain Nenekmu yang waktu itu dirawat di rumah sakit…”
            Aku menunduk melihat rerumputan yang diinjak kakiku, semut hitam berukuran besar bergerombol keluar dari bawah tanah.
            “Terkadang cinta mengalir tanpa kata-kata, kamu tahu Za? Saat pertama kali saya jatuh cinta dulu saat saya masih SMP, cinta monyet memang, namun kesannya begitu luar biasa saat rasa suka itu semakin besar saya rasakan, sulit tidur, keringat dingin sampai jari-jari tanganbergetar setiap kali saya bertemu dengannya. Di sana saya tahu bahwa jatuh cinta berjuta rasanya. Namun saya tak bisa, Za… lagi-lagi tak bisa bicara karena bagi saya cinta tak selamanya dengan kata-kata. Cinta monyet di SMP itu sekarang telah bahagia dengan hidupnya tanpa pernah saya ungkit tentang perasaan, dulu pertemanan kami mengalir, saya membunuh setiap inci debar dada itu hadir, saya tak membiarkan ruang hati dibuat semakin tersiksa, perasaan saya melebur dimakan waktu, dan ternyata memang seperti itu Za, setelah saya dan cinta monyet lulus SMP kami tak pernah lagi bertemu, maka hilang sudah perasaan saya padanya….”
            Aku dengarkan tiap kalimat yang Mahar sampaikan, ini pertama kalinya Mahar membicarakan cinta mengungkit masa lalunya.
            Masa lalu…
            Masa lalu…
            Aku tak miliki masa lalu seperti halnya Mahar,
            Tapi aku miliki masa depan yang telah terangkai indah, sekali lagi aku katakan, aku menikmati kebersamaan ini.
            “Izza, mengatakan cinta buat saya berarti menanggung tanggung jawab, di usia saya yang telah cukup, maukah Izzati menyatukan cinta dengan cinta yang saya miliki?”.
            Oh Taman Kencana,
            Andai malam itu aku tak memaksakan diri menjenguk Nenek tunanganku pastilah aku dan Mahar tak pernah bertemu sampai hari-hari berikutnya yang membuat aku khianati tunanganku. Rasa bersalah yang selama ini aku tutupi oleh bingkai pertemanan, kini tak bisa aku dustakan lagi
            “Izza, ini yang saya katakan sebelum sempurna saya hilang dari hidupmu. Sama halnya dengan cinta monyet saya dulu, cinta ini jika tak bisa menyatu.. maka saya akan menghilang sempurna, saya akan kembali membunuh setiap inci perasaan saya”.
            Aku menggigit bibir bawahku, aku tak bisa mengatakan apa-apa.
            Oh Taman Kencana, luluh sudah pertahanan hatiku, bulir pertama air mata turun sementara aku rasakan genggaman tangan erat menggenggam tanganku. Kemudian perlahan lepas dan aku lihat bayangan Mahar berdiri dari sampingku mulai berjalan tinggalkan Taman Kencana.
            “Mahar, kamu benar… cinta tak selamanya harus diucapkan, kata-kata tidak sempurna mewakili cinta, tapi pada akhirnya kata-kata yang menjadi penyatu cinta…” teriakku lemah, Mahar sempat berhenti mendengarkan setelah itu ia kembali berjalan kian menjauh.

Bogor, 12 Maret 2015

-SELESAI-

ket:
cerpen pertama yang dimuat di media Bogor, 
Radar Bogor, 1 April 2015 
:D
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS