Pages

Rahasia untuk Mamak

Kamis, 19 Desember 2013

Tanah merah yang memanas tak terasa di ruas telapak kaki wanita yang telah menapaki usia diatas kepala tiga. Terhunyun-hunyun lewati jembatan besi usang, semakin meranggas pula ekor mentari sebabkan lelehan peluh keluar tak beraturan namun secepat kilat ditepis oleh punggung tangannya yang hitam oleh sengatan matahari.

Berlari semakin kuat dan cepat seolah kereta listrik mengejar dibelakang. Hush..hush... Beberapa detik paru bak mengecil tak cukup ruang untuk mengempis udara. Sementara diingatan sekolebat rintihan terus nampak, "Mak datang yah Mak...". Hhm, jangan kau minta yang tidak-tidak Nak! tepuk tanganku tak mampu kenyangkan perutmu.

Saidah menjauh dari tatapan, ia kini bersembunyi dibalik pintu rumah biliknya. Sedang hati berlirih ungkap apa saja ini nurani, tak terasa juga cairan putih mengalir dari kelopak mata. Saidah kemudian meringkus semuanya seorang diri ditemani bayang Ibunda yang tengah berdiri didepan bejana besar. Tangannya bekerja keras, kayu yang kadang berdentangan dengan dinding-dinding bejana.

"Pergi saja sendiri Nak, bukankah setiap kali kau begitu?" teriak Ibunda, tak menahu lelehan air mata sambangi pipi pualam Saidah. Ada yang Ibunda tak tahu juga Saidah yang bermain rahasia. Mungkin ukiran prestasi telah kenyang Ibunda terima atas isi kepala cemerlang yang dimiliki ananda tersayang. Setiap Senin, ia datang dengan kalung bundar bewarna emas yang mengantung di dada, sewaktu SD Saidah berikan piala lomba membaca puisi, berjalannya waktu lemari tua tempat menyimpan piring dan gelas telah dirubahnya menjadi tempat pajangan piala.

"Mak, sekali saja Mamak datang, terakhir Mamak ke sekolahkan waktu saya SD, sekarang saya sudah kelas tiga SMA. Tahun terakhir saya sekolah" Malam hari Saidah tak juga habis tenaga untuk bujuk Ibunda. Sekarang giliran wanita yang disebutnya Mamak beranjak dari hadapan Saidah, ia bersembunyi menahan kemelut sendu didebar jantungnya. Dari awal Ibunda tahu jika anaknya memang tak biasa, dikarunia kecerdasan emosional juga intelektula yang tak dimiliki teman sebayanya di desa ini.

Apapun ditangan Saidah akan miliki harga, daun lontar yang kering disulapnya menjadi hiasan kerudung menarik, apalagi materi sekolah sejurus perhatiannya fokus seratuslah nilai yang didapat saat ujuan datang.

***

Pagi tadi Saidah berangkat diantar kicau Cangkurileng sementara Ibunda seperti biasa telah bekerja di ladang tetangga. Meski dadanya masih dirundung haru ia tetap melatih sunggingkan senyum. Tak pantas jika teman, guru bahkan kepala sekolah bersorai gembira sementara dirinya dilanda bisu dan air mata.

"Mengapa kau masih disini Rahayu?" Pertanyaan padanya tak digubris sepenuh hati, ibunda hanya menengadahkan wajahnya sebentar lalu kembali bekerja.

"Anakku bilang, Saidah ukir prestasi lagi sekarang"

"Rahayu, aku akan bersyukur jika anakku sepintar Saidah".

"Siapa bilang aku tak bersyukur Min? lima waktu air mataku tak pernah surut atas karunia yang diberikan Tuhan pada putri semata wayangku. Saidah warisi kepintaran Ayahnya juga pantang menyerah diriku untuk menyambung hidup ini. Tapi, pantang menyerah milikku tak akan mampu sempurnakan harapannya. Kau tahu Min? selepas lulus SMA ini Saidah pasti ingin melanjutkan pendidikannya. Lalu aku mana mungkin bisa mengabulkannya? setiap hari bertemu nasipun sudah kami syukuri" Ibunda curahkan gejolak yang tertanam dihatinya dalam waktu lama ini, tak terhitung hari yang dilewatinya untuk menyimpan semua seorang diri, terlebih semenjak kekasah tercinta Ayah Saidah alami musibah di perantauan, tak ada tempat berbagi gelisah selain pada Tuhan Yang Maha Pemurah.

"Hanya itu masalahmu Rahayu? Kau hanya takut tak mampu sekolahkan Saidah? Hey! cepat susul anakmu disana.. Saidah dapat beasiswa pendidikan, kuliah diluar negeri pula Rahayu" Genggapam tangan Aminah terasa hangat disekujur tubuh Rahayu yang membeku. Mata Aminah yang bulat bertemu pandang dengan lelehan air mata Rahayu. Kemudian keduanya saling peluk.

"Bahkan Rahayu, anakmu bukan hanya membuat bangga dirimu, tapi seantero kepala yang hidup serba mendusun di kampung ini".

***

Jika tadi matahari tak kunjung berbelas kasihan berikan awan teduhnya, kini disekolah yang bangunannya diperkirakan tak akan berumur panjang hanya keajaiban yang membuatnya terus kokoh sebab rusak oleh hujan dan angin kemarau terasa amat syahdu oleh hati yang membiru.

Ada isakan yang bersumber dari dada kepala sekolah "Anak-anakku, prestasi Saidah bukan hanya membawanya melayang duduk dipesawat terbang kelak, tapi disini tempat kaki kalian berpijak diatas tanah sebuah perubahan akan kalian rasakan, tempat menuntut ilmu yang ala kadarnya dan tak pernah dilirik pemerintah sekarang menjadi buah bibir, sekolah desa lahirkan siswa berotak mutiara" tepuk tangan bergemuruh di sekeliling lapangan. Desah angin menyisir setiap kulit hingga membuat bulu kuduk ikut berdiri. Di tengah berdiri seorang gadis dengan kerudung putih yang menjelma hendak bewarna gading, tatapnnya menunduk ke bawah gerimis sudah sedari tadi turun dari langit matanya, ia tak mampu tegakkan kepala atau melihat kedepan tempat namanya dielu-elukan oleh para guru.

"Saidah... murid berprestasi... Saidah... ayo maju kedepan, empat tahun kedepan kau akan jadi sarjana lulusan luar negeri Saidah... ayo Nak maju! beri semangat teman-temanmu yang lain...."

Pak Guru, engkau tak tahu jika saat ini yang paling membutuhkan semangat adalah diriku, Mamak dimana Mamak.... Batin Saidah disela air matanya yang semakin menderas.

"Nak, Saidah... Mamak didepanmu...."

-Selesai-

*cerpen ini ditulis di note hape; cangkeul oge geningnya*

Salam Rindu dari Dunia

Senin, 04 November 2013



“Aku mohonkan padamu agar tak lagi menjadi bayang-bayangku...”
Kalimat itu terngiang-ngiang dalam benak Zulki, 3 jam yang lalu ia telah coba rebahkan sekujur tubuhnya di kasur empuk bersepreikan bendera Amerika tentu dengan bantal gulingnya yang nyaman. Sebab kamarnya yang tak berAC ia buka jendela supaya udara malam masuk ke ruang-ruang kamar berukuran sedang untuk remaja akhir seusianya. Ia tidak membutuhkan ruangan yang sangat luas karena kebutuhannya pun tak terhitung banyak, selain tempat tidur yang bersentuhan langsung dengan lantai, meja setengah lutut untuk menyimpan komputer dan jam digital warna hitam serta satu lemari jati tua, tak lupa kaca yang menggantung dipinggir figura foto keduaorangtua dan teman-teman masa kecilnya.

 Zulki akhirnya berdiri, menyibakkan selimbut hitam beludrunya. Ia berjalan menuju pigura samping cermin. Senyum Ibu dan Bapaknya ia tatap lama, mengapa wajahnya amat mirip dengan ke dua orangtua itu? Tuhan yang Maha Baik berikan hadiah istimewa untuknya, karena jika rindu menelisik isi dada pada terkasih yang telah tiada. Zulki hanya perlu becermin, wajahnya yang merupakan perpaduan antara Ibu dan Ayah akan nampak disana. Melihat dirinya sendiri di depan kaca ia seolah melihat ke dua orangtuanya ada disana, disorot mata yang meneduhkan dan senyum indah pendamai hati.
“Salam rindu dari dunia.. Pak...Bu....” Ucap Zulki lirih.
****
“Ki... usia berapa kamu siap menikah?” Pertanyaan Bapak disiang hari seperti hujan deras yang tiba-tiba datang tanpa gelegar petir. Sontak kedua matanya bertatapan dengan mata Bapak.

“Kuliahpun aku belum lulus Pak, tunggu 3 bulan lagi baru jadi sarjana” Jawabnya setelah menimbang jawaban yang tepat. Kuliah belum selesai, jodoh belum dapat itu adalah pokok pikirannya.

“Sudah ada calon belum?” Selidik Ibu dari dapur membawakan teh manis dingin serta camilan keripik pisang yang disimpannya dimeja.
               
 Zulki menggelengkan kepalanya... sontak tawa Bapak menggema.

"Kan Bapak yang larang aku supaya gak pacaran dulu....” Ucap Zulki menjelaskan karna tak paham dengan tawa Bapaknya yang belum juga berhenti.
“Soleh nian putra Ibu....” Satu kecupan di ubun-ubunnya terasa.
“Mau tidak kalau Bapak ketemukan dengan perempuan?” Tawar Bapak, matanya bertemu pandang dengan Ibu kemudian saling mengedip lalu tersenyum bersama.

 “Kalau Bapak sama Ibu sudah tentukan waktu untukku boleh saja...”

Tidak butuh waktu lama bagi ke dua orangtua itu untuk menjemput kebahagiaan putra bungsunya. Dari kandungan, Ibu sudah asuh Zulki dengan kasih sayang penuhnya, nafkah yang halal Bapak ikhtiarkan untuk kecukupan keluarga tercintanya.
Ba`da magrib menjelang, Zulki duduk diluar teras rumah. Ia siap ikut kedua orangtuanya bertemu perempuan putri sahabat lama Bapak. 5 menit kemudian Ibu keluar dari kamar kenakan gamis putih dengan manik-manik biru tua berpola bunga anggrek, sederhana.
“Bapak juga mau pakai koko ini saja biar sama kaya Ibu, putih-putih. Kita serasi sepanjang masa, iya kan Bu?” Ucap Bapak seraya merangkul pundak Ibu mesra diselangi tawa khas Ibu yang mengulum senyum. Malu, karena mesranya Bapak tak berkurang meski usia tak lagi muda, dari kakak-kakaknya Zulki, Ibu dan Bapak sudah diberikan 3 orang cucu yang lucu nan solih.
 “Kalau kamu cocok dengan perempuan ini, kamu gak perlu iri pada kami.. sabar sedikit ya Nduk sebentar lagi waktumu...” Goda Bapak membuat tawa Ibu seketika membeludak. Tak ada lagi senyum dikulumnya.
****

“Baru lulus DIII Keperawatan, tahun ini rencana lanjutin kuliah S1 Keperawatan.. udah kerja di klinik ujung jalan sana.. belum boleh jauh dari rumah, hariwang anak perawan kata Bahasa Sundanya...”

“Namanya Fatimah, Pak Budi dan Bu Rahayu....”
 “Fatimah, perawat toh? Aduh senang sekali saya Pak Salam.. kalau jenguk teman yang sakit di rumah sakit kelihatannya perawat itu baik-baik semua, gak cape ngurusin pasien yang segitu banyaknya...”
“InsyaAllah Bu Rahayu, kalau Den Zulki gimana sudah kerja?”
  “Mohon maaf Pak, saya masih kuliah tahun ini InsyaAllah wisuda...”
“Iya ini Pak Salam, anak saya luluspun belum. Saya datang kemari bermodal tekad dan niat baik saja barangkali bisa menyambung silaturahmi...

Getaran yang tak biasa merasuki isi dada Fatimah, ia yang dari awal tak menyangka akan kedatangan tamu Abinya tak bisa menolak kala Abi dan Uminya meminta ia untuk menyambut kedatangan tamu yang kemudian duduk bersama menyaksikan pembicaraan antar orangtua.

 Saat masuk ke ruang tamu tanpa sengaja pandangan Fatimah dan Zulki bertemu, mereka lantas saling menunduk. Fatimah tak mampu lagi menegakkan kepalanya selain mendengarkan obrolan-obrolan hangat penuh tata keramahan terucap dari bibir ke dua orangtua serta tamunya. Mungkinkah ia akan dijodohkan? Pikiran tersebut terbayang dibenak Fatimah, bagaimana seharusnya ia bersikap?.

  “Buat saya hal itu bukan masalah Pak Budi.. saya mengenal keluarga Pak Budi dan Bu Rahayu dengan baik, hanya saja saya serahkan kembali pada Fatimah....”
Betulkah ini waktunya untukku? Lelaki itukah yang Allah kirimkan untuk menjadi imamku, lelaki di depan sana bernama Zulki yang kurang dari satu jam aku kenal dan aku lihat wajahnya, Ya Allah.. secepat ini Engkau kirimkan aku pendamping hidup? Segala sesuatu telah Kau tuliskan dalam perjalanan hidupku lalu apakah getaran ini sebagai pertanda, bahwa memang malam ini waktu yang tepat aku tentukan pengisi hatiku? Bismillah....
Fatimah mengangguk 2 kali kemudian tersenyum pada kedua orangtuanya. Senyuman kedua orangtua Fatimah merambat pada usapan tangan Ibu diwajahnya yang sudah muncul lipatan keriput.

Ibu.. Bapak... detik ini kau hantarkan anakmu ini menuju gerbang kebahagiaan. Fatimahkah bidadariku, ibu dari anak-anakku, pelipur lara dan gelisahku, pembawa suka dan bahagia dihidupku?. Ia-kah Fatimah, tulang rusuk yang ku temukan berkat do`a darimu Ibu..Bapak...
“Kita tinggal menentukan waktu yang tepat, setiap hari adalah baik, dan lebih cepat akan lebih baik, bukan begitu Pak Budi?”
“Allhamdulillah jazakallahu khoiron khatsiron.. InsyaAllah, besok saya akan kembali datang untuk meminang Fatimah...”
****
 Ibu mengeluarkan sekotak perhiasan dari lemari tuanya, ia menyuruhku untuk duduk ditempat tidurnya. Dengan senyum yang tak juga memudar dari sepulang kami berkunjung ke rumah keluarga Fatimah, nampaknya Ibu sangat bahagia hendak mendapatkan menantu seorang perawat seperti yang selama ini ia idam-idamkan.
“Ki, Ibu punya sepasang cincin untuk kalian...” Ibu perlihatkan cincin emas dan perak yang bermatakan berlian ditengahnya.

“Ini cincin pinangan Bapak dulu, Ibu simpan rencananya untukmu... jadi kamu pakai ini dulu untuk meminang, biar nanti waktu pernikahan kamu maharkan emas yang baru untuk Fatimah... bukan maksud kita pelit atau apa, tapi Ibu mohon kabulkan permintaan terakhir Ibu ini, biar kalian pakai cincin kenangan Ibu dan Bapak dulu...”
Embun-embun dipelupuk mata Zulki berlinangan. Tanpa mengucapkan sepatah katapun ia rangkul tubuh ibunya ke dalam pelukan. Malam ini, resapan damai menyeruak. Kapan terakhir ia memeluk Ibunya? Seingatnya sejak kuliah diluar kota ia tak lagi lakukan hal ini pada Ibu, selain karena rasa malu pula. Hanya kebiasaaan Ibunya saja yang tak berubah; mencium ubun-ubun.
****
 Bintang perpedar cantik keliling bulan sabit di angkasa, malam kemarin Zulki tak bisa menutup mata karna memikirkan hari indah ini. Banyak yang tak dinyana dalam hidupnya, sebab pencarian pendamping tak perlu ia gunakan waktu lama serta sia-sia. Allah telah menakdirkan adanya Fatimah, lewat hati yang baik Ibu dan Bapak juga Abi dan Uminya Fatimah menerima dirinya meski baru sebatas mahasiswa yang sedang menunggu waktu wisuda. Namun, orangtua Fatimah adalah orang bijaksana. Tak dipandangannya status kekayaan dan kesuksesan financial, cukuplah bekal ilmu agama dari orangtua Zulki yang baik menjadi pertimbangan utama.

Cincin di jari manis Fatimah telah tersematkan, tentunya bukan Zulki sendiri yang melingkarkan cincin cantik itu, sebelum halal dilarang menyentuh. Agar semakin istimewa Fatimah bagi Zulki, terjaga harkat dan martabatnya. Tanggal pernikahanpun sepakat ditentukan, tunggu satu bulan kedepan keduanya akan segera melepas masa sendiri. Tak akan disia-siakan waktu ini untuk makin memantaskan diri lahir dan batin untuk menyongsong kebahagiaan dunia akhirat yang teridhoi Ilahi.
Sementara waktu berputar tanpa terasa, tiba saatnya untuk Zulki dan keluarga pamit undur diri dihantar senyum mengembang dari orangtua Fatimah yang mengantar sampai pelataran gerbang rumah megah itu.

 “Semoga apa yang kita lakukan menjadi amal baik, putra-putri kita diridhoi untuk membina keluarga serta menyambungkan persaudaraan kita...” Kata Pak Salam seraya menjabat tangan calon besannya, Pak Budi.
“Aamiin Ya Rabbal Alamin...”
****
Kematian tak akan lepas jauh dari denyut jantung yang berdetak pertanda kehidupan. Pun jodoh, seberapa indah rencana manusia tetaplah Allah yang menentukan. Dihari baik itu, malaikat maut datang menjembut Pak Budi dan Bu Rahayu dalam sebuah kecelakaan lalulintas tanpa Allah berikan waktu bagi keduanya saksikan pernikahan putra bungsunya. Waktu yang tak sebentar untuk Zulki rangkul kepingan hati yang tiada dalam jasad kedua orangtuanya.
 Fatimah adalah pelipur lara harapannya. Perempuan yang dipilihkan kedua orangtuanya untuk menemani masa kesendiriannya. Sampai, sore sehabis hujan di akhir Oktober Zulki datang ke rumah Fatimah untuk membicarakan soal pernikahan yang sempat tertunda.

 “Nak, Fatimah mau ngomong langsung dengan Nak Zulki...” Umi Rina mempersilahkan Zulki masuk ke dalam rumahnya, tak seperti biasa kali ini Fatimah ingin berbicara langsung. Selama ini baik Fatimah maupun Zulki sepakat untuk mengurangi intensitas komunikasi, memilih kedua orangtua mereka menjadi pelantara.
“Mas Zulki, saya mohon dimaafkan.. saya tidak bisa melangkah ke jenjang pernikahan dengan Mas Zulki...” Sehabis itu Fatimah berdiri dari duduknya, ia berbalik lalu lari meninggalkan ruangan.
 
Umi Rina saat itu terlihat menghapus genangan air matanya, ada rasa sakit menyesak saat pertama kali mendengar keputusan putri sulungnya. Apalagi Pak Salam bersikeras menentang keinginan Fatimah, sampai terjadi percekcokan dirumahnya malam kemarin. Fatimah memilih jujur apa kata hatinya, getaran pertama yang dirasakannya tak bersumberkan cinta melainkan ketertarikan awal pada lawan jenis berdasarkan kecakapan fisik yang dimiliki Zulki, selebihnya Fatimah merasakan adanya Zulki sebagai bayangangan yang mengganggu hari-harinya. Tak ada ketenangan hati, setelah acara peminangan itu.
“Tolong.. Umi dan Abi pahami.. jika, Fatimah tetap menikah dengan Mas Zulki. Fatimah hanya menabung dosa karena tak mampu memberikannya cinta hakiki seorang istri pada suaminya...”
****
Dengan tangis yang membakar sekujur hatinya, Zulki pulang meninggalkan rumah calon istrinya yang tak jadi. Ingin cepat ia sampai dirumahnya, lalu melihat pantulan wajahnya dicermin.
 “Salam rindu dari dunia.. Bu..Pak...”

-SELESAI-

Sanding-Garut
3 November 2013

Mahkota Sawitri

Ia pandangi wajahnya yang memantul disebalik kaca berpigurakan kerang laut warna hijau. Bulu matanya yang lentik membayangi kelopak mata, lantas ia tarik ujung-ujung bibirnya untuk tersenyum dengan kedua ibu jari tangannya. Senyuman yang kaku nampak ditengah cermin itu. Ia membuka mulutnya kemudian merapatkan gigi-gigi putihnya hingga beradu satu sama lain. Teringat senyum salah satu iklan pasta gigi yang dulu sering ia lihat dilayar televisi, sekarang waktunya untuk mempraktekan. Senyuman yang dibuat-buat ketara sekali tanpa expresi bahagia. Senyum 5 jari gagal. Merasa bosan, bibir atas dan bawahnya ia rapatkan kemudian membentuk huruf O, kemudian menarik nafas dalam sampai membusung dadanya setelah itu menghembuskannya ke depan cermin.

Ia, Sawitri. Titik-titik air matanya kemudian berlinang, dengan tangan yang mengepal Witri hapus uap-uap hembusan nafas yang memburamkan pandangannya dicermin itu. Air matanya semakin deras dan tangannya melaju cepat menggosok-gosok cermin walau kini telah kembali bersih. Entah ada yang salah atau apa dari pandangannya, Witri merasa bahwa cermin itu tetaplah kotor meski tidak ada uap apalagi debu yang mengotorinya. Lantas apa yang ada dipenglihatan serta pikirannya?.

“Jangan patahkan semangat anakmu Mas, Witri normal. Dia anak pintar disekolahnya, dia cekatan, mau belajar keras, rajin membantu aku kalau dirumah. Witri normal, Witri anak baik”

“Ibu, anak kita semua laki-laki. Aku ingin anak perempuan darimu, supaya Mahkota Diajeung Ayu tetap berjaya digaris keturunan kita. Paras yang cantik dan menawan jadi harga mati untuk pewaris Mahkota itu. Sekarang, apa yang mau dibanggakan dari anak semacam Witri? Jangankan berlenggak-lenggok didepan orang-orang, dia berjalanpun terpincang-pincang. Malu aku Bu....”

“Mas Brama jaga ucapanmu!. Dari awal aku tidak setuju dengan pewaris Mahkota Diajeung Ayu yang kamu dan keluargamu bangga-banggakan itu. Agama kita melarangnya Mas, Islam memuliakan perempuan dengan menutup auratnya sementara ini kau mau jual harga diri anak perempuan kita. Aku tidak menyesali Witri lahir berbeda dari anak gadis pada umumnya, harkat dan martabatnya terjaga”

“Lantang kamu bicara seperti itu pada suamimu, Rasmawati! Kalau begitu, kamu urus sendiri anak perempuan cacatmu itu. Tak sudi aku menganggapnya anak!”.

****

Bedug subuh sahut menyahut berkumandang, tidak seperti biasanya pagi ini tubuh Witri masih terbaring ditempat tidur. Ia pandangi langit-langit kamar dan lampu tua bewarna oranye, bohlam namanya. Pandangannya lurus dan kosong, dari pertama membuka mata 1 jam yang lalu ingin ia bangun dari tidur malam yang tidak nyenyak ini, ia ingin berdiri kemudian mengambil air wudu seperti biasa lantas mendirikan shalat malam sampai menjelang subuh. Kali ini tubuhnya kaku, sulit untuk digerakkan mungkin kehabisan tenaga akibat tangisnya semalaman yang tak surut terkenang ucapan ayahnya yang begitu menyayat jiwanya.

Plak..plak...plak....

Suara orang berjalan semakin terdengar kemudian berhenti tepat didepan pintu kamar. Pintu terbuka dan nampaklah seorang wanita berusia 45 tahun berjalan menghampiri Witri. Perempuan ini, seorang Ibu yang Witri panggil Ibunda.

Wajah Bunda tercekat melihat anak perempuan satu-satunya ini tak bisa menggerakkan badannya. Ia tempelkan punggung tangannya dikening sang putri, suhu tubuh anak itu meningkat. Witri terkena demam.

“Sebentar Nak, Bunda bawakan obat untuk Witri....” Ketika Bunda hendak beranjak dari tempat tidur, tangan Witri mencengkram lemah. Bunda memutarkan kepalanya kebelakang, ia lihat kepala anaknya yang bergerak ke kanan dan ke kiri.

“Gak perlu Bun....” Ucap Witri kemudian dengan nada lemah. Dadanya kini naik turun.

“Witri, ingin bertanya....” Lanjut Witri dengan nafas terpenggal-penggal.

“Silahkan.. Witri mau nanya apa sama Bunda?” Bunda mendekatkan wajahnya, tarikan nafas Witri terasa dikulit-kulit pipinya.

“Witri cantik tidak?”

Pisau berkarat serasa menyayat dada Bunda. Sayatan yang pelan namun menyakitkan. Bukan darah segar yang kemudian menyembur namun darah-darah perih yang bernanah. Bunda tahan air matanya, ia tidak boleh menangis dihadapan Witri. Sudah cukup perih hidupnya selama ini akibat terlahir dengan tubuh yang cacat. Witri tidak memiliki kulit yang putih mulus, giginya saling bertumpukkan hingga sering kali mengulum senyum, tingginya tidak semampai khas gadis seperti umumnya. Witri kecil sering diolok-olok teman sebayanya dan sekarang Witri besar dibuang ayahnya akibat tak layak mengikuti Mahkota Diajeung Ayu yang dibangga-banggakan kerajaan ayahnya.

Sedangkan untuk Bunda, ini merupakan anugerah yang diberikan Tuhan padanya. Dengan kondisi fisik seperti ini, Witri tidak berani mengenakan pakaian adat yang mengumbar tubuhnya. Bunda selalu memilihkan pakaian gamis panjang untuk Witri membingkai wajahnya dengan kerudung. Dengan begitupun Ayah tak banyak komentar bahkan menyetujui langkah yang diambil Bunda, namun kali ini hasrat Ayah tak bisa dibendung. Ia ingin putri satu-satunya mengikuti Mahkota Diajeung Ayu agar martabat kerjaannya semakin kuat. Dengan syarat mutlaknya; cantik fisik.

“Witri kenapa bertanya seperti ini?” Ujar Bunda balik bertanya. Witri tidak menjawab ia malah menangis tersedu-sedu dipangkuan Bundanya.

“Dengar Nak! Asalkan Witri ikhlas, InsyaAllah Witri selamat dari azab Allah yang pedih. Allah melarang perempuan menampakkan auratnya apalagi berlomba-lomba memperlihatkan tubuh kepada orang lain selain orang-orang yang berada digaris mahram. Mahkota Diajeung Ayu itu, tidak berarti apa-apa daripada balasan Allah kepada hambaNya yang taat atas perintahNya. Witri Cantik, Allah menciptakan manusia dengan sempurna. Witri hanya perlu mensyukuri dan berprasangka baik selalu pada Allah. Lillah, karena Allah. Mulai sekarang, jadikan jilbab Witri ini sebagai bentuk ketaantan Witri pada Allah, ikhlas karenaNya bukan sebagai penutup kekurangan atau karena menuruti keinginan Bunda....”

“Witri doakan saja Ayah, agar Allah memberi ampunan pada Ayah dan memberikan hidayah...”

Bunda menghapus air mata Witri, kemudian ia menciumi kening putrinya itu.

Belaian angin pagi kini menyapa, ayam mulai berkokokan sementara bulan dilangit sana hendak bewarna putih.

“Silahkan pergi bulan.. asalkan putriku mengerti atas kewajibannya, hatiku telah damai. Biarkan orang-orang termasuk suamiku sendiri memandang sebelah mata, namun dimata Engkau dia tidak seperti itu”

-SELESAI-

Garut-Sanding, 
26 Oktober 2013

Mawar Putih Kharisma


Segelas susu panas yang mengepul asap-asapnya ke udara, sore hari dengan rintikan hujannya aku kerjakan tugas Ibu mengantar segelas susu untuk putri cantik penghuni rumah ini. Melewati tangga-tangga berkeramik putih aku sampai di depan kamar Non Sya. Meski kamar menutup namun harum penghuninya telah tercium sampai luar, sedang apakah gerangan orang yang ada di dalam? Pasti sedang melamun, duduk di meja rias yang menghadap ke jendela luar. Setelah mengetuk pintu teriakan pelan menyuruhku untuk masuk. Dengan senang hati Non Sya.

21 tahun usia dia hampir sama denganku bahkan kami kuliah di perguruan tinggi yang sama juga, hanya berbeda jurusan namun kegiatannya sehari-hari sebagai aktivis kampus tak pernah luput dari pandanganku. Non Sya yang cantik ini tergolong mahasiswi yang pandai dan energik, ia supel dan memiliki banyak teman-teman. Satu lagi dia amat agamis, seperti keluarganya yang memegang kokoh prinsip Islam.

Tapi.

Non Sya di kampus dan di rumah amat jauh berbeda. Di rumah ini jarang sekali aku temui dia berada di lingkungan rumah selain di kamarnya sendiri, entah apa yang selama ini terjadi atau mungkin Non Sya mempunyai keingingan hingga dirinya memutuskan untuk mogok bicara pada orangtuanya, husssh! Enggak seperti itu. Aku sering kok lihat Ayah dan Ibunya Non Sya ngobrol, tapi tetep mereka yang datang ke kamar Non Sya. Tidak di ruang keluarga yang lengkap dengan TV home theaternya, sofa empuk bercorak dulmatian, karpet halus anti debu dengan ruangan yang menghadap kolam renang serta kolam ikan transparan karna seluruh bagian ruangan berdinding kaca. Aku saja jika melewati ruang keluarga itu selalu dibuat merinding. Tidak pula di bungalau rumahnya yang anggun itu, hehe kok aku sebut anggun ya? Terus apa lagi yang harus bilang untuk menggambarkannya, bungalau rumah ini adalah bungalau tercantik yang pernah aku lihat. Terdiri dari sebuah tempat menyerupai saung khas orang Sunda yang berbentuk kerang laut tempatnya Jiny Oh Jiny tidur hehe, dengan pengcahayaan yang temaram tak ketinggalan bunga-bunga anggrek yang dibiarkan tumbuh subur namun terawat juga bunga mawar yang semerbak harumnya. Kemudian satu lagi, ikan-ikan koi berukuran sedang dibiarkan menari-nari diakuarium berbentuk oval. Satu akuarium satu ikan koi, berjejer rapi diatas meja-meja yang disediakan. Anggun dan cantik.

“Non, ini susunya....” Kataku kemudian menyimpan susu panas itu di meja belajar Non Sya.

“Makasih ya Ra.....” Jawabnya singkat seraya melemparkan senyumnya. Senyuman yang tetap cantik namun tak selepas jika aku bertemu dengannya kala di kampus.

“Kita jarang ngobrol ya Ra, sini duduk disini....” Non Sya berdiri kemudian mengambil kursi belajarnya. Sekarang kami saling berhadapan di depan jendela kamarnya.

“Ira, kamu pernah jatuh cinta?” Pertanyaannya kemudian, tak surut senyum dibibirnya.

“Sekarang juga saya lagi jatuh cinta, Non haha” Jawab aku sumringah supaya tidak terlaku kaku.

“Kalau Non Sya?”

***

Mentari di siang hari meranggas, panas. Pulang sekolah aku tempuh dengan berjalan kaki sejauh 2 kilometer. Ayah menyuruhku menggunakan mobil agar tidak kecapean, tapi buat apa? Kalau kaki masih bisa berjalan. Olah raga alami tolakku. Jilbab putih berbahan polino berhasil serap keringat-keringat yang bersumber dari dasar rambut serta kulit wajahku. Namun tetap saja bau keringat mencuat dari badanku yang kebajiran ini. Memasuki pelataran rumah ada sesuatu yang berbeda, di halaman terdapat seorang lelaki muda tengah bergulat dengan gunting dan pohon bongsai yang dibentuk menyerupai tempat duduk.

Kami saling berpandangan, kemudian cepat aku menunduk dan berlari masuk ke rumah.

Menjelang sore hari lelaki itu belum juga pulang. Ia masih sibuk membentuk pohon bongsai di halaman depan rumah. Aku berpikir bahwa keduaorang tua ku sengaja menggunakan jasanya untuk mendekor taman. Tidak masalah.

Hari berikutnya, lelaki itu bekerja di bungalau. Ia menanam anggrek-anggrek aneka rupa, anggrek ungu, putih, dan anggrek bulan yang cantik. Aku senang melihat tangannya yang cekatan, tidak menjadi masalah baginya karna tangan-tangannya yang kotor akibat berjibaku dengan tanah, ia terlihat begitu menikmati pekerjaannya. Berawal dari ruang keluarga yang transparan aku melihatnya kemudian beranjak pergi ke bungalau untuk melihatnya secara dekat, aku semakin tertarik.

“Namaku Syani, semua orang memanggilku Sya. Abang siapa?” tanyaku memulai percakapan.

“Aku Kharisma, panggil saja Kharis” Ia menjawab tanpa melihat padaku. Dia semakin sibuk dengan pekerjaannya sementara akupun semakin sibuk memperhatikannya. Aku senang melihatnya memejamkan mata ketika menghirup mawar segar yang diambilnya dari toples berair. Tiba-tiba ia mendekat ke arahku dan memberikan mawar itu kehadapanku.

“Coba cium, harum tidak?” Ucapnya disertai senyum hangat. Aku cepat mengikuti perintahnya kemudian kepalaku mengangguk, pertanda aku setuju dengannya. Mawar yang harum.

“Aku suka mawar, itu sebabnya aku memilih jadi tukang kebun” Serunya memulai percakapan.

“Tukang kebun???” Tanyaku tak percaya atas pilihan hidupnya.

“Iya.. tukang kebun seperti ini Sya. Aku memilih menikmati pekerjaan daripada susah payah membohongi diriku dengan pekerjaan yang tidak aku sukai. Karna aku tidak mempunyai jatah hidup dua kali, nikmati kata hati daripada kata nafsu. Itu bahagia”

Aku tersenyum meski tak sepenuhnya setuju dengan pemikiran dia. Sedang tidak berminat untuk debat seperti aktivitas sehari-hariku yang beberapa kali memenangkan kejuaraan debat antar SMA, biarkan saja mengalir. Aku menikmatinya.

***

“Aku rasa itu cinta pertamaku, Ra....”

“Terus sekarang gimana?”

“Ikut, aku Ra....”

Non Sya, memegang pergelangan tanganku. Kami setengah berlari menuruni anak tangga lalu sampai di bungalau. Ditengah rimbunan bunga mawar merah Non Sya berjongkok, lalu membuka beberapa helai tangkai mawar sampai masuk lebih dalam. Rimbunan itu sepenuhnya adalah mawar merah kemudian dua helai tangkai mawar Non Sya patahkan, munculah disana kelopak mawar putih yang tersembunyi. Tinggi mawar putih itu tidak lebih tinggi dari mawar merah, hingga tak bisa terlihat bila tidak benar-benar mencarinya.

“Lihat itu...”

Non Sya mengarahkan telunjuknya diantara dua helai mawar putih. Tepat diantara mawar putih itu, sebuah tulisan terbaca meski memudar akibat termakan musim.

Setelah ini kau tak akan mendapatiku disini,
Selain mawar-mawar ini yang dapat kau nikmati indahnya...
Cinta itu Sya adalah kemurnian niat,
Diantara lautan mawar merah ini akan hadir warna putihmu
Sebagai pendamaimu, penyempurna hidupmu
Tunggulah

***

“Niatku datang kerumahmu hanya untuk bekerja Sya, besok pekerjaanku selesai dan aku akan kembali pulang”

Malam ini, cahaya temaram dari rembulan sinari bungalau. Aku dan Kharis duduk dengan pandangan lurus ke depan. Riak-riak cipratan air yang disebabkan oleh sirip ikan koi yang memantul ke aquarium kaca menjadi alunan musik alami yang syahdu. Perasaan tak menentu berkecambuk di dadaku, beberapa jam lagi aku akan kehilangan Kharis. Besok tidak akan aku dapati dia ada di rumah ini lagi, 3 hari yang dilalui meski amat singkat namun menorehkan kenangan khusus di hidupku. Inilah pertama kali aku berbicara dengan lelaki, diusiaku yang ke 18 tahun saat aku duduk di bangku kelas 3 SMA.

Tesss... air mata tak dapat aku bendung. Lalu, aku memilih berdiri dari dudukku dan berlari masuk ke dalam rumah meninggalkan Kharis tanpa menolehnya lagi.

***

“Jadi, ini yang membuat Non Sya jarang keluar rumah selain di dalam kamar?”

“Iya Ra, bahkan ini pertama kalinya aku kembali menginjakkan kaki di bungalau. Aku hanya mampu melihat keindahan ini dari balik jendela kamarku, aku tak mampu melupakan kenangan ini... Kharis masih melekat diingatanku”

“Tulisan ini aku tahu... karna malam hari sebelum dia pergi. Aku lihat Kharis menuliskannya untukku... tanpa dia tahu aku melihatnya untuk terakhir kali”

-SELESAI-


Sanding-Garut,


26 Oktober 2013


Pena dan Jemari, September 2013

Kamis, 10 Oktober 2013

 

Kisah Pertama, 2 September 2013
Di dadaku ini dalam dekap malam yang terisak ngilu
Terhitung tak lama dari pekan ini aku tuliskan rindu
Rindu yang tak urung berkurang lapisannya di kala sendiri
Seiring makin tebal halaman cerita yang menanti terlisankan diatas satu kesabaran untuk menunggu waktu.

Halaman cerita itu tersimpan dari detik ke menit lalu hitungan jam sampai pada gantinya siang dan malam beratus-ratus waktu. Rekaman nafas, kedipan mata, jejak kaki dan beribu percakapan yang tercipta ingin aku ceritakan. Pada siapa lagi semua bermuara selain padamu.

Aku terisak...
Meronta tanpa sadar pada Tuhan, mungkin disana Dia tersenyum karena do'aku atas permohonan petunjuk terkabulkan walau jatuh direlungku yang terasa pahit....
Tapi mungkin dari saat ini dua rahasia terbaca atas suratanNya tentang kisah ini

Kisah pertamaku,
saat satu kata "pacaran" ditinggalkan dan berganti pasrah pada pemilik hati, pengatur kehidupan, yang teryakini jika semua tercipta berpasangan, sementara aku atau kamu hanya bergantung pada giliran kapan Tuhan menentukan

Jika akhirnya dekat waktumu, sekali lagi ini adalah persoalan waktu dan urusan hatiku

Orange Jus, 6 September 2013
Orange jus ini ternikmati sendiri disela jingga milik sang senja yang merambat pupus terbilas awan malam

Selamat datang malamku! Teriak air manis bewarna orange dalam gelas bening mungil sederhana pengkhatam aluran cerita siangku yang berjalan panjang lewati adzan magrib di jalan, temui wajah-wajah penuh kasih sayang setelah sebelumnya mendengarkan cerita seorang teman yang berucap tentang kebahagiaan, lalu adik tingkat yang baik suguhkan segelas air minum atas rasa pedasku yang membakar seantero lidah sore tadi

Tuhan....
Kini giliran aku bicarakan tentang bahagia. Bahwa bahagia aku adalah semua yang ada disekelilingku, ketika aku mampu menelisik arti dari adanya mereka termasuk orange jus ini

Cukup.
Aku bahagia.
Terimakasih Tuhan.

Buat Perempuan Berkerudung Abu, 7 September 2013
Antara tebing bebatuan,
bunga cantigi,
kawah berasap,
dan langit tertutup kabut,
Kau seperti lenyapkan dahaga tenggorokmu pupuskan helaan keringat yang luruh dari keningmu
berjalan lantang sigap tantang dunia yang terkadang melow oleh cerita cinta 2 masa ambigumu; masalalu atau masadepan
lupakan!
tidak dengan itu nyatanya kau perempuan tegarku, melebihi aku yang katamu agendaku tak pernah surut
aku suka pada senyummu didepanku
aku terenyuh pada putaran kepalamu kala melihatku yang terengah dibelakangmu
aku tertarik oleh semangatmu
dan ini aku tuliskan untukmu syair Chairil Anwar berjudul Cerita;
Jiwa satu teman lucu
Dalam hidup, dalam tuju

Ia hanyalah seorang perempuan, 8 September 2013
Diujung risau yang menari ganas, ia berdiri pada tepian tebing kaya mimpi
Mimpinya terucap sederhana; jika waktu berpihak kaulah seorang yang duduk dengan lingkaran kembang melati yang menjuntai sampai dada

Ia hitung lembaran almanak menandai pergantian hari dengan balpoint merah merindu,
Ia peluk rangkaian rindu yang menerjang seluruh isi hati dengan mata terpejam beserta seulas senyum masyur; yakinnya jarak adalah bualan kosong karena hati yang terpaut tetaplah berbicara serupai Majnun dan Laila versi negri maritim
namun dunia tak berkehendak yang sama, ia berubah menjadi Rachel dalam kisah mengaharu ditahun 2000-Heart

Wahai kau kenangan yang riuh penuhi jelaga batin sebagai pembela duka yang merauk air mata, Ia nyatanya seorang perempuan yang tak pandai mengusir cinta maka redamlah gejolak asmara itu... dengan bisikan halus yang tak terdengar sampai Ia membuka telinga lalu kau bersuka dengan gejolak asmara bergaris takdirmu

Kau, Ia hanyalah seorang perempuan yang hidup dalam kenanganmu dan masa yang saat ini berpijak melihatmu

Jejak Engkau, 8 September 2013
; YK Gama dan Wish Giga

telah cukup waktu kau tiada dalam kebisingan senja dan heningnya subuh
baik ketika sadar maupun tidak aku koreh satu per satu abjad ditengah kolom pencaharian
karena limbung nampaknya kau hadir diurutan teratas lantas menyepi dan aku tak hafal kepulan asap nafasmu; terjaga atau tertidur dicelah tumpukan buku anakmu
belakangan aku berpikir nista bahwa kau sekedar rekanan samar yang lama aku kenal kemudian berakrobat menyapaku lugu dalam etos keasingan, Wish Giga

YK Gama,
aku tak lantas hilang kesadaran untuk mengingatmu
bahwa alam terkecil milikku pun serta merta kirimkan kesempurnaan senyummu dalam lelapnya tidurku
kali kapan aku terakhir berbincang denganmu, saksikan kebaikanmu memberiku sesendok sambal hijau dijamuan Ramadhan hitungan terakhir
sedang apa kau?
aku tetap menulis disini, membuka terus sajak-sajak penyair dahulu yang tak habis magnet ajaibnya
begitulah... aku tetap menjadi aku yang katamu sekolah dulu dan hargai tiap kata untuk diurutkan lalu abadikan

Dunia, 9 September 2013
Aku tak pernah tahu kapan akhirnya aku hidup sendiri
Dibelahan tanahmu yang penuh geliat hewan kecil
Lantas tiba ditepian gerbang yang kekal didalamnya
Sementara bibirku masih penuh ejaan berbau neraka; ghibah, tinggalkan Qur'an, malas hafalan, sakiti orangtua dan orang-orang disekitarku
Katanya malaikat turun disepertiga malam lalu disana tak bisa aku hempas pelukan setan maka waktuku untuk dekat hanya dengan Tuhan sia-sia begitu saja
Aku tak pernah tahu kapan akhirnya aku hidup sendiri bertabur bunga ditepi atasnya lantas ku ingat; kemana saja ku tabur rezeki titipan Tuhan selama ini? Serta bagaimana dengan shodaqoh tiap inci tulangku jika Dhuhapun sering aku nomer duakan ditengah riuhan aktivitas titipan Tuhan
Semuanya untuk dunia, lalu kapan bagian untuk akhirat, haruskah menunggu sampai aku tiba di akhirat? Tak mungkin....

Warna Pelangi Dev, 14 September 2013
Nyatanya aku berada dalam rentan masa bewarna pelangi
Biasan sinar tiap warna menderang tahap per tahap lapisannya
Termasuk cerita kita di dalamnya, Dev
Adalah putih dulu yang menaungi jejak kita bersama dengan putih-merah seragam kebanggan kita
Bersih kita dulu Dev…
Terjaga lisan dan tubuh dari maksiat karena belajar keras dan ranking 10 besar hinggap di benak kita setelah si boneka perempuan berambut pirang mainan kita
Lalu kemarin, hatiku bergetar hebat atas kabar tentangmu
luluhkan ingatanku ; Mata cantik milikmu, hitam kerap bulu matamu, dan senyumanmu
“Bagaimana rasanya?” Tanyaku kemarin
“Deg-degan serasa mimpi. Beberapa hari lagi soalnya…” Kau jawab seraya tertawa malu
“Nanti mandi pakai air bunga ini ya…” Teriak seseorang dari belakang yang memperjelas keberadaan kita
Bahwa ini peristiwa agung untuk hidupmu, Dev
Lelaki mana yang akhirnya berhasil membawamu dalam mahligai yang diridoi Illahi?
Malam ini, malam terakhirmu hidup tanpa ikatan
Rasanya aku ingin bersamamu, memegang tanganmu seperti dulu kita bersama atau esok aku peluk kamu diatas altar keabadian yang indah itu lalu melihatmu bahagia
Warna pelangi ada diantara kita Dev, direntan usia kita,
Satu per satu kita terlepas membangun impian 
Berkah untukmu…

Terkubur Malu
16 September 2013 pukul 23:19
Bisingnya malam hanya aku yang tak merasa
Berdiri-sendiri menuntut segenap kedamaian yang hilang bertahap dipalung dada
Ucap seseorang berdo`alah maka aku akan tenang
Tapi aku butuh lebih dari do`a sanggahku keras lalu pergi
Aku tergagap maknai rotasi ruang yang mendengus kesal kala ku hadir
Maka aku hanya bertemankan sajak-sajak lirihan rindu yang membentang erangan takdir
Aku tak akan terlelap malam ini Sayang atau mungkin seterusnya akibat takdir yang mengubah isi duniaku
Isi duniaku adalah kamu
Selain kamu aku terpejam
“Kita berjalan dalam risalah Tuhan Ris.. saat nafas berhembus saat itulah nikmat pemberianNya, saat lelah terasa saat itulah kasih sayangNya berisyarat untuk terlelap, saat ujian menghampiri uluran tanganNya tak lepas rangkul hidup kita, tapi ketika kita bersama saat ini aku fikir tak adil pada Tuhan”
 “Bersama atau berpisah inilah takdir Ris…”                           
 Kau yang halus bungkam mantra-mantra cintaku
Tersungkur diperadaban ini, mengumpulkan remahan sisa-sisa harap
Akhirnya aku tumbang terkubur malu; olehmu dan Tuhanmu, Tuhan kita

Ya Allah Ya Salam, 17 September 2013
Kau hadir disepanjang ruas pandang
Menelisik kharismatik celah-celah egoku
Pendam luapan lisan tak terjaga hingga ku terdiam dan mengerti isyarat kebaikan
Rabbi…
Tak aku temui selain Engkau dalam resah dan bahagiaku
Kau suguhkan kesetiaan tanpa batas meski sering ku cari selain dariMu untuk tuntaskan gelisah serta bermain asmara dunia yang berujung sesal saat ku lalui jalan yang tak berserta ridhoMu
Rabbi…
Kebahagiaan hakiki adalah menempatkan Kau di dasar  dan permukaan hati hingga tiap langkah, lisan dan lampah tertanam nama keAgunganMu
Namun, seperti inilah manusia yang dhoif…
Selalu terlena belaian-belaian palsu duniawi
Rabbi…
Aku bertanya tentang ampunanMu
KekasihMu, Rosulullah… atas jaminan surga dan ampunanMu padanya tak lekang setiap hembusan nafas tersuguhkan untuk ibadah kepadaMu
Tapi, bagaimana dengan diriku?
Ampunan dan Surga Engkau yang harus terus diperjuangkan namun kedzoliman diri tak luput dari ruas-ruas organ yang melampah
Rabbi...
Ya Allah Ya Salam

Abdi Diri, 18 September 2013
Pada akhirnya kita sama-sama terpejam, mengeja sunyi dipelataran malam. Terkadang naluri hendak terbang, melanglang diksi istimewa untuk sebuah puisi. Jika sang tunas harapan bernama jantung dibebankan tugas mulia atur kerja darah berarti puisi ini adalah alat perekamnya, pengabdi tiap tetesan lalu sampai di ubun kenangan.

Ku telah coba mengerti, bahwa dunia berbaik hati pijamkan separoh tanahnya untuk ku tapaki. Membangun jiwa yang segar setiap pagi, termahsyur cadas langit ekor jejak pribumi diwaktu menderangnya mentari hingga mengurut senja.
Langkah...langkah... Seruan tajam hanguskan tanda tanya tak bermakna, karna hidup selain untuk terpejam adalah untuk mengabdi.

Abdi diri untuk Tuhan, pelukis sempurna pembangun masa pagi, siang dan malam.
Abdi diri untuk sesama yang turut berbagi separoh tanah yang lain.
Abdi diri untuk hari kekal abadi.

20 September, 19 September 2013
Malam dengan aneka rupa; purnama, hujan, angin dingin
Telah datang sendiri rongga dada berjubah bait puisi untuk mengenang malam di kota yang sama 20 tahun kebelakang

Memeluk Mamah, 20 September 2013
Kulit kita saling menyapa singkirkan dingin malam berdua diantara lembabnya pori-pori dan kasih yang membuncah

Baumu Mah, semerbak harum khas yang hanya milik kau di dunia ini bersama sentuhan penyelimut hangat rindu-rindu yang menanti tersapa

Memelukmu Mah, saat istimewa yang Tuhan berikan, meski sering rohku tak peka bahasa hatimu akibat gunungan ego labilku namun sampai kapanpun tautan fisik diantara kita adalah pertalian insan yang saling mencinta karenaNya

Sebab,
tak kutemui tulus seikhlas tulusmu
sayang sesempurna sayangmu
pengorbanan sebesar pengorbananmu

Memeluk Mamah, bercerita hati ke hati tentang; gelisah, bahagia dan rupa rasa pewarna hidup

Memeluk Mamah, memahami arti sabar dan ketulusan

Selamat Ulang Tahun, 22 September 2013
Di detik-detik menuju persinggahan dermaga mimpi kau seolah bermain diingatanku.
Memori panjangku rupanya memutar drama keberadaan kau dan aku dahulu, yang ucap kau; semua adalah takdir.
Aku setuju.

Merujuk ratusan hari dibelakang kita, dimana 14 purnama ku tandai menjadi masa tersakral per hitungan bulan, kau bersinergi dengan ruas-ruas malam dan siang yang ku lalui.
Sampai pada tanggal istimewa yang tertandai dalam almanak ingatanku.

Kau, tetaplah kau yang dulu bahkan mungkin berubah; berubah menjadi lebih baik dalam berbagai hal.
Do'aku ditahun ini dalam beberapa bait puisi yang ku tulis tanpa bingkisan kenang-kenangan; semoga sinar menderang purnama dilangit sana menyerupai langkah-langkah engkau dalam meniti jengkalan kehidupan terhitung dari esok hingga seluruh mimpimu tercapai.

Aku telah cukup puas dengan keberadaan kita sekarang, sahabatku selamat ulang tahun berkah Allah untukmu.

Merpati Putih, 23 September 2013
Malam ini aku tidur duluan,
karena bagian terbesar nalarku memilih lenyap terhunyun mimpi yang lebih cepat musnahkan aneka dusta yang bercabang dari bibirmu

Telah aku kuasakan hadirku pada sarang laba-laba disekitaran rumahmu jika kau butuh aku untuk duduk dan dengarkan seluruh isi hatimu yang maniak untuk di dengar

Menjadi cinta merpati yang selalu putih nyatanya aku bosan, mata-mataku yang senantiasa diguyur keluguan menatapmu tanpa bisa berkata "Tidak!"

Tiba jika waktu harus aku buat cerdik, menghitung berapa banyak kelemahan diriku di hadapmu selama kau usung garis kesetiaan yang terbuat untuk penjarakan mobilitas hidupku

Merpati putihmu, ingin terbang melihat dunia yang kata orang papa neraka akibat terkerus habis oleh serakahnya si kaya penikmat surga uang... Bagaimanapun itu menjelang wafat isyarat kekuasaan Tuhan harus aku temui biarlah berawal dari mimpi kebebasan

Kopi Manis, 24 September 2013
Ia menjamuku dengan harum kopi pagi ini,
ku tahu pasti bagaimana ia tuangkan berbagai harapan ditiap guyuran air panas serta putaran sendok teh yang beradu denting dengan cangkir ayam jago
aku minta jangan terlalu banyak gula, hingga mengertilah ia bahwa hidup yang terlalu manis menjemukan tapi menjadi tujuan akhir karna siapa mau si pahit bertahan lama sebagai penguasa hari
sorot matanya teduh, tak pernah meminta mimpi yang terlampau jauh, cukup meminta hati yang selalu menengadah do'a dan keringat yang bekorban ikhlas raup celah-celah rezeki lalu pulang dengan segudang cerita dan santap jamuan malamnya

Berbeda, 24 September 2013
Selamat malam langit! Sekarang aku cari purnama yang hilang di ufuk hatiku, ia berlalu manakala aku berdiri dirimbunan khalayak. Mungkin ia tak suka bising manusia, karena baginya hidup damai tanpa sorak sorai miliki makna istimewa. Sedang aku adalah protokoler, rentetan kalimat susuri abjad, majas sampai prosa meretas anak cucu satu darah berirama sama. Kau yang diam dan aku yang banyak bicara, mengusung tema perbedaan jika kita menyatu. Namun hay! Nasihati aku untuk tutup luapan lisanku yang tak terjaga, beri aku separuh ketenangan dirimu yang lama luput tak ku temukan dimana jatuhannya ada. Biar kita sempurnakan langit sama-sama bersinar, seperti bintang dan purnama.

Karena Allah, Sahabatku..., 24 September 2013
Coba untuk dipahami, sahabat hadir lebih dari teman berbagi cerita. Sahabat hadir lebih dari pengisi hari-hari agar lebih berwarna. Sahabat hadir lebih dari penghapus air mata. Sahabat hadir lebih dari pengulur tangan tatkala diri tak mampu sempurna lengkapi titah kehidupan. Sahabat hadir adalah perwujudan karunia Allah yang Maha Penyayang dan Pengasih. Kala persahabat goyah berpikirlah sebagai ujian yang harus dijawab bersama sampai mana kita menyayangi dan mencintai sahabat-sahabat kita karena Allah.

Sahabat-sahabatku, aku mencintai dan menyayangimu karena Allah
.

Jangan menangis yah Bu... 26 September 2013
Ibu...
Maaf aku tak mampu bernafas di duniamu, detak jantungku tiba di akhir hitungan, setelah ini tak akan kau dengar detak-detak yang kau nanti dalam perutmu, begitupun dengan gerakanku.. Bersisa sepi karena aku tidur tanpa terbangun lagi tidak terlebih dahulu melihatmu, menatap binar kasih sayang dimatamu, merasa hangat pelukmu...

Ibu....
Tuhan beri aku waktu sampai disini, meringkuk di ruang lembab penuh cinta, rasakan belaian Ibu meski ada kami tak lantas saling memandang...

Ibu...
Rahimmu tempat terindahku, disini aku dengar do'a-do'amu agar aku selamat lahir di dunia dan menjadi anak solih, terimakasih untuk do'amu Ibu namun biarkan aku tunggu kau di surga ketika tiba pertemuan kita...

Ibu...
Jangan menangis, air matamu tak akan mengubahku kembali bernyawa di rahimmu. Aku melihatmu Bu, aku pun sedih tapi tegarlah pasrahkan pada Tuhan yang mengatur hidup kita karena Dialah yang Maha Pengasih tak akan biarkanmu dirundung duka...

Ibu...
Aku pergi sekarang, jangan menangis yah! Salamku untuk Ayah dan Kakak-Kakakku. Tidak ada yang salah darimu, terimakasih atas cintamu aku hanya bagian dari ujian Tuhan atas keikhlasanmu...

Aamiin... 27 September 2013
Hanya ini yang dapat ku berikan; puisi tanpa majas sempurna untuk hiasi cakrawala dengan bait sederhana

Cinta, orang bijak berucap tak selalu harus bersama
Tapi yang tidak bersama itu adalah kesakitan, ketir di relung dada karna mana bisa aku hidup seorang diri
Memohon pada Tuhan untuk bingkiskan seorang yang terjaga sisi-sisi batinnya disaat jarak menjadi kekuatan berbungkus seluruh rasa
terutama rindu,
Menjadi lembar-lembar luar biasa dalam masa penantian karna jika telah bertemu rona merah dijadikan warna paling sempurna meninggalkan mimpi setiap malam dalam sunyi
menaburkan cahaya esok hari dengan langkah extra genggam dunia raih singgasana surgawi

Selamat Tinggal
, 29 September 2013
Pagi bertemu pagi Ia bernyanyi, senandungkan sapaan termesra untuk dunia
Kalahkan matahari yang terlambat bersinar, Ia menumpahkan memoar berbinar dari sudut-sudut mata sementara bermacam kenangan tumpah ruah tertatap orang
Begitu transparan sampai nada-nada mengibaan tertuju
"aku tak akan memaksakan senyum yang tak pantas aku dapatkan"
adalah cinta yang juga menjadikan diri lenyap dari kesadaran, ketulusan membuatnya berperang dengan akal sehat
pun cinta yang menyiapkan rasa ketir diujung dada karena esok atau kapan akhirnya berlalu dengan ejaan; selamat tinggal

Hujan, 29 September 2013
Senja yang lirih hitung tapakan hujan diatas tanah
Qasidah rindu ini terbenamkan awan-awan bewarna emas, dia matahari tetaplah baik hati sembunyikan sendu dipelataran sudut hati
Namun yang satu dan pasti, puisi ini tembus sukma mencari arti seribu bayang bahagia hayati gemuruh nadi dilereng takdir dan waktu
Lantas hujan mungkin berdzikir menabuh dinding-dinding dada yang menganga sekerat genggaman tulus meski tergagap sendiri namun hari yang manis tak akan di buat menangis
walau hujan terkadang pewakil aduan untuk cinta sejati yang teridhoiNya
bukankah waktu mustajab untuk do'a disaat hujan turun
Biarlah sunyi jika selamat dunia-akhirat sebagai pengganti,
InsyaAllah

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS