Pages

Gadis Berkerudung Merah

Jumat, 09 September 2011

pict of google


Dia gadis berkerudung merah
Hatiku tergoda tergugah
Tak Cuma parasnya yang indah
Dia baik, dia sholehah

“Kamu tahu Arinda dari Gea ya Han?”

“Haaaaaah… iya hehehe”

“Cantik ya, cuma sayang bakalan lebih cantik kalo pake jilbab”

“Iya Riffa setuju deh…”

“Eeeh udah ah jangan ngomongin Arinda lagi nanti ada yang cemburu! Hahaha”

“Yeeee! Siapa???”

“Hahahaha….” Tawa Riffa dan Hana bersamaan menyusuri jalan perkampungan yang sore itu di penuhi orang-orang yang tengah bercengkrama membentuk kelompok-kelompok dengan jumlah yang tak sama.

****

“Aku sampe sini nganterinnya, makasih banyak nanti main ke rumah lagi ya ” Ucap Hana berhenti disatu gang kecil

“Iya Han, sama-sama.. InsyaAllah” Jawab Riffa seraya mengangkat kedua tangannya kedada

“Hati-hati ya…” Balas Hana mengangkat kedua tangannya juga ke atas dada lalu Riffa membalikan badannya berjalan menjauh.

Sore yang berbeda dari hari-hari sebelumnya, Hana masih berdiri ditempatnya semula sebelum Riffa pergi, memandang punggung tegap sahabatnya yang  di balut kaos merah berkerah kontras dengan kulit putih milik pemuda itu. Cepat sekali langkahnya…. Ujar Hana dalam hati melihat Riffa yang telah melewati jembatan besi bewarna kuning penuh karat. 

Aroma Riffa masih membekas ketika Hana membuka pintu rumahnya, di bawanya gelas bening yang masih berisi air sisa minum Riffa yang hendak disimpannya kedapur. Masuk ke dalam ruang tengah rumahnya, Hana melihat handphone yang tergeletak lalu membuka daftar panggilan masuk, tiba-tiba dadanya tersentak menyadari suatu hal yang terlupakan segera dia berlari menuju kamar, membuka almari kayu.

“Halo Riffa dimana?”

“Masih dijalan Han”

“Tunggu sebentar aku susul kesana!”

Hana menutup pembicaraannya ditelfon, segera dia berlari kembali membuka pintu rumah menuju tempat Riffa berada. Untung Riffa belum naik angkutan umum dalam hatinya lega. Dengan terengah-engah, kerudung serta rok hitam yang dikenakannya sedikit dipermainkan angin. Sementara di depan sanapun Riffa tengah berjalan cepat, sinar matahari di waktu petang sedikit menyilaukan Hana untuk melihat Riffa yang ada di depannya, pantulannya mengenai kulit Riffa namun langkahnya yang khas terngiang-ngiang jelas di ingatan perempuan itu.

“Uuuuhph cape… Aku lupa… titip ini buat Adik Riffa….” Ujar Hana mengatur nafas setelah keduanya bertemu di pertengahan jalan

“Makasih banyak Han…” Tangan kokoh Riffa menerima bingkisan putih tersebut

“Sama-sama, kalo gak terpakai gak apa-apa disimpen aja…” Ucap Hana yang telah menguasai keadaan

“Aduuuuh enggak kok! Ya udah duluan ya Han, Assalamualaikum…” Seru Riffa mengucapkan salam dengan suaranya yang lembut

“Iya silahkan hati-hati, Waalaikumsalam Warrohmatullahi Wabbarokatu….” Hana membalas, membalikan badannya lalu keduanya kembali berjalan.

Di jalan raya sebuah sepedah motor dengan kecepatan tinggi meluncur cepat sementara didepannya terdapat seseorang yang mengawasi sekeliling hendak menyebrang tidak menyadari kedatangan sepedah motor yang tiba-tiba berada dihadapannya. Sang pengendara sepedah motor yang tidak lain adalah seorang perempuan muda seolah kehilangan kendali, dia ingin menghindari penyebrang yang beberapa senti lagi akan tertabrak oleh dirinya hingga dia menghentikan paksa sepedah motornya lalu menghempaskannya kepinggir trotoar dan suara benturan keras besi terdengar mengerikan. “AAAAAAAAstagfirullhaldzim…..” Jerit suara perempuan memecah keheningan jalan.

“HHH-AAA-NA……..” Teriak Riffa setelah mendengar jeritan lalu melihat apa yang terjadi di belakangnya

“Ayo Pak kita bawa kerumah sakit, dia teman saya!”

****

“Dia tidak apa-apa hanya shock saja, tidak ada luka luar maupun dalam yang serius. Memarnya beberapa hari lagi akan hilang.. kalian temannya???” Ujar seorang Dokter yang keluar dari kamar pasien

“Iya dia teman saya Dok, sudah saya hubungi keluarganya!” Jawab Riffa percaya diri, lalu Hana yang menyasikan kejadian cepat di depannya matanya dengan terheran-heran mengerutkan keningnya mendengar ucapan Riffa namun Riffa seolah mengerti tatapan mata Hana segera dia membawa Hana masuk ke dalam kamar

“Nanti aku kenalin siapa yang ada disana, yuuk kita masuk” Ajaknya dengan suara lembut seperti biasa
Seorang perempuan dengan rambut tergerai panjang tengah menatap langit-langit kamar, pandangannya kosong lalu kemudian dia melihat sikut kirinya hendak melepas perban yang menempel.

“Hey jangan dulu dilepas!” Larang Hana sontak setelah melihat tindakan sang perempuan, namun dia tidak mempedulikan ucapan Hana tatapannya bermuara pada Riffa yang berdiri tepat disamping Hana

“Riffa…..” Bibirnya berkata, lalu Riffa membalasnya dengan anggukan serta senyuman manis

“Untung kamu tidak kenapa-kenapa…” Ucap Riffa kemudian mendekati tempat tidurnya

“Hana, kenalin ini Arinda…..” Riffa melanjutkan ucapannya memperkenalkan Arinda, satu-satunya mantan kekasih Riffa yang selama ini sering mereka bicarakan. Entah mengapa, mendengar ucapan Riffa tubuh Hana tiba-tiba saja melemas, dia seolah kehilangan pijakan kakinya, suhu ruangan terasa jauh lebih dingin hingga tangannya sedikit bergetar.

“Makasih banyak udah nolongin aku…” Ujar Arinda menatap satu persatu mata Riffa dan Hana

“Sama-sama, mungkin sebentar lagi orangtua kamu datang Rin”

“Eeeh sini, aku benerin perbannya supaya luka kamu gak kemasukan bakteri terus bebas dari infeksi…” Hana membawa potongan perban yang telah diberi alkohol lalu menempelkannya ke sikut Arinda

“Oke deh makasih banyak ya! Btw tangan kamu dingin banget Han…”

****

Hari yang sangat panjang pukul 7 malam setelah melaksanakan shalat isya berjamaah bersama Riffa di dalam kamar Arinda, Hana segera diajak pulang oleh Riffa. Sepanjang perjalanan keduanya lebih banyak menutup mulut, sibuk dengan lamunan yang bergelanjut di fikiran masing-masing. Hingga setelah sampai ke rumah dan beristirahat mata Hana masih belum bisa terpejam. Waktu menunjukan pukul 11 malam, handphone yang dipegangnya berharap pesan masuk tiba-tiba saja berbunyi. Layar berkelap-kelip menuliskan nama Riffa…
Riffa : kamu bisa tidur Han??
Hana : gak bisa Riff, tadi Arinda ya… aku sampe kaget
Riffa : iya Han, Arinda.. cukup lama juga aku gak ketemu dia

Di kedalaman hatiku tersembunyi harapan yang suci, tak perlu engkau menyaksikan, lewat kesalihanmu yang terukir menghiasi dirimu tak perlu dengan kata-kata, sungguh walau ku kelu tuk mengungkapkan perasaanku…
 Edcoustik mengalun merdu mengisi ruangan hampa kamar Hana yang kemudian segera dia hentikan, seluruh kenangannya bersama Riffa kini hadir dalam ingatannya perkenalan, awal pertemuan, hingga kini persahabatan yang mereka jalin. Hana meyakini sesuatu yang lain muncul dalam hatinya hingga melebih dari perasaan seorang sahabat. Betapa ketika menyadari gejolak itu dirinya selalu menolak dan berusaha melupakan serta bersikukuh bahwa tak ada yang berbeda dari Riffa, dia sama seperti teman-teman lelaki pada umumnya namun entah dari mana muaranya; kelembutan Riffa, tutur kata serta tingkah lakunya dalam memperlakukan perempuan sesuai dengan fitrahnya sebagai seorang muslimin selalu meluluhkan hati kecilnya. Hingga tanpa sadar harapan-harapan yang berisi rasa bahagia dan kenyamanan hati jika dirinya bersama Riffa selalu muncul dalam angan Hana. Saat kamu merasakan agungnya cinta yang diajarkan Allah kekasihmu menjadi pembuktian pengabdian cinta tulusmu, memelukmu dalam ibadah menuju samudra kekal kehidupan tanpa batas, menjadi media amaliyah dan ketundukan tulus pengabdian kepada Allah dan Rasul-Nya, indahnya cinta yang melukis hati mewarnai kebahagiaan hakiki.

****

Keesokan harinya Hana kembali diajak Riffa untuk menjenguk Arinda yang masih menjalani perawatan di Rumah Sakit. Arinda adalah masa lalu Riffa, satu-satunya perempuan yang pernah mengisi hatinya, semua tentang Arinda sudah dia ungkapkan pada Hana dahulu di awal pertemanan mereka hingga terkadang menjadi guyonan bagi mereka.

“Sudah enakan Rin?” Tanya Riffa seraya memperhatikan kondisi Arinda dari ujung kaki hingga kepala

“Aaaah dari awal juga gak apa-apa kok!” Jawab Arinda percaya diri tersenyum menampakkan deretan gigi putihnya

“Ah kamu ini ngapain sih bawa motor ngebut-ngebut segala!!” Riffa mendumel tidak memperhatikan cengiran Arinda yang kemudian menjulurkan lidahnya

“Yeeee suka-suka dong hahahaha, eeeeh kalian pa-ca-rrr?” Tawa Arinda disertai pertanyaan yang membuat Hana menatap wajah Riffa

“Ah bukan kita temen aja!!” Jawab Riffa cepat sebelum Arinda menyelesaikan ucapannya, mendengar ucapan Riffa segera Hana iyakan dengan anggukan kepalanya

“Ooooh temenan doang! Eeeh Han, kamu gak gerah pake jilbab??” Arinda bertanya pada Hana yang kini sudah terlihat jauh lebih tenang

“Loh memangnya kamu sudah lupa, kamukan dulu pake jilbab juga” Riffa berkata cepat sebelum Hana menjawab pertanyaan dari Arinda

“Suka-suka dong Riff! Jadi gimana Han??”

“Enggak kok gak gerah, malah enak jadi leluasa lebih nyaman….”

Setelah hari itu Hana menjadi sering bertemu dengan Arinda tanpa sepengetahuan Riffa, keduanya kini berteman Arinda mengungkapkan keinginannya untuk berubah dan kembali menutup aurat, beberapa kali mereka bersama mengikuti pengajian remaja serta belajar mengkaji Al-Qur`an namun untuk menutup aurat Arinda belum sepenuhnya melakukan itu, dirinya ingin terlebih dahulu membenahi hatinya sehingga mantap dan yakin untuk mengenakan jilbab.

“Riffa memang menyukai perempuan yang menutup auratnya, mungkin gara-gara itu juga dulu aku pacaran sama dia hahaha” Ucapan Arinda diakhiri dengan tawanya

“Coba pake yang ini Rin, suka gak? Elegan loh keliatannya…” Gamis bewarna cream Hana pasangkan dengan kerudung pasmina merah untuk Arinda yang tengah becermin di depan kaca, dia memutar balikan tubuhnya seraya sesekali memasangkan kerudung mengikuti video tutorial yang tengah diputar

“Kerudung merah cantik gak di pake aku?” Tanya Arinda kemudian setelah dirinya memakai gamis lengkap dengan kerudungan merah mengikuti saran Hana

“Cantik banget loh Rin, coba ngaca lagi! Tuh kan bener…..” Jawab Hana mengagumi paras Arinda yang memang jauh lebih cantik

“Nanti hari pertama aku pakai jilbab, aku pake yang ini deh… Eh Han, kamu suka Riffa?” Seru Arinda senang kemudian melontarkan pertanyaan membuat Hana yang kini sedang merapikan baju serta kerudung yang berserakan diatas kasur berhenti sepersekian detik

“Kagum saja…” Jawabnya singkat lalu kembali berkutat dengan  kegiatannya

“Bohong, pasti lebih deh aku tahu!” Kukuh Arinda mencari kejujuran dari mata Hana

“Gak lebih dari temen Rin!”

****

“Cinta adalah ujian, bila seseorang diuji dengan cintanya terhadap lawan jenis namun tidak sampai pada jengjang pernikahan, hendaklah ia mampu melupakannya meski masih tersisa benih cinta dihatinya. Diceritakan bahwa seseorang yang diuji dengan cintanya yang mendalam, jika ia meninggal, akan digolongkan sebagai seorang yang mati syahid karena kesabaran dan ketabahannya dalam menjaga kesucian dirinya.”  Materi thausyiah yang disampaikan penceramah lewat siaran radio favoritenya malam itu melekat difikiran Hana, dirinya kembali teringat pada seorang lelaki yang selama ini dikaguminya, menyertakannya dalam doa diakhir shalat baik siang maupun malam, Hana teringat perbincangannya dengan Riffa beberapa waktu yang lalu sebelum Arinda hadir.

“Kamu nyaman sama aku?” Tanya Hana serius

“Kalo kamu Han?” Sebelum menjawab terlebih dahulu Riffa melemparkan pertanyaan tersebut kepada Hana

“Soal itu dulu pernah aku ungkapin, sekarang kamu gimana?” Jawab Hana apa adanya

“Aku nyaman Han, asalakan kamu tidak mempunyai rasa kepadaku….” Kata Riffa sangat yakin

“Kenapa? Supaya aku gak sakit hati?” Hana mengejar ucapan Riffa
Iya salah satunya itu… maafin aku Han!”

Riffa selalu dipenuhi dengan perbedaan, sepanjang pertemanannya dengan teman-teman lelaki hanya dia yang meminta agar Hana tidak memiliki perasaan apapun terhadapnya, namun bukankah hal itu naluriah, akan ada-tetap terasa dan tidak bisa dilarang namun semua itu kembali pada diri individu menerjemahkan secara terang-terangan dengan hubungan tanpa ikatan halal atau cukuplah dalam hati, gantungkan harapan, keinginan, diatas persujudan Ilahi maka semakin besar rasa itu ada semakin dekat diri kita dengan sang pemilik seluruh hati.

****
Riffa : Han, nonton langit yuk!
Hana : ngapain Riff bukan purnama ini..
Riffa : yeeee gak apa-apa kita liat sabit
Hana : OTW

Setelah perkacapan via pesan singkat Hana dan Riffa keluar rumah dari rumah masing-masing menuju taman kota yang letaknya berada dipertengan antara kediaman Hana dan Riffa. Purnama menjadi hal yang lain bagi persahabatan keduanya, terutama Hana yang senang menandai tanggal ketika bulan tengah bersinar penuh dengan berbagai hal yang selama ini terjadi pada mereka.

“Berdua-duaan di tempat sepi yang ketiganya setan loh….” Seru Hana seraya tersenyum setelah keduanya bertemu dan duduk diatas rumput menengadahkan kepala ke langit

“Berdua-duaan gimana liat tuh…tuh…tuh… banyak orang gini hahahaa” Ucap Riffa menunjuk satu per satu orang yang lalu lalang

“Waaaaah tokomu banyak pengunjungnya ya Riff, keliatan dari sini!” Hana menatap lurus sebuah toko yang dipenuhi oleh pengunjung yang keluar masuk

“Allhamdulilah… kita kesana aja yuk! Jajan gorengan, aku yang bayarin tenang hahaha…” Ajak Riffa berdiri dari duduknya seraya tertawa terbahak

“Loh kok masih duduk sih!” Dengan kening yang mengerut Riffa memperhatikan Hana

“Iya-iya plus satu gelas kopi putih”  Tawaran menggiurkan yang membuat Hana cepat berdiri kemudian mengekor langkah Riffa dari belakang

5 menit Hana duduk dikursi yang terdapat di luar sebuah toko milik keluarga Riffa, menyandarkan pugungnya pada tangkai kursi hingga matanya sedikit terpejam, Riffa lama ah… gerutunya tidak sabar, angin semakin dingin berhembus lantunan suara adzan Isya samar-samar telah hilang, nah itu dia dateng… Hana membenarkan posisi duduknya lalu berdiri menunggu Riffa yang terlihat menenteng 2 cangkir kopi dengan asapnya yang masih mengepul, Hana yang berdiri membelakangi jalan dengan senang hati menyambut kedatangan Riffa yang kini tersenyum namun pandangannya tidak menjurus kearah Hana, tatapannya lebih jauh hingga seolah tidak menyadari keberadaannya yang berdiri di depan Riffa, dengan terheran-heran cepat Hana mengikuti pandangan sahabatnya itu. Seorang perempuan turun dari sebuah mobil, gamis cream yang dipakainya beradu dengan angin yang tiba-tiba semakin kencang, seraya tersenyum dia membenarkan kerudung merahnya agar tetap rapi dan cantik. Perempuan itu Arinda dan Riffa menghampiri dirinya melewati Hana yang masih berdiri mematung, hanya harum Riffa yang masih tersisa terhembus angin.

“Cinta itu mengikhlaskan… Rabbi lembutkan perasaan hamba, ini yang harus diterima sedikit pahit menunda manis tidak apa, namun mohon tolong lapangkan hati hamba…”

-Selesai-

Tidak ada komentar:

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS