Pages

Bukan Teroris

Senin, 20 Januari 2014



               Seorang Ibu berwajah gelisah tak henti mondar mandir di depan pintu, sesekali kepalanya menyembul ke luar lihat pagar yang tak juga berderak tanda seseorang masuk ke pelataran rumah. Berulang kali hanya menyembulkan kepala kini ia buka pintu rumah itu dan berjalan masuki teras berkeramik putih susu. Angin sore yang lembab seolah tebarkan pecahan beling disekujur tubuhnya hingga terasa perih menyapa kulit.

                “Sudahlah Bu nanti Irawan pulang, jangan ditunggu seperti itu. Ayo masuk sudah mau Magrib” Bapak berkata bijak dari belakang, mendengar Magrib hati Ibu justru semakin tak karuan itu tandanya 12 jam sudah Irawan keluar dari rumah tanpa kabar apapun seperti biasanya.

                “Bapak, Ibu punya firasat tak enak” Jemari Ibu saling bertautan dua jempolnya bergesekan satu sama lain ketara sekali gelisah yang menyergap dadanya.

                “Irawan, putra kita itu usianya sudah matang, 20 tahun Bu... dia dewasa. Bukannya Ibu senang kalau Irawan pergi keluar?”

                “Ini lain Pak... satu minggu ini Irawan sering sekali keluar lama, Ibu tanya pergi kemana cuman bilang ke rumah temannya, ibu kejar jawaban dia memang teman yang mana? Dimana rumahnya? Dia hanya jawab sekenanya, teman di luar komplek”

                “Baguslah Bu.. berarti pergaulannya kini meluas, kepercayaan dirinya mulai tumbuh”

                Irawan 20 tahun, anak sulung dari dua bersaudara. Lelaki yang seharusnya berada di usia dewasa muda namun menderita kelainan respon intelektual dan emosional sebab pelecehan sosial yang sewaktu kecil ia rasakan, bulliying dari teman-teman sekolah dasarnya oleh karena kulit wajahnya yang hitam lebam. Seorang psikolog menyatakan bahwa Irawan kecil menderita gangguan kejiwaaan, harga diri rendah. Irawan menjadi seorang anak yang sangat tertutup, jika berinteaksipun ia tak mampu bertatapan mata dengan lawan bicaranya beranjak usia pubertas gangguan kejiwaan Irawan tak juga berangsur hilang bahkan semakin jauh ia terjerembab dengan dunia serba tertutupnya.

****

                “Bu, Irawan punya teman baru. Mereka baik-baik” Suatu pagi sebelum berangkat ke sekolah luar biasa kelas 12 Irawan berbicara kepadanya Ibunya.

                “Oh ya teman di sekolah Irawan?” Gelengan kepala menjawab pertanyaan Ibunya.

                “Irawan belajar membuat petasan besar....”

                “Untuk apa? Awas berbahaya. Kalau nanti buat tahun baru kita beli saja enggak perlu buat sendiri”

                Irawan diam memutuskan pembicaraan dengan Ibunya.  Di dunia ini yang mampu berbicara dengan Irawan hanya Ibunya sendiri, pertalian batin antara ibu dan anak membuat Irawan yang seharusnya berada di rumah sakit jiwa untuk dapatkan pengobatan yang lebih ektra bagi kesembuhannya terbantu oleh kedekatan emosional antara dirinya dengan Ibu. Ibu bahkan mengorbankan seluruh dirinya bagi Irawan, ia pensiun muda dari pekerjaan sebagai Guru Kimia, setelah kelahiran putra kedua Ibu yang kini sedang pesantren di Gontor Ibu memasang alat kontrasepsi padahal sebelumnya ia amat antipati dengan program pemerintah yang beslogan “dua anak cukup” itu, sebab baginya hal tersebut adalah bagian dari konsiprasi orang Yahudi untuk membuat tatanan dunia baru dengan salah satu agendanya yakni depopulation.

                “Ibu, Irawan sakit hati sama Rudi dan teman-temannya...”

                “Itukan dulu Nak, waktu Irawan kecil sekarang jangan ingat-ingat lagi kejadian itu Irawan sudah besar, sudah jadi anak kuat”

                “Tapi Irawan sakit Bu... sakit... di dunia ini semua orang jahat kecuali Ibu....” Irawan berlari kepelukan Ibunya bahkan kini tubuhnya yang tinggi besar dapat memeluk seluruh tubuh Ibunya yang berperawakan kecil. Dada Irawan turun naik seolah menyimpan luar biasa kesakitan di hatinya.

Padahal sudah belasan tahun itu berlalu Nak.... batin Ibu ingin menjerit. Seharusnya diusiamu yang sekarang kamu mulai pertemukan Ibu dengan kekasihmu, Ibu membayangkan kamu datang ke rumah membawa perempuan cantik yang menyapa Ibu dengan salam kemudian mencium tangan Ibu, sambil tersipu perempuan yang kamu bawa itu lantas memperkenalkan namanya... Ibu akan sangat bahagia Irawan.

****

                “Ayo Bu... kita masuk saja kedalam....” Bapak memecah lamunan Ibu, dirangkulnya pundak Ibu dan tanpa perlawan wanita berkepala empat itu menerimanya.

                Selepas shalat Magrib hati Ibu belum menandakan tanda-tanda ketenangannya, meski belum beranjak dari duduk dibelakang Bapak sebagai makmum dan mendengarkan Bapak melafalkan do`a keselamatan pikirannya tak jua fokus.

                “Istigfar Bu... Bapak sedang mohonkan do`a keselamatan, Ibu kenapa malah seperti ini” Gusar pula Bapak oleh sikap Ibu yang menurutnya kini mulai keterlaluan.

                “Bapak, kemarin Ibu lihat Irawan membereskan bahan-bahan seperti aluminium powder, magnesium powder, termit, fenil merkuri asetat, dan kalium sianida ke ranselnya. Ibu sempat memegang barang-barang itu tapi cepat Irawan mengambilnya. Ibu yakin itu bahan peledak Pak, Ibu ini mantan Guru Kimia”

                Tok...tok...tok... suara ketukan pintu memotong pembicaraan Ibu dan Bapak, keduanya dengan dada bergetar keluar dari mushola rumah untuk membuka pintu dengan secepatnya.

                “Ada apa Pak Husen?” Tanya Bapak cepat, kini hatinya mulai dirundung was-was.

                “Irawan Pak... Bu.....”

                Mendengar namanya disebut dengan mukena yang masih dikenakan Ibu lunglai lalu roboh ke tanah, pingsan.

****

                “Irawan tak bermaksud menyakiti hati Ibu. Maafkan Irawan Bu, di dunia ini semua orang jahat kecuali Ibu... Irawan benci semua orang kecuali Ibu, mohon ikhlaskan Irawan ya....”

                Ibu terbangun, bayangan anaknya datangi tidur lama Ibu. Banyak orang mengerumuni wanita yang kini sebagian dadanya telah terbelah bahkan porak-poranda.

                “Aku ingin sholatkan anakku....” Ucap Ibu dengan air mata meleleh.

                Seorang kerabat membopong tubuh Ibu menuju tempat wudu. Sekilas Ibu lihat keluar rumah terdapat dua orang yang memegang kamera dan satu orang perempuan dengan microphone ditangannya.

                “Melaporkan langsung dari kediaman tersangka teroris Sabila Irawansyah.....” Akhir kalimat yang diucapkan perempuan yang ternyata seorang reporter berita.

                “Anakku, bukan teroris......” Jerit Ibu sekuat tenaga membuat semua orang yang mendengarnya menolehkan kepala termasuk sang juru kamera yang belum menekan tombol off kameranya.

                Wajah seorang Ibu yang terpukul atas kepergian anak kesayangannya secara tiba-tiba dengan kejadian luar biasa menimpa akhir hidupnya terekam kamera dan menjadi liputan langsung acara berita.

-SELESAI-

Umi, Ijinkan Abi Menjadi Abi Terbaik...

  

  Humairah, sini Kak! Beberapa jam lagi kamu punya adik”
 “Laki-laki ya Mi?”
 “InsyaAllah, Humairah ingin adik laki-laki kan?”
 “Iya Mi... nanti Humairah kasih nama Ismail, boleh yah?”
 “Boleh-boleh, Humairah bicarain saja sama Abi....”
 “Loh kok, Uminya kemana emang?”
 “Kan Umi mau lahirin adik bayinya....”       

Malam ini istrikku masuk rumah bersalin, Salma akan melahirkan bayi kedua kami yang konon katanya berjenis kelamin lelaki. Humairah putriku sangat senang mendengar kabar itu, 9 bulan ini bidadari-bidadari ku dilanda perasaan bahagia dan tak sabar menunggu hari ini. Termasuk denganku yang sekarang sedang menunggu proses persalinannya, Salma minta ditemani meski sejujurnya aku memiliki fobia dengan darah. Kepalaku akan mendadak sakit kalau mencium dan melihat darah dalam waktu lama, maka dari itu saat Salma melahirkan Humairah aku terpaksa absaint dari permintaan istriku.

Persalinan Salma memasuki kala II, setelah kala I melewati pembukaan lengkap. Beberapa kali bidan dan dokter melakukan pemeriksaan dalam, terlihat sekali bahwa Salma kurang nyaman dengan pemeriksaan itu karena wajahnya selalu meringis namun jika aku bertanya keadaanya, ia hanya minta agar aku membacakan solawat. Kini, salma sudah mulai meneran, ia tampak kesakitan dengan keringat yang bercucuran membasahi keningnya. Ia menarik nafas dalam kemudian mengeluarkannya disertai tenaga kuat, sampai disini aku dapat melihat kepala putraku. Rambut-rambut halusnya tertutupi cairan menyerupai lendir dan darah, bentuk kepalanya tidak bulat utuh. Rasa bahagia mulai menyeruak penuhi dada, aku pegang tangan Salma. Ia meneran semakin kuat tidak menyerah dengan rasa sakit, sesekali takbir ia kumandangkan sebagai penguat. Aku jadi ingat saat dulu memohon maaf karena tidak mampu memenuhi permintaannya, Salma berkata “Tidak apa-apa Bi, ada Allah sebagai penguatku”. Kini rasanya aku sukses menjadi lelaki paling pengecut di dunia ini, istriku mempertaruhkan nyawa, melawan rasa sakit demi kebagiaanku untuk mendapatkan seorang putra sementara aku? Ia aku bersembunyi dibalik rasa takutku oleh darah.

Tidak lama setelah kepala yang keluar kini seluruh badan bayiku sempurna terlahir kedunia, sang dokter memotong tali pusar kemudian memperlihatkan karunia Allah itu kepada aku dan Salma yang tergeletak lemas.

 “Bapak, Ibu... Allhamdulilah, bayinya lelaki....”
 “Allahu Akbar!” Takbirku memuji keberasanNya.

Seorang bidan yang lain datang dan membawa putra kami keluar ruangan, sekarang yang ku lihat selanjutnya adalah proses pengeluaran plasenta. Perut Salma ditekan kuat-kuat oleh bidan sementara dokter memasukan tangannya ke dalam lubang vagina, ia menarik plasenta keluar kemudian membersihkan rahim dengan menggunakan kasa steril. Ini penting di lakukan sebab apabila ada bagian plasenta yang tertinggal akan menyebabkan infeksi bahkan lebih parah lagi yakni kanker. Dalam proses ini tidak henti-hentinya Salma meringis, ia menggigit bibir bawahnya serta menarik nafas dalam, sementara tangannya memegang pergelangan tanganku erat sekali.

 “Semua lengkap” Seru bidan yang memeriksa plasenta.
 “Pak, tadi Bu Salma kami lakukan episiotomy untuk memudahkan jalan lahir, maka dari itu sekarang kami akan melakukan hackting atau penjahitan luka episiotomy”

Aku sedikit terperangah, jadi belum selesai pengorbanan Salma? Istriku masih harus merasakan rasa sakit jahitan di kulitnya?.

Terlalu lama aku terperangah hingga tanpa menunggu persetujuanku pun dokter lantas menyiapkan jarum yang menyerupai kaitan untuk memancing ikan disertai benang bewarna merah. Sementara aku mencari obat bius, kenapa tidak juga diberikan pada Salma?.

 “Tidak memakai obat bius Pak karena akan memperlama proses penyembuhan luka” Jelas seorang bidan yang menangkap expresi kebingunganku.
 “Ya Allah... ampuni hamba....” Lirih Salma menahan rasa sakitnya semenara jarum serta benang terus meliuk-meliuk di kulit Salma.
 “Asyahdualaillaha illaullah wa asyhaduanna muhammadarrasulullah...”
“Allahummasholli alaa Muhammad wa alaa ali Muhammad”

****

Dokter memberikan bayi merah kami kepelukan Salma untuk melakukan Inisiasi Menyusui Dini (IMD), Salma berikan colostrum terbaiknya yang banyak mengandung manfaat, salah satunya untuk fungsi kekebalan tubuh bayi setelah sebelumnya aku tunaikan kewajiban mengadzani putra kami. Embun bening menetes dipelupuk mata Salma, ia ciumi bayi yang masih bewarna merah itu, raut wajah Salma bahagia begitupun dengan Humairah yang kini sudah duduk diantara kami.

“Umi.. adik namanya Ismail kan? Abi boleh yah?” Tanya Humairah seraya menatap mataku penuh harap.
 “Iya Humairah sayang... adik namanya Ismail biar memiliki hati yang ikhlas dan sabar juga kuat seperti Nabi Ismail yang dibawa Siti Hajar ke tengah gurun dan selama berhari-hari tidak mendapatkan minum”
“Aamiin...” Aku mengaminkan do`a istriku.
“Umi... ada darah!”

Humairah berteriak histeris, rasa suka yang tengah melanda seisi ruangan mendadak sirna tergantikan oleh kepanikan. Dari awal Salma tidak merasakan adanya pendarahan, sementara darah semakin banyak keluar dan membasahi separuh sepray tempat tidurnya. Aku cepat memanggil dokter, usaha untuk menghentikan pendarahanpun dilakukan semaksimal mungkin. Humairah menangis saking panik melihat kondisi Uminya.
50 menit terlalui, keadaan Salma sudah sangat melemah karena pendarahan yang tak juga berhenti. Wajahnya sudah pucat pasi, untuk berbicarapun tampaknya ia kesulitan. Salma hanya mampu menggumam-gumamkan bibirnya, ia berdzikir, beristigfar, memuji-muji kebesaran Allah dan bersolawat.

“Abi... Abi maafkan Umi yah, Abi ridho?” Ucap Salma ditelingaku, ia menatap aku dan Humairah kemudian tangannya berusaha meraih wajah Humairah, Salma belai pipi Humairah yang telah terbanjiri air mata.
“Jaga Ismail yah.. maafkan Umi....” 

****

5 tahun menjalani hidup bersama kini aku harus ikhlas melepas kepergian perempuan tercintaku menghadap keharibaan Tuhan Yang Maha Esa. Benar orang bilang, mencinta berarti harus siap merasakan kehilangan. Allah, aku mencintai dia karenaMu maka saat separuh jiwaku Engkau ambil tak ada daya upaya yang bisa aku lakukan selain ridho atas takdirMu.

Ismail sedang tidur nyenyak sekarang, setelah sebelum tidur ia meminum air ASI yang aku dapatkan dari teman-teman aku dan Salma yang sedang menyusui. Ini sesuai harapan Salma jika anak-anaknya harus mendapatkan ASI esklusif. Allah telah memudahkan jalan ini dengan pelantara kebaikan hati teman-teman kami hingga akhirnya Ismail bisa meminum ASI meski bukan bersumber dari ibu kandungnya.

Ketegaran kami selalu pupus jika waktu sepertiga malam tiba. Aku dan Humairah terbisa bangun dan mengerjakan salat qiyamu lail, setelahnya kami berdo`a dengan do`a yang dilantunkan kemudian saling mengaminkan. Hanya dalam keadaan ini, kami bisa sama-sama melepas gejolak di dada, mengungkap rindu yang tertabung dengan obat saling menguatkan. Seperti saat ini, dari rakaat pertama Humairah sudah tidak bisa menahan air matanya sampai disaat berdo`a aku menyuruh ia untuk berdo`a terlebih dahulu.

“Ya Allah... aku rindu Umi.....”
Tak ada lagi kata-kata yang keluar dari bibirnya selain ia berhambur ke pelukanku.
 “Ya Allah, jadikan anak-anakku menjadi anak yang sabar dan kuat, solih-solihah serta ikhlas terhadap takdirMu...”
 “Umi, ijinkan abu menjadi abi terbaik untukmu..untuk anak-anak kita....”

  ****

Mawar Putih Kharisma



Segelas susu panas yang mengepul asap-asapnya ke udara, sore hari dengan rintikan hujannya aku kerjakan tugas Ibu mengantar segelas susu untuk putri cantik penghuni rumah ini. Melewati tangga-tangga berkeramik putih aku sampai di depan kamar Non Sya. Meski kamar menutup namun harum penghuninya telah tercium sampai luar, sedang apakah gerangan orang yang ada di dalam? Pasti sedang melamun, duduk di meja rias yang menghadap ke jendela luar. Setelah mengetuk pintu teriakan pelan menyuruhku untuk masuk. Dengan senang hati Non Sya.

21 tahun usia dia hampir sama denganku bahkan kami kuliah di perguruan tinggi yang sama juga, hanya berbeda jurusan namun kegiatannya sehari-hari sebagai aktivis kampus tak pernah luput dari pandanganku. Non Sya yang cantik ini tergolong mahasiswi yang pandai dan energik, ia supel dan memiliki banyak teman-teman. Satu lagi dia amat agamis, seperti keluarganya yang memegang kokoh prinsip Islam.

Tapi.

Non Sya di kampus dan di rumah amat jauh berbeda. Di rumah ini jarang sekali aku temui dia berada di lingkungan rumah selain di kamarnya sendiri, entah apa yang selama ini terjadi atau mungkin Non Sya mempunyai keingingan hingga dirinya memutuskan untuk mogok bicara pada orangtuanya, husssh! Enggak seperti itu. Aku sering kok lihat Ayah dan Ibunya Non Sya ngobrol, tapi tetep mereka yang datang ke kamar Non Sya. Tidak di ruang keluarga yang lengkap dengan TV home theaternya, sofa empuk bercorak dulmatian, karpet halus anti debu dengan ruangan yang menghadap kolam renang serta kolam ikan transparan karna seluruh bagian ruangan berdinding kaca. Aku saja jika melewati ruang keluarga itu selalu dibuat merinding. Tidak pula di bungalau rumahnya yang anggun itu, hehe kok aku sebut anggun ya? Terus apa lagi yang harus bilang untuk menggambarkannya, bungalau rumah ini adalah bungalau tercantik yang pernah aku lihat. Terdiri dari sebuah tempat menyerupai saung khas orang Sunda yang berbentuk kerang laut tempatnya Jiny Oh Jiny tidur hehe, dengan pengcahayaan yang temaram tak ketinggalan bunga-bunga anggrek yang dibiarkan tumbuh subur namun terawat juga bunga mawar yang semerbak harumnya. Kemudian satu lagi, ikan-ikan koi berukuran sedang dibiarkan menari-nari diakuarium berbentuk oval. Satu akuarium satu ikan koi, berjejer rapi diatas meja-meja yang disediakan. Anggun dan cantik.

  “Non, ini susunya....” Kataku kemudian menyimpan susu panas itu di meja belajar Non Sya.
  “Makasih ya Ra.....” Jawabnya singkat seraya melemparkan senyumnya. Senyuman yang tetap cantik namun tak selepas jika aku bertemu dengannya kala di kampus.
  “Kita jarang ngobrol ya Ra, sini duduk disini....” Non Sya berdiri kemudian mengambil kursi belajarnya. Sekarang kami saling berhadapan di depan jendela kamarnya.
  “Ira, kamu pernah jatuh cinta?” Pertanyaannya kemudian, tak surut senyum dibibirnya.
  “Sekarang juga saya lagi jatuh cinta, Non haha” Jawab aku sumringah supaya tidak terlaku kaku.
  “Kalau Non Sya?”

  ***

Mentari di siang hari meranggas, panas. Pulang sekolah aku tempuh dengan berjalan kaki sejauh 2 kilometer. Ayah menyuruhku menggunakan mobil agar tidak kecapean, tapi buat apa? Kalau kaki masih bisa berjalan. Olah raga alami tolakku. Jilbab putih berbahan polino berhasil serap keringat-keringat yang bersumber dari dasar rambut serta kulit wajahku. Namun tetap saja bau keringat mencuat dari badanku yang kebajiran ini. Memasuki pelataran rumah ada sesuatu yang berbeda, di halaman terdapat seorang lelaki muda tengah bergulat dengan gunting dan pohon bongsai yang dibentuk menyerupai tempat duduk.

Kami saling berpandangan, kemudian cepat aku menunduk dan berlari masuk ke rumah.

Menjelang sore hari lelaki itu belum juga pulang. Ia masih sibuk membentuk pohon bongsai di halaman depan rumah. Aku berpikir bahwa keduaorang tua ku sengaja menggunakan jasanya untuk mendekor taman. Tidak masalah.

Hari berikutnya, lelaki itu bekerja di bungalau. Ia menanam anggrek-anggrek aneka rupa, anggrek ungu, putih, dan anggrek bulan yang cantik. Aku senang melihat tangannya yang cekatan, tidak menjadi masalah baginya karna tangan-tangannya yang kotor akibat berjibaku dengan tanah, ia terlihat begitu menikmati pekerjaannya. Berawal dari ruang keluarga yang transparan aku melihatnya kemudian beranjak pergi ke bungalau untuk melihatnya secara dekat, aku semakin tertarik.

“Namaku Syani, semua orang memanggilku Sya. Abang siapa?” tanyaku memulai percakapan.
“Aku Kharisma, panggil saja Kharis” Ia menjawab tanpa melihat padaku. Dia semakin sibuk dengan pekerjaannya sementara akupun semakin sibuk memperhatikannya. Aku senang melihatnya memejamkan mata ketika menghirup mawar segar yang diambilnya dari toples berair. Tiba-tiba ia mendekat ke arahku dan memberikan mawar itu kehadapanku.
 “Coba cium, harum tidak?” Ucapnya disertai senyum hangat. Aku cepat mengikuti perintahnya kemudian kepalaku mengangguk, pertanda aku setuju dengannya. Mawar yang harum.
 “Aku suka mawar, itu sebabnya aku memilih jadi tukang kebun” Serunya memulai percakapan.
 “Tukang kebun???” Tanyaku tak percaya atas pilihan hidupnya.
 “Iya.. tukang kebun seperti ini Sya. Aku memilih menikmati pekerjaan daripada susah payah membohongi diriku dengan pekerjaan yang tidak aku sukai. Karna aku tidak mempunyai jatah hidup dua kali, nikmati kata hati daripada kata nafsu. Itu bahagia”

Aku tersenyum meski tak sepenuhnya setuju dengan pemikiran dia. Sedang tidak berminat untuk debat seperti aktivitas sehari-hariku yang beberapa kali memenangkan kejuaraan debat antar SMA, biarkan saja mengalir. Aku menikmatinya.

  ***

 “Aku rasa itu cinta pertamaku, Ra....”
 “Terus sekarang gimana?”
 “Ikut, aku Ra....”

Non Sya, memegang pergelangan tanganku. Kami setengah berlari menuruni anak tangga lalu sampai di bungalau. Ditengah rimbunan bunga mawar merah Non Sya berjongkok, lalu membuka beberapa helai tangkai mawar sampai masuk lebih dalam. Rimbunan itu sepenuhnya adalah mawar merah kemudian dua helai tangkai mawar Non Sya patahkan, munculah disana kelopak mawar putih yang tersembunyi. Tinggi mawar putih itu tidak lebih tinggi dari mawar merah, hingga tak bisa terlihat bila tidak benar-benar mencarinya.

 “Lihat itu...”

Non Sya mengarahkan telunjuknya diantara dua helai mawar putih. Tepat diantara mawar putih itu, sebuah tulisan terbaca meski memudar akibat termakan musim.

Setelah ini kau tak akan mendapatiku disini,
Selain mawar-mawar ini yang dapat kau nikmati indahnya...
Cinta itu Sya adalah kemurnian niat,
Diantara lautan mawar merah ini akan hadir warna putihmu
Sebagai pendamaimu, penyempurna hidupmu
Tunggulah


  ***

 “Niatku datang kerumahmu hanya untuk bekerja Sya, besok pekerjaanku selesai dan aku akan kembali pulang”

 Malam ini, cahaya temaram dari rembulan sinari bungalau. Aku dan Kharis duduk dengan pandangan lurus ke depan. Riak-riak cipratan air yang disebabkan oleh sirip ikan koi yang memantul ke aquarium kaca menjadi alunan musik alami yang syahdu. Perasaan tak menentu berkecambuk di dadaku, beberapa jam lagi aku akan kehilangan Kharis. Besok tidak akan aku dapati dia ada di rumah ini lagi, 3 hari yang dilalui meski amat singkat namun menorehkan kenangan khusus di hidupku. Inilah pertama kali aku berbicara dengan lelaki, diusiaku yang ke 18 tahun saat aku duduk di bangku kelas 3 SMA.

 Tesss... air mata tak dapat aku bendung. Lalu, aku memilih berdiri dari dudukku dan berlari masuk ke dalam rumah meninggalkan Kharis tanpa menolehnya lagi.

 ***

 “Jadi, ini yang membuat Non Sya jarang keluar rumah selain di dalam kamar?”
 “Iya Ra, bahkan ini pertama kalinya aku kembali menginjakkan kaki di bungalau. Aku hanya mampu melihat keindahan ini dari balik jendela kamarku, aku tak mampu melupakan kenangan ini... Kharis masih melekat diingatanku”
 “Tulisan ini aku tahu... karna malam hari sebelum dia pergi. Aku lihat Kharis menuliskannya untukku... tanpa dia tahu aku melihatnya untuk terakhir kali”

Jangan dulu....bersama Al!

        

          “Aku hanya takut kamu pergi.. aku takut merasa sendiri enyah aku tak peduli apa kata mereka… hanya dimana aku ada maka kamu disampingku menjadi penerjemah disetiap kata yang tak bisa mereka artikan. Sekarang aku tahu betapa miskin hidupku, sendiri disaat ku membuka mata bahkan disaat ku bermimpi. Pahit… karena terlambat aku sadari mereka pergi dan dirimu menjadi satu yang ada….”

          “Semua ada prosesnya Ginar, sudah cukup...”

         “Aldan.....”

                                                                           ****

                Kami terbiasa bersama, seperti bintang dan bulannya, awan dengan langitnya, bahkan bunga dengan kumbangnya. Kebiasaan kami adalah bercerita dan berbagi juga saling menasehati, seluruh kejadian di hidup kami dari pagi sampai malam akan sampai dipendengaran masing-masing selama berjam-jam, baik itu bertemu langsung atau hanya lewat sambungan telfon. Hal ini berlangsung sudah cukup lama, disaat kami sama-sama berseragam putih abu. Ginar yang super energik serta dewasa dan aku yang katanya selalu nampak seperti kanak-kanak, jadi kami memposisikan diri sebagai Ginarlah yang paling tau dan berhak mengambil keputusan apapun, dia yang paling benar. Sekilas sangat egois dan hai! sepertinya kejantananku sebagai pria justru di nomer duakan. Hehe tidak ada-ada, toh aku menjungjung tinggi; perempuan ingin dimengeri. Dalam hitungan matematikaku, hal tersebut terhitung hingga kami sama-sama memasuki bangku kuliah tingkat awal. Selepas SMA kami melanjutkan pendidikan di universitas berbeda, tapi tetap intensitas kami sama sekali tidak berkurang, selalu ada waktu yang kami usahakan bahkan terkadang paksakan untuk bertukar cerita. Nampaknya bukan sekedar kegiatan rutin namun telah sampai pada gejala addicted!. Ginar membawa candu padaku, begitupun aku baginya.
                Namun satu... ada yang sangat menentang sikapku yang ini, dia Aldisa. Sodara kembarku. Ucapnya jika kami telah memasuki fase candu ingin bertemu atau bercerita dengan wajah datarnya, Aldisa berkata “Seharusnya, Ginar cari teman perempuannya kalau cuman mau curhat doang, kamu juga cowok kok hobinya curhat dan denger curhatan!”. “Wooooy gue manusia kaleee!”. “Kalau kamu manusia berarti ada niatan lain, kamu suka sama Ginar!”. “Why not? Emang masalah?”. “Masalah besar Aldan! Allah tidak suka pada hambanya yang melakukan maksiat!”. “Jahat bener sih kamu Dis..”.

                                                                          ****

                Aldisa, ternyata serius dengan ucapannya. Dia mulai melakukan berbagai cara untuk coba menyadarkanku atas kedekatan aku dan Ginar yang dianggapnya tak wajar. Tak wajar gimana? Toh kami tidak pacaran kok!. Berbagai argumen ia keluarkan, ayat Al-Qur`an sampai hadist, bahkan Ibu dan Ayahpun pernah mendapatkan teguran halusnya lalu menganjurkan aku dan Ginar supaya dinikahkan saja. Aldisa gilaaaaaa, semester 2 udah di suruh nikah!.

                “Ini, gak main-main Bu-Yah.. kita gak bisa membiarkan Aldan terus-terusan deket sama Ginar. Aku sayang sama Aldan, dia gak boleh terkurung maksiat sementara aku berdiam diri saja”

                “Bagaimana Aldan, kamu siap menikah?” tanya Ayah padaku, yang ketika itu menjadi balok es yang beku. Aku tak bisa menjawab, seluruh ruangan mendadak menjadi dingin hingga menyebabkan aku kesulitan bernafas apalagi menjawab.

                “Aldan jangan pergi.....” Teriak Aldisa seraya memegang tanganku yang saat itu memilih untuk berlari.

                Aldisa, tak hilang semangatnya. Setelah melobi Ayah dan Ibu untuk menanyakan kesiapanku menikahi Ginar dan itu nampaknya gagal karena aku yang jelas-jelas tidak siap. Pelan dia menyusup ke dalam hidupku dengan halus, Aldisa berubah menjadi adik yang sangat baik hati meskipun selama ini memang sudah baik. Ia sering mengajak aku untuk berbincang, membicarakan hal-hal yang jarang kami bicarakan sebelumnya. Aldisa meskipun baik tapi Ia orang yang tak banyak bicara di rumah, setelah aktivitasnya yang penuh diluar rumah maka kamar adalah tempat favoritnya untuk mencharge daya tahan tubuhnya. Namun sekarang, aku perhatikan Aldisa mengurangi kesibukan organisasinya, selesai kuliah ia langsung pulang ke rumah dengan memintaku untuk menjemputnya. Di rumah ia banyak menghabiskan waktu untuk membaca dan berbincang dengan Ayah dan Ibu, lalu mengajakku untuk bergabung bersama.

                “Kalau Disa, ada lelaki yang disukai enggak?” Tanya Ibu dengan senyum hangatnya.

                “Pernah Ibu...” Jawabnya tersipu lalu menundukkan wajahnya.

                "Tuh kan kamu juga suka seseorang!” Ledekku seraya menjulurkan lidah puas.

                “Tapi aku gak berani dekat-dekat Bu, makanya aku gak bilang ke Ibu dan Ayah. Aku khawatir sukanya aku pada seorang lelaki itu justru menjadi bencana baginya, kami sedang sama-sama belajar, iman kami masih lemah. Ibu tau kisah Imam Syafi`i?”

                “Imam Syafi`i yang pada waktu itu hendak murojaah hafalannya ketika melihat seorang perempuan yang tersingkap betisnya, seketika hafalannya sama sekali tak bisa beliau lafalkan. Imam Syafi`i yang menjaga marwahnyapun seperti itu, apalagi Aldisa dan ikhwan yang pernah Aldisa sukai. Aldisa justru malu... dan kadang tidak mau menanggung beban menyukai seseorang karena memang diri Aldisa belum mampu”

                “Aldisa terlalu mendalam banget sih difikirinnya!”

                “Kata siapa Aldan?”

                “Murobiku yang bilang; Saat kau mencintai seseorang krn Allah...maka kau harus menjalaninya sesuai dg ketentuanNya..maka saat ada perasaan pd seseorg yang belum Allah halalkan dia untukmu, ... maka cintailah ia karenaNya, jauhi ia,  doakan ia agar slalu berada di jalanNYA agar slalu berada dalam ridho & cintaNYA,... dan agar ia slalu bahagia dalam cinta kasihNYA... Semoga doa tulus darimu, menjadi pembuka pintu rahmat dan magfirah Nya....aamiin.

                “Sudahlah, jangan dulu bersama Al! beristigfarlah...tinggalkan Ginar sendiri, biarkan Ginar menata hidupnya sebelum kamu meminangnya”

30 September 2013

Al-Qur'an

             
             
                 “Pak, ayo belajar Qur`an….”

                “Ya Nduk, nanti saja. Kamu ini gak lihat apa bapakmu cape pulang kerja”

                “Saya kira itu bukan alasan Pak….”

                “Kamu Syalu, Bapakmu pulang kerja bukan disambut hangat malah begitu”

                “Maafkan saya, Bapak kan sudah mandi, sudah makan, sebentar lagi waktunya tidur. Ayo sebelum istirahat kita belajar barang satu atau dua ayat…”

                “Syuuuuuut sudah jangan diteruskan, pergi ke kamar sana bukannya Kamu mau periksa hasil ulangan siswamu”

                “Ya Mbu, permisi….”

  ***

                “Ustadzah dan Syalu, waktu saya ikut nginep dirumah teman kuliah saya. Kamu tahu tidak perumahan elit dekat bunderan kota itu Syal?”

                “Ya saya tahu Rim, memang kenapa?”

                “Ya ba`da Magrib saya diajak teman untuk ikut pengajian, saya kira pengajiannya seperti dikita ini ada ustadz yang berceramah tapi ini beda! Ternyata pengajian disana itu belajar membaca Al-Qur`an”

                “Terus kenapa Dek Rima?” Ustadzah yang duduk disamping Syalu mengerutkan kening menunggu pembicaraan santrinya itu.

                “Ya, Ustadzah karena disana saya dan teman paling muda akhirnya saya ditunjuk ngaji pertama”

                “Memang hanya kalian orang-orang mudanya?”

                “Iya Syal, mereka itu bapak-bapak dan ibu-ibu semua… katanya udah pada haji”

                “Allhamdulillah….” Bersamaan Syalu dan Ustadzah mengucapkan hamdalah seraya menyisipkan do`a berkahi mereka dan semoga tiba giliran kami Ya Allah…

                “Nah Ustadzah tahu sendirikan saya ngajinya masih hehehe kaya anak SD begini, tapi disana saya jadi sorotan. Bapak-bapak dan Ibu-ibu itu tidak ada yang tidak melihat ke arah saya. Ya Allah, saya malu dan menyesal kenapa gak dari dulu belajar ngaji tahu-tahu sudah baligh seperti ini sebentar lagi cukup usia saya untuk menikah tapi ngaji panjang-pendek harakaat saja belum betul”

                Rima menarik nafas beberapa detik, kemudian melanjutkan ceritanya.

                “Tapi ternyata, Bapak-bapak dan Ibu-ibu disana lebih parah dibading saya. Astagfirullah… diakhir pengajian saya ngobrol sama Ustadz yang mengajar ngaji di masjid perumahan itu, beliau berkata prihatin, bukan masalah cape mengajarkan ngaji pada mereka tapi masalahnya mereka itu terlalu bergengsi. Disana, saya sarankan untuk mengawali dari Iqra saja, tapi katanya mereka gak mau karena gengsi itu. Saya jadi terfikir, Al-Qur`an ditenteng sebagai pembayar gengsi. Ya Allah….”

                “Dek Rima dan Dek Syalu, bersyukurlah kita atas hidayah Allah. Menurut saya, usaha Bapak-bapak dan Ibu-ibu diperumahan itu sudah baik daripada orang-orang yang sama sekali tidak mau belajar karena ingat hidayah itu tidak datang sendiri. Perihal gengsi itu lebih baik kita do`akan saja kemudian jika kondisinya tepat ya boleh kita ingatkan juga sambil terus kita perbaiki diri kita, cara membaca Al-Qur`an kita serta amalan-amalan kita yang lain. Ada hadist dari riwayat Baihaqi: rumah yang didalamnya dibacakan Al-Qur`an akan terlihat penduduk langit sebagaimana penduduk bumi melihat gemerlap bintang-gemintang dilangit. Masya Allah”

                “Dek Syalu dan Dek Rima, siapa yang dirinya mengaku umat muslim sudah seharusnya mencintai Al-Qur`an karena apa? Al-Qur`an bersumber dari Allah kemudian melalui Malaikat Jibril disampaikan kepada Rosulullah. Allah, malaikatNya kemudian RosulNya. Jika kita mempertanyakan keberadaan Allah, maka Al-Qur`an adalah jawabannya. Pantas saja jika dunia sekarang ini makin tidak terkendali, karena pengendali hidupnya sudah sudah jauh. Saya ingat perbincangan dengan teman sewaktu masih muda dulu, kata teman saya. Jika ibarat sederhananya, Al-Qur`an itu adalah manual book. Coba, Dek Syalu dan Dek Rima beli handphone pasti sudah satu paket sama manual booknya kan? Dimana manual book itu petunjuk untuk menggunakan handphone dari awal cara mengaktifkan, mengirim pesan dan aplikasi-aplikasi yang lainnya. Terus gimana kalau manual booknya gak dipake atau enggak ada? Pasti bingungkan menggunakan handphonenya gimana? Bisa saja handphone yang bentuknya persegi panjang itu Dek Syalu dan Dek Rima gunakan sebagai pengganjal lemari atau batu untuk melempar binatang buas, akhirnya handphone tidak digunakan sebagaimana fungsinya. Manusia saja sudah pintar membuat handphone dengan manual booknya, apalagi Allah. Bukan begitu?.

                “Betul Ustadzah saya setuju, Allah tidak akan menyengsarakan manusia tanpa petunjuk hidup. Tapi sayangnya manusia yang menyengsarakan dirinya sendiri untuk berjauhan dengan petunjuk hidup”.

                “Maka dari itu Dek Syalu dan Dek Rima, selagi kita mampu untuk terus memperbaiki diri, usahakan juga diri kita untuk menyayangi orang-orang terdekat kita sesama muslim untuk mengerjakan kebaikan karena dengan itu ucapan ‘Aku mencintaimu karena Allah’ dapat terwujud, tidak hanya ucapan semata. Dengan menyampaikan apa kita tahu dalam kebaikan”.

                “Terakhir, Dek Syalu dan Dek Rima dengarkan baik-baik yah… Bersahabatlah dengan orang-orang yang dengan melihatnya: Engkau melihat Allah, wibawanya ada didalam hatimu, ucapannya menambah amalmu, amalnya menambah zuhudmu, dan ketika engkau berdosa, maka ia menasehatimu dengan perbuatannya sebelum menasehatimu dengan ucapannya. Dari Zunnun al-misri, Shifah as-shafwah, 2/445.

 ***

                Obrolan dirinya bersama Ustadzah dan Rima terus terkenang dipikiran Syalu, lembaran jawaban ulangan dari siswa-siswanya disekolah terbengkalai begitu saja. Ia buka jendela kamarnya, dilangit sana rembulan tengah menghadap waktu purnama ditemani bintang-bintang yang ramai disisian bulan, lalu satu bintang yang paling terang orang biasa bilang itu bintang kejora padahal ternyata yang disebut kejora itu adalah planet venus. Cahayanya paling bersinar, bentuknya lebih besar daripada bintang-bintang yang lainnya. Cantiknya taman langit, indah. Syalu berdiri dari duduknya didepan jendela, Ia berjalan menuju meja rias dan mengambil cermin dengan hiasan pernak-pernik mutiara berwarna pink dan ungu lalu kembali menuju jendela kamarnya, agar udara yang segar dimalam ini dan indahnya nuansa langit dapat ternikmati.

                “Pak, anak gadismu ini ternyata cantik. Esok atau lusa akan tiba waktu Bapak untuk menikahkan saya. Esok atau lusanya lagi, saya akan datang kerumah ini membawa cucumu. Namun, jika sudah tiba waktu itu lantas siapa yang mengajari Bapak mengaji, membaca Al-Qur`an? Sedangkan umur manusia tidak ada yang tahu, bisa saja saya mendahului Bapak. Kemudian kembali siapa yang mengajak Bapak, mengajari Bapak?. Maafkan saya jika perkataan saya terlalu kasar Pak….”

                Tesss! Buliran bening keluar dari sudut-sudut mata Syalu. Cermin yang dipegangnya kini berembun, malam sudah terlalu dingin. Setelah puas bercermin lantas Syalu menutup jendela kamarnya seperti semula, rapat. Bersamaan dengan menutupnya jendela kamar, ringtone handphone Syalu berbunyi, pesan dari Rima. Ia tersenyum, lalu membacanya:.

Sahabatku, belajar membaca Al-Qur`an bukan parttime, bukan sometime, bukan anytime, tapi harus fulltime bahkan overtime karena mati anytime. Selagi ada waktu dari segudang kesibukan kenapa tidak untuk belajar?.

23 Agustus 2013

Syuuut... Umi Syahid, Dik.


"Umi, kenapa banyak orang jadi pejuang Islam di Palestina atau Suriah? Kenapa ikut perang?" 

"Karena mereka rindu Tuhan Dik" 

"Rindu kok perang sih Umi?" 

"Kakak dan Adik anak kembar Umi yang usianya baru 7 tahun tapi sudah pintar sekali dengan membela agama Allah dari kekafiran maka Allah menjamin baginya surga" 

"Kalo surga berarti harus meninggal dulu dong?" 

"Iya, dan jika Allah menakdirkan perjuangannya sampai pada saat itu maka dinamakan dengan mati syahid" 

"Umi, Bu Guru Kakak bilang katanya gak cuma perang aja ya bisa mati syahid?" 

"Iya gitu Kak? Adik kok belum denger" Cela Adik mengerutkan keningnya 

"Iya Kakak nanyanya di kantor kok gak dikelas" 

"Kakak curang!" Adik menjawab dengan melemparkan pandangannya Melihat kedua anak kembarnya Umi tersenyum lantas merangkul dan membawa mereka dalam pelukan meski tak bisa amat rapat karena kandungannya yang telah mencapai usia tua. 

"Syuuuut udah, Umi kasih tahu kalau yang dibilang Bu Guru Kakak memang benar. Syahid adalah impian seluruh umat islam di muka bumi ini, contoh lain selain perang adalah ibu yang berjuang ketika melahirkan anaknya ke dunia yang kemudian ibu tersebut meninggal dunia karena alasan medis atau lain sebagainya" 

"Oh begitu ya...." jawab mereka bersamaan seraya mempererat cengkraman tangan dilengan Umi.


*** 

"Umi, sebentar lagi melahirkan ya Bi? Adik punya ade baru dong asyiiiik" 

Oaaaa....uwaaaa....aaaaa 

"Kakak dengar! Itu suara adenya" 

"Allhamdulillah.. Maafkan Mas Sarah, untuk kedua kalinya Mas tidak bisa menemanimu berjuang" Ucap Ilham dalam hati 

"Ayo Abi kita masuk!" Kakak memegang tangan Abi untuk berdiri dari duduknya 

"Pak Ilham, Nyonya Sarah kehilangan banyak darah. Bapak boleh masuk ke dalam ruangan" Ujar seorang suster yang datang dari balik pintu.


 ***

 "Adik Kakak sekarang punya ade baru.... Mas Ilham....." Sarah tersenyum lemah, kemudian menjatuhkan kepalanya kearah kanan tempat tidur 

 "Umi......." Adik dan Kakak berlari mendekati tempat tidur disusul lemudian Ilham dan dokter yang masih ada dalam ruangan. Suasana seketika menjadi tegang, salah seorang suster memeriksa denyut nadi Umi, dokter menempelkan stetoskop ke sekitar dada lalu menyinari mata Umi dengan penlamp. Dokter menggelengkan kepala, ia menunduk dalam kemudian menghampiri Ilham. 

 "Maaf, pendarahan Nyonya Sarah diluar batas normal itu terjadi tanpa prediksi kami. Nyonya kembali ke pangkuan Allah". Adik yang mendengar ucapan dokter lantas menjerit histeris. 

"Umi......Umi........" 

"Dik, Adik tenang yah, Umi syahid" Kakak memeluk adiknya.

Cinta ke Dua Mantan Aktivis

Selasa, 14 Januari 2014

  


                Ada yang lain dari matamu siang ini, tertunduk dan berkabut. Duduk disampingmu sudah berbagai jurus dilemparkan. Berkicau pancingan ringan sampai topik yang biasanya menggugah semangatmu, tingkah amoral pejabat negara beserta pandangan khas orang idealis memandang isu pemerintahan. Kamu dan aku yang tak luruh semangatnya meski jaman kita bukan lagi masa demo Reformasi dulu. Sisa-sisa aktivis belum hilang seluruhnya dari hidup kita, Zakarya.. itu yang selalu kamu dengungkan bila sudah berkobar obrolan kita. Lalu bukanlah kalimat itu yang juga mempertemukan kita kembali?.

  “Nilai anak saya lebih kecil dibanding temannya yang mencontek jawaban ujian”

 “Mohon dimaklum Bu, proses belajar kami sedang membiasakan untuk berlatih kejujuran”

 “Loh anak kelas 3 SD masa masih belajar? Jadi, pelajaran Kewarganegaraan itu hanya sebatas pemahaman saja bukan penerapan?”

 “Lagi pula saya sangat keberatan atas ketidak adilan yang diterima anak saya, bukan hanya soal nilai tapi esensi yang ada dibaliknya. Sering kita anggap ini masalah kecil makanya mata kita tertutup untuk mencari jalan keluarnya”

 “Mohon maaf, untuk anak Ibu kami akan pertimbangkan kembali untuk memberinya reward”

“Oh tidak saya tidak mengharapkan itu, saya tidak mau setelah ini anak saya mendapatkan perhatian khusus dari pihak sekolah apalagi reward. Lagi pula reward untuk apa? Tidak ada yang luar biasa dan bukannya nilai anak saya dibawah nilai teman-temannya?”

         Pagi yang hening seketika berubah tegang oleh kedatangan seorang wanita berusia di kepala tiga dengan blazzer dan sepatu hak berdiri di ruangan guru. Mendengar ucapannya sekilas aku berbisik pada Haryono agar segera menyelesaikan masalah di luar. Haryono bilang tenang saja, guru-gurunya masih bisa mengatasi. Oke lah kalau begitu semua terserah Kepala Yayasan sekaligus Bapak Kepala Sekolah, aku sebagai sahabat lama dan rekan yang berkunjung karna ada pekerjaan hanya mengingatkan.

              Keperluanku dengan Haryono selesai sudah, perusahaanku membuat kesepakatan project dengan yayasan yang dimiliki Haryono. Saat berdiri dari kursi empuk ruangan Haryono, telpon kantornya berdering. 

 “Orang tua siswa ingin bertemu denganku. Kau tunggu saja disini, luangkan hari ini?”

“Untuk apa? Enggak...”

  Tok...tok...

 “Terimakasih sudah mengijinkan saya masuk, Bapak kepala sekolah”

“Oh ya.. orangtua dari Rizya Farhan silahkan duduk.. hhm Pak Zakarya anda juga silahkan kembali duduk”

                Mata kita bertemu pandang. Tidak ada yang berubah selain rambutmu yang digelung tak lagi terurai panjang. Ruangan yang dingin AC bukan terik matahari yang menyengat namun satu tetap wajahmu gusar oleh ketidak nyamanan.

****

                Sejak itu tiap setiap waktu kosong kita gunakan untuk bernostagia, sekedar makan siang sampai sesekali makan malam. Pun ada kalanya kisah masa lalu hangat dibincangkan. Kamu sering meringis mengenang aku yang tiba-tiba hilang dari keramaian kampus, sangat jahat kamu bilang.

“Orangtuaku khawatir melihat hobi demo anaknya, takut pendidikan terbengkalai sampai akhirnya aku dikirim ke Australia untuk melanjutkan kuliah disana”

 “Tapi kenapa gak bilang-bilang dulu?”

“Memang kenapa kamu patah hati ya Merry?”

           Tidak dijawab, sungguh pertanyaan bodoh. Mana ada kekasih yang senang ditinggalkan begitu saja oleh pacarnya. Aku tidak tahu luka sebesar apa yang aku tinggalkan dihatimu tapi yang jelas aku tahu, kamu tersiksa hidup tanpa aku.

“Dua tahun setelah kelulusan aku masih tunggu kamu Zak dan itu ku pikir menjadi hal yang sangat membuang-buang waktu, akhirnya aku menikah dan punya dua orang anak. Bagaimana denganmu?

 “Anakku sudah besar sebentar lagi punya cucu”

 “Hah! Jadi kau menikah sangat cepat? Jahat kamu Zak, aku tunggu kamu sementara kamu enteng sekali buat nikah”

 “Enggak bukan! Aku tidak nikah, Mer”

“Kumpul kebo?”

“Ya ampun takut banget! amit-amit dah!!”

“Terus anakmu yang sekarang lagi mengandung itu apa dong?”

 “Aku belum nikah.. dia anak angkatku”

  “Kenapa?”

 “Aku ingin istri yang idealis”

                                                                                               ****              
                   
       Teringat perkataan guru sejarah waktu SMA dulu, “mau rumahtangga aman? Hindari pertemuan dengan cinta pertama”.

             Aku dan kamu menjadi semakin sering bertemu, menjelajah kenangan kita lakukan. Tempat nongkrong yang satu dan yang lainnya disambangi. Paling sering jajan makanan khas masa kuliah yang rasanya tetap saja nikmat. Pernah aku bertanya keadaan cintamu, kamu Merry hanya tersenyum serta menangkat pundakmu ke udara. Dimana suamimu? Kamu hanya gelengkan kepala. Aku juga sempat layangkan perkataan jika dalam agama istri orang bertemu lelaki lain dengan disengaja tidak boleh hukumnya, kamu kemudian tak bereaksi apa-apa selain lurus menatap kedepan kemudian menundukkan kepala. Lama kelamaan akupun jengah dengan sikapmu, hingga aku putuskan tidak menghubungimu lagi, mengakhiri pertemuan-pertemuan kita dan tersadar penuh terhadap perkataan guru sejarahku. Hina sekali jika aku menjadi perusak keharmonisan keluargamu.

“Zak, aku ingin bertemu....”
Demi apapun sebetulnya aku rindu. Oh Tuhan! Maafkan aku.

“Ada yang ingin aku bicarakan....”
Pesan Merry kembali masuk setelah 30 menit aku tak juga membalasnya.

“Penting tidak Mer?”
Jual mahal sekali balasanku ini, berusaha sempurna bohongi diri sendiri.

“Bagaimana kamu menerimanya....”

****

                Tibalah di hari ini, di siang yang dingin dan sepi oleh sikap diammu.  Mulai aku bertanya-tanya dalam diri perihal keadaan suamimu, mungkin suami Merry ingin bertemu denganku? Mengajakku berduel serta berucap sumpah serapah karna telah mengganggu kedamaian rumahtangganya. Ah tidak! Cairkan dulu suasana sebelum pikiranku berkhayal lebih jauh. Merry harus berhasil aku ajak bicara dulu setelah itu aku akan ucapkan maaf dan selamat tinggal untuk selamanya. Tapi sungguh, hatiku berdesir seperti ada luka yang disayat, tenggorokanku seolah disesaki batu tajam saling tikam, bergejolak. Sesekali untuk mengatasinya aku hembuskan nafas berat, tanganku sudah dingin pula. Seperti ABG saja kupikir. Tapi memang benar ini yang aku rasa. Berpisah setelah bertemu kembali cinta lama merupakan penderitaan.

                Hhmmpuh....

                Merry menarik nafas dan mengeluarkannya, suara yang sama beratnya hingga terdengar olehku. Sebentar lagi kamu akan bicara. Aku tunggu Merry apapun yang akan kamu bicarakan, aku siap menerimanya.

“Zak, suamiku 5 tahun yang lalu meninggal dunia. Mau tidak kamu nikahi seorang janda?”

                Aku tidak bisa berkata-kata.
                Jadi ini yang ditinggalkan takdir?.
    Cinta-cinta.... tak ada yang disangka akan dibawa kemana rasa dan masa di depan mata.
-SELESAI-




 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS