KRL
commuter line sesak bahkan dari pertama kakiku menginjak gerbong khusus
perempuan di stasiun Depok, nasibnya aku tak dapatkan kursi hingga harus
berdiri melewati empat stasiun sampai akhirnya tiba di stasiun Bogor. Depok – Bogor perjalanan ini tak
akan aku lalui tanpa deringan pesan singkat yang masuk ke ponselku tadi pagi.
“Izza, pukul 5 sore di taman kencana, aku harap kamu datang sebelum sempurna
aku hilang dari hidupmu”. Mengingat pesan itu tiba-tiba saja lelehan keringat
aku rasa basahi keningku, hembusan AC di KRL ini tak cukup dinginkan perasaanku.
Mahar benar-benar membuatku kepayahan sejak tadi pagi di kantor, apa maksudnya
ia katakan hilang dari hidupku.
Rambutnya yang ikal jatuh lewati
telinga, rahangnya yang kokoh tersamarkan oleh rambut-rambut kecil disekitar
pipinya. Aku bergidik saat pertama kali melihat lelaki yang berdiri di sekitar
trotoar Taman Kencana. Waktu itu menunjukan pukul 22.30 malam, aku yang tak
terbiasa berpergian larut malam tak bisa sembunyikan perasaan cemas. Aku
menyesal kenapa harus memaksakan pergi semalam ini apakah besok tak bisa? Tapi
rasa khawatir ingin bertemu Nenek yang sedang sakit di salah satu rumah sakit
di daerah Pajajaran mengalahkan semuanya.
“Izzati maaf kamu ke rumahsakit
sendiri, pakai angkot 03 kemudian turun di Taman Kencana setelah itu kamu naik
angkot 08” kata seorang lelaki dengan nada cemas di ujung telpon saat aku
merajuk minta dijemput. Tiba di Taman Kencana, hilir mudik kendaraan sudah tak
seramai di siang hari, aku menunggu datangnya angkot 08 yang bagiku terasa lama
sekali. Lelaki berambut ikal itu berdiri tak jauh dari tempat aku berdiri, aku
perhatikan ia dengan ujung mataku. Dia yang juga kenakan kemeja kotak-kotak
merah lengkap dengan jeans hitam memasukan tangan ke saku celananya, sesekali
bersiul ringan sampai akhirnya mata aku dan dia saling bertatap.
“HEP!” aku menggigit bibir bawahku sementara
ia tersenyum simpul.
“Nunggu angkot, Mbak?” tanyanya
ramah.
Aku kikuk menjawab hingga hanya
menganggukan kepala saja.
Pukul 23.00, setengah jam sudah aku
berdiri menunggu angkot yang tidak juga datang. Kini aku sempurna cemas.
“Mbak, memang mau pergi ke mana?”
Tanya lelaki itu.
“Rumah sakit di jalan Pajajaran….”
Jawabku lemah.
“Kalau angkot tidak juga datang, mau
saya antar? Perkenalkan nama saya Mahar, saya khawatir saja melihat Mbak
sendirian di sini apalagi sudah larut malam” mendengar ucapannya entah kenapa
tenggorokanku seperti tersedak biji berduri, aku menangis terguguk sambil
berjongkok memeluk lutut, aku merasa menjadi orang paling menyedihkan di dunia.
“Loh, loh… Mbak… Mbak… kenapa
menangis???” Tanya dia yang namanya Mahar dengan nada kebingungan.
****
Mahar ternyata lelaki yang baik, usianya 27
tahun lebih tua dariku 3 tahun. Dia alumnus IPB kini bekerja di Departemen
Agronomi dan Hortikultura Bogor, setiap akhir pekan sambil menjenguk Nenek yang
masih di rawat kami kerap bertemu. Aku selalu memintanya menjemput di Taman
Kencana meski Mahar sering kali memaksaku untuk dijemput di statisun atau langsung
di tempat kerjaku. Ah tidak, tidak… bagi aku Taman Kencana menjadi sebuah
sejarah yang manis sepanjang perkenalanku dengan Mahar.
Dan kini tiba akhir pekan yang membuat
keningku berkerut dan perasaan tak menentu. Apa maksud pesan itu….
Tiba di Stasiun Bogor,
angkotan kota
03 lama sekali untuk melaju, Abang Supir bilang tunggu dulu sampai angkot
penuh.
Hhmpp…
Ingatanku melanglang, enam bulan aku
berteman dengan Mahar memang kami tak pernah ikrarkan perasaan maupun ikatan
apa yang terjadi. Aku tak pernah bertanya juga Mahar yang tak pernah mengatakan
apa-apa, aku menikmati kebersamaan kami, pekatnya isi kepala oleh tuntutan
pekerjaan juga sedikit kejenuhan hubungan seketika menghilang oleh obrolan
antara aku dan Mahar yang mengalir, aku dan dirinya senang menikmati sup durian
yang disajikan dingin terlebih Bogor dijuluki kota hujan, obrolan kami, tawa
kami diantara gemericik hujan menembus dalam ingatan dan sekat-sekat hatiku.
Mahar sosok yang menyenangkan selain teramat baik, dia pun miliki wawasan yang
luas, apapun bisa jadi topik yang hangat untuk diperbincangkan. Dia juga sering
mengungkit kejadian malam itu saat pertama kali kami bertemu, menggodaku dengan
betapa anehnya sikapku yang tiba-tiba menangis sambil jongkok memeluk lutut.
“Tuh kan… kamu malu sendiri, ih pipinya jadi
merah mirip kepiting rebus!” goda Mahar yang mengundang tinju dari kepalan
tanganku,
“Aw sakit! Oke deh hari ini saya
enggak mau traktir, Izza bayar sendiri ya sup duriannya” tambahnya membuatku
lagi-lagi melayangkan tinjuan ke bahunya.
“Taman
kencana…..” ujar Abang Supir memencahkan gelembung-gelembung ingatanku.
Setelah menghirup napas panjang aku
turun dari angkot lalu edarkan pandangan ke sudut-sudut taman, biasanya Mahar
selalu berdiri tepat di pinggir trotoar menunggu angkotku berhenti. Sekarang,
dia tak ada. Deru hatiku kian tak menentu.
BIP! Satu pesan masuk ke dalam
aplikasi BBMku,
“Tunggu
di bangku taman ya, Izza sebentar lagi saya sampai”
****
Mahar tersenyum ia memberiku
cappuccino hangat yang masih mengepul uapnya, lelaki ini datang tiba-tiba dari
arah belakang hingga aku tak menyadari derap langkahnya.
“Kamu pasti suka…” ujar Mahar lalu
duduk di sampingku.
“Aku lebih suka kopi hitam saja”
“Hhm aku tahu… biar hitam tapi
rasanya pastikan? Tidak melebur. Biar kamu tidak suka, kamu harus tetap minum
Za, udara dingin tadi dari Depok aku tahu pasti terburu-buru artinya kamu
lelah, sekarang rileks sejenak...”
Huuuuffffh…. Udara Bogor yang dingin
terasa semakin dingin, ada untungnya ternyata cup cappuccino yang aku pegang ini
sedikit menghangatkan tanganku.
“Selama kita bertemu tak pernah kamu
tanyakan perasaanku, Za.. sampai aku tak tahu sedikit pun tentang kehidupan
pribadimu, selain Nenekmu yang waktu itu dirawat di rumah sakit…”
Aku menunduk melihat rerumputan yang
diinjak kakiku, semut hitam berukuran besar bergerombol keluar dari bawah
tanah.
“Terkadang cinta mengalir tanpa
kata-kata, kamu tahu Za? Saat pertama kali saya jatuh cinta dulu saat saya
masih SMP, cinta monyet memang, namun kesannya begitu luar biasa saat rasa suka
itu semakin besar saya rasakan, sulit tidur, keringat dingin sampai jari-jari
tanganbergetar setiap kali saya bertemu dengannya. Di sana saya tahu bahwa jatuh cinta berjuta
rasanya. Namun saya tak bisa, Za… lagi-lagi tak bisa bicara karena bagi saya
cinta tak selamanya dengan kata-kata. Cinta monyet di SMP itu sekarang telah
bahagia dengan hidupnya tanpa pernah saya ungkit tentang perasaan, dulu
pertemanan kami mengalir, saya membunuh setiap inci debar dada itu hadir, saya tak
membiarkan ruang hati dibuat semakin tersiksa, perasaan saya melebur dimakan
waktu, dan ternyata memang seperti itu Za, setelah saya dan cinta monyet lulus
SMP kami tak pernah lagi bertemu, maka hilang sudah perasaan saya padanya….”
Aku dengarkan tiap kalimat yang
Mahar sampaikan, ini pertama kalinya Mahar membicarakan cinta mengungkit masa
lalunya.
Masa lalu…
Masa lalu…
Aku tak miliki masa lalu seperti
halnya Mahar,
Tapi aku miliki masa depan yang
telah terangkai indah, sekali lagi aku katakan, aku menikmati kebersamaan ini.
“Izza, mengatakan cinta buat saya
berarti menanggung tanggung jawab, di usia saya yang telah cukup, maukah Izzati
menyatukan cinta dengan cinta yang saya miliki?”.
Oh Taman
Kencana,
Andai malam itu aku tak memaksakan
diri menjenguk Nenek tunanganku pastilah aku dan Mahar tak pernah bertemu
sampai hari-hari berikutnya yang membuat aku khianati tunanganku. Rasa bersalah
yang selama ini aku tutupi oleh bingkai pertemanan, kini tak bisa aku dustakan
lagi
“Izza, ini yang saya katakan sebelum
sempurna saya hilang dari hidupmu. Sama halnya dengan cinta monyet saya dulu,
cinta ini jika tak bisa menyatu.. maka saya akan menghilang sempurna, saya akan
kembali membunuh setiap inci perasaan saya”.
Aku menggigit bibir bawahku, aku tak
bisa mengatakan apa-apa.
Oh Taman Kencana, luluh sudah
pertahanan hatiku, bulir pertama air mata turun sementara aku rasakan genggaman
tangan erat menggenggam tanganku. Kemudian perlahan lepas dan aku lihat
bayangan Mahar berdiri dari sampingku mulai berjalan tinggalkan Taman Kencana.
“Mahar, kamu benar… cinta tak
selamanya harus diucapkan, kata-kata tidak sempurna mewakili cinta, tapi pada
akhirnya kata-kata yang menjadi penyatu cinta…” teriakku lemah, Mahar sempat
berhenti mendengarkan setelah itu ia kembali berjalan kian menjauh.
Bogor,
12 Maret 2015
-SELESAI-
ket:
cerpen pertama yang dimuat di media Bogor,
Radar Bogor, 1 April 2015
:D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar