“Yang kau butuhkan hanya tak perlu takut miskin Wi”,
Damar keluar dari kamarnya dengan dada membusung lapang hirupan nafasnya
terdesat-sedat, mengatur emosi yang habis terkuras bukan diluapkan tapi
dipendam sedalam-dalamnya agar hidup tak kian kacau balau disorak-sorak setan
yang tertawa dan semburkan api dari mulutnya yang bersumber panasnya neraka.
“Wi... kamu lupa janji hidup kita?”, burunya menghampiri
Wisah yang menangis tersedu-sedu, bukan ingin berkata gombal atas alur masa
lalunya yang indah tapi ia hanya ingin menagih janji. Tidak selamanya perempuan
saja yang berkata “mana janjimu akan membahagiakanku!”.
“Janji?” Wisah menegakkan wajahnya, ia cari mata teduh
Damar yang belasan tahun ini dijadikan tempat berlindungnya. Mata damai yang
tak pernah kobarkan api amarah, yang selalu menatap mesra baik disaat lelah..
apalagi diwaktu senggang jangan tanyakan bagaimana belaiannya penuhi hari-hari
Wisah.
“Iya janji Wi, janjimu, janji kita... tanya pada dirimu
sendiri apakah selama ini aku pernah ingkar pada janjiku kepadamu?” Tegas Damar
berkata seraya balas menatap mata Wisah yang nanar oleh embun-embun
dikelopaknya.
Tessss! Embun-embun itu terkalahkan. Damar lebih dahulu
menitikkan air mata. Air mata cintanya pada Wisah, perempuan berharga yang
dimiliki. Dimana ujung bahagai? Dimana muara bahagia? Dimana titik terendah dan
tertinggi bahagia? Di senyuman Wisah. Tak ada yang lain, seluruhnya untuk
Wisah.
“Kamu lupa ya Wi?” Tanyanya kemudian setelah mendapati
Wisah yang hanya menundukan kepala setelah tetesan air mata Wisah lihat basahi
kedua pipi suaminya yang bewarna kecoklatan, Wisah gelengkan kepalanya lalu
berlari terhunyun-hunyun keluar dari rumah tinggalkan Damar yang kini tubuhnya
meregang diatas keramik malmer kiriman sepupunya dari Kalimantan. Dingin dan
sesak....
“Padahal kamu hanya butuh tak takut miskin Wi, akan aku
usahakan....”
****
Jalanan berkelok-kelok, derai
hujan semakin rundung senja ini menjadi amat kelabu. Kemana harus melangkah?
Sedang rumah kedua tak punya, ibu-bapak telah lama tiada, keluarga... sadarkah
di kota ini Wisah hanya hidup berdua dengan Damar, pun anak-anaknya yang tengah
menuntut ilmu di negeri tetangga.
Wisah dan Damar bukan keluarga tak punya, bisnis Damar lancar dan dapur tak pernah alami kekurangan. Lantas apalagi yang Wisah pinta? Tidak ada yang diminta dari Damar, hanya berulang-ulang ia katakan takut miskin. Kemiskininan pernah jadi sahabat karib Wisah sebelum keputusannya menikah dan dibawa bahagia oleh Damar.
Wisah dan Damar bukan keluarga tak punya, bisnis Damar lancar dan dapur tak pernah alami kekurangan. Lantas apalagi yang Wisah pinta? Tidak ada yang diminta dari Damar, hanya berulang-ulang ia katakan takut miskin. Kemiskininan pernah jadi sahabat karib Wisah sebelum keputusannya menikah dan dibawa bahagia oleh Damar.
Miskin itu terpuruk, terinjak, terhinakan. Masa lalu
Wisah berputar-putar di memori kepalanya yang kemudian membawanya terjatuh
ditengah gemericik air sungai Cimanuk. Kakinya terciprat-ciprat air, Wisah
terpejam.
****
“Nduk, kamu hanya jangan
takut miskin....” Ayah berkepala 3 bicara dengan nada lembut ditengah malam
selepas shalat isya, ia membuka kopeah usangnya meletakkan disamping tugas
sekolah anak semata wayahnya yang kala itu duduk di bangku SD.
“Miskin seperti apa Yah?”
tanya anak itu mendongkakkan wajahnya ke arah lelaki yang selama ini berbudi
baik.
“Miskin tak punya uang
banyak untuk beli beras, bayar sekolahmu, beli baju-baju...” sanggah seseorang
dari belakang sambil berjalan menghampiri lalu duduk tepat didepan sang ayah
dan anaknya, dia Ibu Wisah.
“Tapi cukupkan Bu? Wisah
harus bersyukur yah....” Bijak Ayah memberi pengertian.
Wisah kecil hanya
mengangguk lalu berlari menuju kamarnya, dia tinggalkan kedua orangtuanya yang
kemudian akan terjadi serangan balas-membalas ucapan.
“Karena Ayah gak tau, tiap
hari penagih utang hilir mudik datang ke rumah kita!”
“Makanya Ibu harus pandai
berhemat. Hentikan dulu hobinya beli baju dan pernak-pernik perempuan....”
“Tapi itu kebutuhan Yah!”
“Wisah kesini.....
pokoknya kamu harus berjanji pada Ibu. Kelak kalau sudah menikah cari lelaki
yang kaya, yang bisa membuat kamu bahagia. Hidup miskin itu terinjak-injak! Janji
Wisah....” Ucapan Ibu melakat diingatanya seiring petir yang menyambar
permukaan langit hingga hujan luruh dan Ayah pergi menyongsong rasanya yang
terinjakkan oleh Ibu.
“Kurang apa Bu? Ayah
bimbing Ibu dan ajarkan putri kita agama, jika ucapan Ibu justru membuatnya
buta.... Wisah kamu jangan takut miskin....”
****
“Jangan takut miskin....
karena bahagia tidak selamanya tercipta oleh uang. Bagaimana ciptakan
kebahagiaan dengan mengingat pemberian Tuhan yang tak ternilai hitungan rupiah.
Bahagia itu Wisah... bersyukur lalu ucapkan hamdalah, sisihkan sebagian rezeki
dan ingat jangan takut miskin, Allah bersama hamba-hambanya yang bersabar dan
bekerja keras....”
“Aku, Damar... maukah kamu
berjanji untuk hidup bahagia denganku? Bahagia dengan syarat... tidak takut
miskin”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar