Pages

Taman Kencana

Senin, 20 April 2015





KRL commuter line sesak bahkan dari pertama kakiku menginjak gerbong khusus perempuan di stasiun Depok, nasibnya aku tak dapatkan kursi hingga harus berdiri melewati empat stasiun sampai akhirnya tiba di stasiun Bogor. Depok – Bogor perjalanan ini tak akan aku lalui tanpa deringan pesan singkat yang masuk ke ponselku tadi pagi. “Izza, pukul 5 sore di taman kencana, aku harap kamu datang sebelum sempurna aku hilang dari hidupmu”. Mengingat pesan itu tiba-tiba saja lelehan keringat aku rasa basahi keningku, hembusan AC di KRL ini tak cukup dinginkan perasaanku. Mahar benar-benar membuatku kepayahan sejak tadi pagi di kantor, apa maksudnya ia katakan hilang dari hidupku.
            Rambutnya yang ikal jatuh lewati telinga, rahangnya yang kokoh tersamarkan oleh rambut-rambut kecil disekitar pipinya. Aku bergidik saat pertama kali melihat lelaki yang berdiri di sekitar trotoar Taman Kencana. Waktu itu menunjukan pukul 22.30 malam, aku yang tak terbiasa berpergian larut malam tak bisa sembunyikan perasaan cemas. Aku menyesal kenapa harus memaksakan pergi semalam ini apakah besok tak bisa? Tapi rasa khawatir ingin bertemu Nenek yang sedang sakit di salah satu rumah sakit di daerah Pajajaran mengalahkan semuanya.
            “Izzati maaf kamu ke rumahsakit sendiri, pakai angkot 03 kemudian turun di Taman Kencana setelah itu kamu naik angkot 08” kata seorang lelaki dengan nada cemas di ujung telpon saat aku merajuk minta dijemput. Tiba di Taman Kencana, hilir mudik kendaraan sudah tak seramai di siang hari, aku menunggu datangnya angkot 08 yang bagiku terasa lama sekali. Lelaki berambut ikal itu berdiri tak jauh dari tempat aku berdiri, aku perhatikan ia dengan ujung mataku. Dia yang juga kenakan kemeja kotak-kotak merah lengkap dengan jeans hitam memasukan tangan ke saku celananya, sesekali bersiul ringan sampai akhirnya mata aku dan dia saling bertatap.
            “HEP!” aku menggigit bibir bawahku sementara ia tersenyum simpul.
            “Nunggu angkot, Mbak?” tanyanya ramah.
            Aku kikuk menjawab hingga hanya menganggukan kepala saja.
            Pukul 23.00, setengah jam sudah aku berdiri menunggu angkot yang tidak juga datang. Kini aku sempurna cemas.
            “Mbak, memang mau pergi ke mana?” Tanya lelaki itu.
            “Rumah sakit di jalan Pajajaran….” Jawabku lemah.
            “Kalau angkot tidak juga datang, mau saya antar? Perkenalkan nama saya Mahar, saya khawatir saja melihat Mbak sendirian di sini apalagi sudah larut malam” mendengar ucapannya entah kenapa tenggorokanku seperti tersedak biji berduri, aku menangis terguguk sambil berjongkok memeluk lutut, aku merasa menjadi orang paling menyedihkan di dunia.
            “Loh, loh… Mbak… Mbak… kenapa menangis???” Tanya dia yang namanya Mahar dengan nada kebingungan.
****
             Mahar ternyata lelaki yang baik, usianya 27 tahun lebih tua dariku 3 tahun. Dia alumnus IPB kini bekerja di Departemen Agronomi dan Hortikultura Bogor, setiap akhir pekan sambil menjenguk Nenek yang masih di rawat kami kerap bertemu. Aku selalu memintanya menjemput di Taman Kencana meski Mahar sering kali memaksaku untuk dijemput di statisun atau langsung di tempat kerjaku. Ah tidak, tidak… bagi aku Taman Kencana menjadi sebuah sejarah yang manis sepanjang perkenalanku dengan Mahar.
             Dan kini tiba akhir pekan yang membuat keningku berkerut dan perasaan tak menentu. Apa maksud pesan itu….
            Tiba di Stasiun Bogor, angkotan kota 03 lama sekali untuk melaju, Abang Supir bilang tunggu dulu sampai angkot penuh.
            Hhmpp…
            Ingatanku melanglang, enam bulan aku berteman dengan Mahar memang kami tak pernah ikrarkan perasaan maupun ikatan apa yang terjadi. Aku tak pernah bertanya juga Mahar yang tak pernah mengatakan apa-apa, aku menikmati kebersamaan kami, pekatnya isi kepala oleh tuntutan pekerjaan juga sedikit kejenuhan hubungan seketika menghilang oleh obrolan antara aku dan Mahar yang mengalir, aku dan dirinya senang menikmati sup durian yang disajikan dingin terlebih Bogor dijuluki kota hujan, obrolan kami, tawa kami diantara gemericik hujan menembus dalam ingatan dan sekat-sekat hatiku. Mahar sosok yang menyenangkan selain teramat baik, dia pun miliki wawasan yang luas, apapun bisa jadi topik yang hangat untuk diperbincangkan. Dia juga sering mengungkit kejadian malam itu saat pertama kali kami bertemu, menggodaku dengan betapa anehnya sikapku yang tiba-tiba menangis sambil jongkok memeluk lutut.
            “Tuh kan… kamu malu sendiri, ih pipinya jadi merah mirip kepiting rebus!” goda Mahar yang mengundang tinju dari kepalan tanganku,
            “Aw sakit! Oke deh hari ini saya enggak mau traktir, Izza bayar sendiri ya sup duriannya” tambahnya membuatku lagi-lagi melayangkan tinjuan ke bahunya.
            “Taman kencana…..” ujar Abang Supir memencahkan gelembung-gelembung ingatanku.
            Setelah menghirup napas panjang aku turun dari angkot lalu edarkan pandangan ke sudut-sudut taman, biasanya Mahar selalu berdiri tepat di pinggir trotoar menunggu angkotku berhenti. Sekarang, dia tak ada. Deru hatiku kian tak menentu.
            BIP! Satu pesan masuk ke dalam aplikasi BBMku,
            “Tunggu di bangku taman ya, Izza sebentar lagi saya sampai”
****
            Mahar tersenyum ia memberiku cappuccino hangat yang masih mengepul uapnya, lelaki ini datang tiba-tiba dari arah belakang hingga aku tak menyadari derap langkahnya.
            “Kamu pasti suka…” ujar Mahar lalu duduk di sampingku.
            “Aku lebih suka kopi hitam saja”
            “Hhm aku tahu… biar hitam tapi rasanya pastikan? Tidak melebur. Biar kamu tidak suka, kamu harus tetap minum Za, udara dingin tadi dari Depok aku tahu pasti terburu-buru artinya kamu lelah, sekarang rileks sejenak...”
            Huuuuffffh…. Udara Bogor yang dingin terasa semakin dingin, ada untungnya ternyata cup cappuccino yang aku pegang ini sedikit menghangatkan tanganku.
            “Selama kita bertemu tak pernah kamu tanyakan perasaanku, Za.. sampai aku tak tahu sedikit pun tentang kehidupan pribadimu, selain Nenekmu yang waktu itu dirawat di rumah sakit…”
            Aku menunduk melihat rerumputan yang diinjak kakiku, semut hitam berukuran besar bergerombol keluar dari bawah tanah.
            “Terkadang cinta mengalir tanpa kata-kata, kamu tahu Za? Saat pertama kali saya jatuh cinta dulu saat saya masih SMP, cinta monyet memang, namun kesannya begitu luar biasa saat rasa suka itu semakin besar saya rasakan, sulit tidur, keringat dingin sampai jari-jari tanganbergetar setiap kali saya bertemu dengannya. Di sana saya tahu bahwa jatuh cinta berjuta rasanya. Namun saya tak bisa, Za… lagi-lagi tak bisa bicara karena bagi saya cinta tak selamanya dengan kata-kata. Cinta monyet di SMP itu sekarang telah bahagia dengan hidupnya tanpa pernah saya ungkit tentang perasaan, dulu pertemanan kami mengalir, saya membunuh setiap inci debar dada itu hadir, saya tak membiarkan ruang hati dibuat semakin tersiksa, perasaan saya melebur dimakan waktu, dan ternyata memang seperti itu Za, setelah saya dan cinta monyet lulus SMP kami tak pernah lagi bertemu, maka hilang sudah perasaan saya padanya….”
            Aku dengarkan tiap kalimat yang Mahar sampaikan, ini pertama kalinya Mahar membicarakan cinta mengungkit masa lalunya.
            Masa lalu…
            Masa lalu…
            Aku tak miliki masa lalu seperti halnya Mahar,
            Tapi aku miliki masa depan yang telah terangkai indah, sekali lagi aku katakan, aku menikmati kebersamaan ini.
            “Izza, mengatakan cinta buat saya berarti menanggung tanggung jawab, di usia saya yang telah cukup, maukah Izzati menyatukan cinta dengan cinta yang saya miliki?”.
            Oh Taman Kencana,
            Andai malam itu aku tak memaksakan diri menjenguk Nenek tunanganku pastilah aku dan Mahar tak pernah bertemu sampai hari-hari berikutnya yang membuat aku khianati tunanganku. Rasa bersalah yang selama ini aku tutupi oleh bingkai pertemanan, kini tak bisa aku dustakan lagi
            “Izza, ini yang saya katakan sebelum sempurna saya hilang dari hidupmu. Sama halnya dengan cinta monyet saya dulu, cinta ini jika tak bisa menyatu.. maka saya akan menghilang sempurna, saya akan kembali membunuh setiap inci perasaan saya”.
            Aku menggigit bibir bawahku, aku tak bisa mengatakan apa-apa.
            Oh Taman Kencana, luluh sudah pertahanan hatiku, bulir pertama air mata turun sementara aku rasakan genggaman tangan erat menggenggam tanganku. Kemudian perlahan lepas dan aku lihat bayangan Mahar berdiri dari sampingku mulai berjalan tinggalkan Taman Kencana.
            “Mahar, kamu benar… cinta tak selamanya harus diucapkan, kata-kata tidak sempurna mewakili cinta, tapi pada akhirnya kata-kata yang menjadi penyatu cinta…” teriakku lemah, Mahar sempat berhenti mendengarkan setelah itu ia kembali berjalan kian menjauh.

Bogor, 12 Maret 2015

-SELESAI-

ket:
cerpen pertama yang dimuat di media Bogor, 
Radar Bogor, 1 April 2015 
:D

Tidak ada komentar:

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS