Gulungan awan-awan di langit
tersibakan tempatnya oleh matahari yang meranggas seolah membuka ruang lebar
bagi cahaya untuk masuk tepat ke permukaan bumi. Terik dan panas menyalakan
kulit-kulit manusia di bawahnya yang terbakar siang bolong. Seorang lelaki
menghapus keringat di pelipis kirinya oleh punggung tangan yang bewarna coklat
tua tanda sengatan matahari yang setiap hari menerpa seluruh tubuhnya. Lelaki
yang berjongkok dan melakukan gerakan melangkah ke belakang dengan kedua
tangannya yang cekatan menanami binih padi. Penutup kepala yang terbuat dari
anyaman bambu kering ia gunakan sebagai penghalau panas dan teman setia
pekerjaannya sekaligus yang membuat ia dikenal oleh orang-orang sebagai Pak
Marwan petani sawah.
Berpuluh tahun Marwan geluti
pekerjaan ladang nafkah dirinya dan keluarga dari sebelum menikah sampai
dikarunia tiga orang anak, sepetak sawah peninggalan orangtua Marwan yang di
urusinya dengan telaten. Di saat orang-orang ramai menjual sawah mereka kepada
perusahaan properti untuk dijadikan perumahan, Marwan adalah satu-satunya
petani yang bersikukuh tak mau sawahnya dijual-belikan, ia berkelah kasih
sayang orangtua memang sepanjang masa, disaat telah tiada dan sosoknya menjadi
kenangan pun, kasih sayang terus terasa oleh peninggalan terakhirnya yang harus
dijaga.
“Pak, Ibu mengerti sepetak sawah
kita peninggalan Emak dan Abah, selama ini menjadi pemenuh kebutuhan hidup
kita, tapi satu tahun terakhir ini penghasilan dari sawah tidak cukup. Ibu
tidak keberatan membantu Bapak bekerja, pagi berjualan gorengan siang hari
pergi ke rumah-rumah tetangga membawa baju-baju kotor untuk di cuci. Tapi
Pak... dengan Ibu bekerjapun ternyata masih tetap tidak mencukupi”
Percakapan dengan Halimah istrinya
kemarin malam terkenang di benak Marwan, obrolan serius yang membuat malamnya
susah tidur.
“Terus Ibu maunya apa?”
“Kalau Bapak tidak keberatan Ibu
ingin bekerja saja seperti Ceu Elis ke luar negeri”
“Maksud Ibu jadi TKW?”
“Kalau Bapak ijinkan demi kebaikan
keluarga Ibu tak mengapa harus kerja di negeri orang lagipula anak-anak kita
sudah besar, Irma kelas 2 SMA, Rani SMP dan si bungsu Aziz jika ditinggalkan
usianya sudah bukan lagi balita yang menangis jika susunya habis”
Marwan berdiri dari jongkoknya
sepetak sawah telah semuanya tertanami binih ia lantas memilih duduk di saung
biliknya, di atas tikar butut Marwan seloyorkan kedua kakinya yang kotor
sempurna oleh tanah. Di tariknya nafas dalam, ada sebersit rasa perih menyergap
isi hatinya. Halimah perempuan yang dinikahinya 20 puluh tahun lalu, sederhana
dan tak pernah membangkang. Istri penurut dan mau menerima keadaan suami apa
adanya, seingat Marwan istrinya itu meski hidup seperti ini tak pernah mengeluh
apalagi marah-marah pada dirinya. Hari ini anak-anak makan pun sudah sangat
bersyukur Halimah pada Tuhan atas keberkahan rezeki yang diberikan pada
keluarganya.
“Bu, apa Bapak selama ini tidak
pernah membahagiakan Ibu?”
“Kok Bapak nanya gitu? Karna Ibu
ingin jadi TKW?”
“Bapak mohon maaf Bu...”
“Pak, sekarang bukan waktunya lagi
Bapak memikirkan kebahagiaan Ibu. Irma, Rani dan Aziz melebihi segalanya untuk
Ibu, jika mereka dapat sekolah dengan baik tanpa ada permasalahan keuangan di
sekolahnya itu kebahagiaan untuk Ibu”
Marwan memikirkan bagaimana hidupnya
jika ditinggal istri sebaik Halimah mungkin bukan anak-anaknya saja yang sehari
dua hari atau bahkan berbulan-bulan menangisi kepergian ibunya, tapi begitupun
dengan dirinya atau mungkin Marwan bisa meratap selamanya jika Halimah tidak ia
lihat ditiap sudut rumahnya.
Marwan merogoh ke dalam saung, ia
ambil gelas plastik warna kuning lalu tuangkan air teh ke dalamnya.
“Kalau begitu biar Bapak saja yang
jadi TKW....”
Tangan Halimah berada di udara dan
cepat jari-jarinya saling bergoyang ke kanan ke kiri.
“Tidak...tidak Pak.... kalau Bapak
jadi TKW, nanti sawah bagaimana?”
Alangkah perhatian Ibu pada dirinya jika
cinta Ibu bukan hanya untuknya tapi pada almarhum Bapak dan Emak.
“Ya sudah kita jual saja sepetak
sawah kita.....”
Hening, mata Halimah terpejam
sementara pundak Marwan kini terasa berat. Sudah tersungkur kepala istrinya di
pundak Marwan dengan suara yang berisak air mata. Pun dengan Marwan, apa yang
diucapkan bibirnya? Sungguh tak pernah terbayang. Pengorbanan Halimah harus
terbayar, tak mengapa cinta kalahkan logika karena kebahagiaan harus terus
diperjuangkan. Sampai kapan ego kuasai nurani? Itulah hebatnya cinta mampu
luluhkan benteng egoisme, maka benar kiranya sebuah pepatah; jika egoisme
melebihi cinta, itu namanya bukan cinta.
“Bu, jika sawah sudah terjual.. kita
hijrah ke kota dan buat usaha yang baru disana.. berkah Allah ada pada hambaNya
yang mau berusaha”
****
Di pematang sawah seorang perempuan berjalan dibuntuti
anak lelaki berusia 4 tahun yang berjinjit amat hati-hati jalannya. Mendekati
saung tangan anak lelaki bernama Aziz itu melambai dengan senyum yang
menampakkan deretan gigi putihnya, ia berlari dan duduk di pangkuan ayahnya
yang selesai melamunkan kejadian semalam antaranya dirinya dengan Ibu dari anak-anaknya.
“Cape, Pak?” Halimah bertanya lembut lalu duduk disamping
Marwan.
“Biasa saja Bu...”
“Sekarang terakhir Bapak tanami
binih sawah kita ya?” Sorot mata Halimah memandang tajam mata Marwan kemudian
menatap lurus sawah di depannya dengan pandangan sendu.
“Selalu harus ada yang dikorbankan
untuk menjemput kebahagiaan, agar kita panjatkan semakin banyak do’a tanda
lemah di hadapan Yang Maha Kuasa”
Jemari Marwan menarik tangan Halimah
untuk kemudian di genggamnya erat.
-SELESAI-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar