Pages

Mahkota Sawitri

Senin, 04 November 2013

Ia pandangi wajahnya yang memantul disebalik kaca berpigurakan kerang laut warna hijau. Bulu matanya yang lentik membayangi kelopak mata, lantas ia tarik ujung-ujung bibirnya untuk tersenyum dengan kedua ibu jari tangannya. Senyuman yang kaku nampak ditengah cermin itu. Ia membuka mulutnya kemudian merapatkan gigi-gigi putihnya hingga beradu satu sama lain. Teringat senyum salah satu iklan pasta gigi yang dulu sering ia lihat dilayar televisi, sekarang waktunya untuk mempraktekan. Senyuman yang dibuat-buat ketara sekali tanpa expresi bahagia. Senyum 5 jari gagal. Merasa bosan, bibir atas dan bawahnya ia rapatkan kemudian membentuk huruf O, kemudian menarik nafas dalam sampai membusung dadanya setelah itu menghembuskannya ke depan cermin.

Ia, Sawitri. Titik-titik air matanya kemudian berlinang, dengan tangan yang mengepal Witri hapus uap-uap hembusan nafas yang memburamkan pandangannya dicermin itu. Air matanya semakin deras dan tangannya melaju cepat menggosok-gosok cermin walau kini telah kembali bersih. Entah ada yang salah atau apa dari pandangannya, Witri merasa bahwa cermin itu tetaplah kotor meski tidak ada uap apalagi debu yang mengotorinya. Lantas apa yang ada dipenglihatan serta pikirannya?.

“Jangan patahkan semangat anakmu Mas, Witri normal. Dia anak pintar disekolahnya, dia cekatan, mau belajar keras, rajin membantu aku kalau dirumah. Witri normal, Witri anak baik”

“Ibu, anak kita semua laki-laki. Aku ingin anak perempuan darimu, supaya Mahkota Diajeung Ayu tetap berjaya digaris keturunan kita. Paras yang cantik dan menawan jadi harga mati untuk pewaris Mahkota itu. Sekarang, apa yang mau dibanggakan dari anak semacam Witri? Jangankan berlenggak-lenggok didepan orang-orang, dia berjalanpun terpincang-pincang. Malu aku Bu....”

“Mas Brama jaga ucapanmu!. Dari awal aku tidak setuju dengan pewaris Mahkota Diajeung Ayu yang kamu dan keluargamu bangga-banggakan itu. Agama kita melarangnya Mas, Islam memuliakan perempuan dengan menutup auratnya sementara ini kau mau jual harga diri anak perempuan kita. Aku tidak menyesali Witri lahir berbeda dari anak gadis pada umumnya, harkat dan martabatnya terjaga”

“Lantang kamu bicara seperti itu pada suamimu, Rasmawati! Kalau begitu, kamu urus sendiri anak perempuan cacatmu itu. Tak sudi aku menganggapnya anak!”.

****

Bedug subuh sahut menyahut berkumandang, tidak seperti biasanya pagi ini tubuh Witri masih terbaring ditempat tidur. Ia pandangi langit-langit kamar dan lampu tua bewarna oranye, bohlam namanya. Pandangannya lurus dan kosong, dari pertama membuka mata 1 jam yang lalu ingin ia bangun dari tidur malam yang tidak nyenyak ini, ia ingin berdiri kemudian mengambil air wudu seperti biasa lantas mendirikan shalat malam sampai menjelang subuh. Kali ini tubuhnya kaku, sulit untuk digerakkan mungkin kehabisan tenaga akibat tangisnya semalaman yang tak surut terkenang ucapan ayahnya yang begitu menyayat jiwanya.

Plak..plak...plak....

Suara orang berjalan semakin terdengar kemudian berhenti tepat didepan pintu kamar. Pintu terbuka dan nampaklah seorang wanita berusia 45 tahun berjalan menghampiri Witri. Perempuan ini, seorang Ibu yang Witri panggil Ibunda.

Wajah Bunda tercekat melihat anak perempuan satu-satunya ini tak bisa menggerakkan badannya. Ia tempelkan punggung tangannya dikening sang putri, suhu tubuh anak itu meningkat. Witri terkena demam.

“Sebentar Nak, Bunda bawakan obat untuk Witri....” Ketika Bunda hendak beranjak dari tempat tidur, tangan Witri mencengkram lemah. Bunda memutarkan kepalanya kebelakang, ia lihat kepala anaknya yang bergerak ke kanan dan ke kiri.

“Gak perlu Bun....” Ucap Witri kemudian dengan nada lemah. Dadanya kini naik turun.

“Witri, ingin bertanya....” Lanjut Witri dengan nafas terpenggal-penggal.

“Silahkan.. Witri mau nanya apa sama Bunda?” Bunda mendekatkan wajahnya, tarikan nafas Witri terasa dikulit-kulit pipinya.

“Witri cantik tidak?”

Pisau berkarat serasa menyayat dada Bunda. Sayatan yang pelan namun menyakitkan. Bukan darah segar yang kemudian menyembur namun darah-darah perih yang bernanah. Bunda tahan air matanya, ia tidak boleh menangis dihadapan Witri. Sudah cukup perih hidupnya selama ini akibat terlahir dengan tubuh yang cacat. Witri tidak memiliki kulit yang putih mulus, giginya saling bertumpukkan hingga sering kali mengulum senyum, tingginya tidak semampai khas gadis seperti umumnya. Witri kecil sering diolok-olok teman sebayanya dan sekarang Witri besar dibuang ayahnya akibat tak layak mengikuti Mahkota Diajeung Ayu yang dibangga-banggakan kerajaan ayahnya.

Sedangkan untuk Bunda, ini merupakan anugerah yang diberikan Tuhan padanya. Dengan kondisi fisik seperti ini, Witri tidak berani mengenakan pakaian adat yang mengumbar tubuhnya. Bunda selalu memilihkan pakaian gamis panjang untuk Witri membingkai wajahnya dengan kerudung. Dengan begitupun Ayah tak banyak komentar bahkan menyetujui langkah yang diambil Bunda, namun kali ini hasrat Ayah tak bisa dibendung. Ia ingin putri satu-satunya mengikuti Mahkota Diajeung Ayu agar martabat kerjaannya semakin kuat. Dengan syarat mutlaknya; cantik fisik.

“Witri kenapa bertanya seperti ini?” Ujar Bunda balik bertanya. Witri tidak menjawab ia malah menangis tersedu-sedu dipangkuan Bundanya.

“Dengar Nak! Asalkan Witri ikhlas, InsyaAllah Witri selamat dari azab Allah yang pedih. Allah melarang perempuan menampakkan auratnya apalagi berlomba-lomba memperlihatkan tubuh kepada orang lain selain orang-orang yang berada digaris mahram. Mahkota Diajeung Ayu itu, tidak berarti apa-apa daripada balasan Allah kepada hambaNya yang taat atas perintahNya. Witri Cantik, Allah menciptakan manusia dengan sempurna. Witri hanya perlu mensyukuri dan berprasangka baik selalu pada Allah. Lillah, karena Allah. Mulai sekarang, jadikan jilbab Witri ini sebagai bentuk ketaantan Witri pada Allah, ikhlas karenaNya bukan sebagai penutup kekurangan atau karena menuruti keinginan Bunda....”

“Witri doakan saja Ayah, agar Allah memberi ampunan pada Ayah dan memberikan hidayah...”

Bunda menghapus air mata Witri, kemudian ia menciumi kening putrinya itu.

Belaian angin pagi kini menyapa, ayam mulai berkokokan sementara bulan dilangit sana hendak bewarna putih.

“Silahkan pergi bulan.. asalkan putriku mengerti atas kewajibannya, hatiku telah damai. Biarkan orang-orang termasuk suamiku sendiri memandang sebelah mata, namun dimata Engkau dia tidak seperti itu”

-SELESAI-

Garut-Sanding, 
26 Oktober 2013

Tidak ada komentar:

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS