Pages

Sepetak Sawah

Sabtu, 01 Februari 2014



           

           
            Gulungan awan-awan di langit tersibakan tempatnya oleh matahari yang meranggas seolah membuka ruang lebar bagi cahaya untuk masuk tepat ke permukaan bumi. Terik dan panas menyalakan kulit-kulit manusia di bawahnya yang terbakar siang bolong. Seorang lelaki menghapus keringat di pelipis kirinya oleh punggung tangan yang bewarna coklat tua tanda sengatan matahari yang setiap hari menerpa seluruh tubuhnya. Lelaki yang berjongkok dan melakukan gerakan melangkah ke belakang dengan kedua tangannya yang cekatan menanami binih padi. Penutup kepala yang terbuat dari anyaman bambu kering ia gunakan sebagai penghalau panas dan teman setia pekerjaannya sekaligus yang membuat ia dikenal oleh orang-orang sebagai Pak Marwan petani sawah.
            Berpuluh tahun Marwan geluti pekerjaan ladang nafkah dirinya dan keluarga dari sebelum menikah sampai dikarunia tiga orang anak, sepetak sawah peninggalan orangtua Marwan yang di urusinya dengan telaten. Di saat orang-orang ramai menjual sawah mereka kepada perusahaan properti untuk dijadikan perumahan, Marwan adalah satu-satunya petani yang bersikukuh tak mau sawahnya dijual-belikan, ia berkelah kasih sayang orangtua memang sepanjang masa, disaat telah tiada dan sosoknya menjadi kenangan pun, kasih sayang terus terasa oleh peninggalan terakhirnya yang harus dijaga.
            “Pak, Ibu mengerti sepetak sawah kita peninggalan Emak dan Abah, selama ini menjadi pemenuh kebutuhan hidup kita, tapi satu tahun terakhir ini penghasilan dari sawah tidak cukup. Ibu tidak keberatan membantu Bapak bekerja, pagi berjualan gorengan siang hari pergi ke rumah-rumah tetangga membawa baju-baju kotor untuk di cuci. Tapi Pak... dengan Ibu bekerjapun ternyata masih tetap tidak mencukupi”
            Percakapan dengan Halimah istrinya kemarin malam terkenang di benak Marwan, obrolan serius yang membuat malamnya susah tidur.
            “Terus Ibu maunya apa?”
            “Kalau Bapak tidak keberatan Ibu ingin bekerja saja seperti Ceu Elis ke luar negeri”
            “Maksud Ibu jadi TKW?”
            “Kalau Bapak ijinkan demi kebaikan keluarga Ibu tak mengapa harus kerja di negeri orang lagipula anak-anak kita sudah besar, Irma kelas 2 SMA, Rani SMP dan si bungsu Aziz jika ditinggalkan usianya sudah bukan lagi balita yang menangis jika susunya habis”
            Marwan berdiri dari jongkoknya sepetak sawah telah semuanya tertanami binih ia lantas memilih duduk di saung biliknya, di atas tikar butut Marwan seloyorkan kedua kakinya yang kotor sempurna oleh tanah. Di tariknya nafas dalam, ada sebersit rasa perih menyergap isi hatinya. Halimah perempuan yang dinikahinya 20 puluh tahun lalu, sederhana dan tak pernah membangkang. Istri penurut dan mau menerima keadaan suami apa adanya, seingat Marwan istrinya itu meski hidup seperti ini tak pernah mengeluh apalagi marah-marah pada dirinya. Hari ini anak-anak makan pun sudah sangat bersyukur Halimah pada Tuhan atas keberkahan rezeki yang diberikan pada keluarganya.
            “Bu, apa Bapak selama ini tidak pernah membahagiakan Ibu?”
            “Kok Bapak nanya gitu? Karna Ibu ingin jadi TKW?”
            “Bapak mohon maaf Bu...”
            “Pak, sekarang bukan waktunya lagi Bapak memikirkan kebahagiaan Ibu. Irma, Rani dan Aziz melebihi segalanya untuk Ibu, jika mereka dapat sekolah dengan baik tanpa ada permasalahan keuangan di sekolahnya itu kebahagiaan untuk Ibu”
            Marwan memikirkan bagaimana hidupnya jika ditinggal istri sebaik Halimah mungkin bukan anak-anaknya saja yang sehari dua hari atau bahkan berbulan-bulan menangisi kepergian ibunya, tapi begitupun dengan dirinya atau mungkin Marwan bisa meratap selamanya jika Halimah tidak ia lihat ditiap sudut rumahnya.
            Marwan merogoh ke dalam saung, ia ambil gelas plastik warna kuning lalu tuangkan air teh ke dalamnya.
            “Kalau begitu biar Bapak saja yang jadi TKW....”
            Tangan Halimah berada di udara dan cepat jari-jarinya saling bergoyang ke kanan ke kiri.
            “Tidak...tidak Pak.... kalau Bapak jadi TKW, nanti sawah bagaimana?”
            Alangkah perhatian Ibu pada dirinya jika cinta Ibu bukan hanya untuknya tapi pada almarhum Bapak dan Emak.
            “Ya sudah kita jual saja sepetak sawah kita.....”
            Hening, mata Halimah terpejam sementara pundak Marwan kini terasa berat. Sudah tersungkur kepala istrinya di pundak Marwan dengan suara yang berisak air mata. Pun dengan Marwan, apa yang diucapkan bibirnya? Sungguh tak pernah terbayang. Pengorbanan Halimah harus terbayar, tak mengapa cinta kalahkan logika karena kebahagiaan harus terus diperjuangkan. Sampai kapan ego kuasai nurani? Itulah hebatnya cinta mampu luluhkan benteng egoisme, maka benar kiranya sebuah pepatah; jika egoisme melebihi cinta, itu namanya bukan cinta.
            “Bu, jika sawah sudah terjual.. kita hijrah ke kota dan buat usaha yang baru disana.. berkah Allah ada pada hambaNya yang mau berusaha” 

****

            Di pematang sawah seorang perempuan berjalan dibuntuti anak lelaki berusia 4 tahun yang berjinjit amat hati-hati jalannya. Mendekati saung tangan anak lelaki bernama Aziz itu melambai dengan senyum yang menampakkan deretan gigi putihnya, ia berlari dan duduk di pangkuan ayahnya yang selesai melamunkan kejadian semalam antaranya dirinya dengan Ibu dari anak-anaknya.
            “Cape, Pak?” Halimah bertanya lembut lalu duduk disamping Marwan.
            “Biasa saja Bu...”
            “Sekarang terakhir Bapak tanami binih sawah kita ya?” Sorot mata Halimah memandang tajam mata Marwan kemudian menatap lurus sawah di depannya dengan pandangan sendu.
            “Selalu harus ada yang dikorbankan untuk menjemput kebahagiaan, agar kita panjatkan semakin banyak do’a tanda lemah di hadapan Yang Maha Kuasa”
            Jemari Marwan menarik tangan Halimah untuk kemudian di genggamnya erat. 

-SELESAI-


           

Tidak ada komentar:

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS