Pages

Janji Wisah

Senin, 07 Oktober 2013





“Yang kau butuhkan hanya tak perlu takut miskin Wi”, Damar keluar dari kamarnya dengan dada membusung lapang hirupan nafasnya terdesat-sedat, mengatur emosi yang habis terkuras bukan diluapkan tapi dipendam sedalam-dalamnya agar hidup tak kian kacau balau disorak-sorak setan yang tertawa dan semburkan api dari mulutnya yang bersumber panasnya neraka.
“Wi... kamu lupa janji hidup kita?”, burunya menghampiri Wisah yang menangis tersedu-sedu, bukan ingin berkata gombal atas alur masa lalunya yang indah tapi ia hanya ingin menagih janji. Tidak selamanya perempuan saja yang berkata “mana janjimu akan membahagiakanku!”.
“Janji?” Wisah menegakkan wajahnya, ia cari mata teduh Damar yang belasan tahun ini dijadikan tempat berlindungnya. Mata damai yang tak pernah kobarkan api amarah, yang selalu menatap mesra baik disaat lelah.. apalagi diwaktu senggang jangan tanyakan bagaimana belaiannya penuhi hari-hari Wisah.
“Iya janji Wi, janjimu, janji kita... tanya pada dirimu sendiri apakah selama ini aku pernah ingkar pada janjiku kepadamu?” Tegas Damar berkata seraya balas menatap mata Wisah yang nanar oleh embun-embun dikelopaknya.
Tessss! Embun-embun itu terkalahkan. Damar lebih dahulu menitikkan air mata. Air mata cintanya pada Wisah, perempuan berharga yang dimiliki. Dimana ujung bahagai? Dimana muara bahagia? Dimana titik terendah dan tertinggi bahagia? Di senyuman Wisah. Tak ada yang lain, seluruhnya untuk Wisah.
“Kamu lupa ya Wi?” Tanyanya kemudian setelah mendapati Wisah yang hanya menundukan kepala setelah tetesan air mata Wisah lihat basahi kedua pipi suaminya yang bewarna kecoklatan, Wisah gelengkan kepalanya lalu berlari terhunyun-hunyun keluar dari rumah tinggalkan Damar yang kini tubuhnya meregang diatas keramik malmer kiriman sepupunya dari Kalimantan. Dingin dan sesak....
“Padahal kamu hanya butuh tak takut miskin Wi, akan aku usahakan....”
****
         Jalanan berkelok-kelok, derai hujan semakin rundung senja ini menjadi amat kelabu. Kemana harus melangkah? Sedang rumah kedua tak punya, ibu-bapak telah lama tiada, keluarga... sadarkah di kota ini Wisah hanya hidup berdua dengan Damar, pun anak-anaknya yang tengah menuntut ilmu di negeri tetangga.
Wisah dan Damar bukan keluarga tak punya, bisnis Damar lancar dan dapur  tak pernah alami kekurangan. Lantas apalagi yang Wisah pinta? Tidak ada yang diminta dari Damar, hanya berulang-ulang ia katakan takut miskin. Kemiskininan pernah jadi sahabat karib Wisah sebelum keputusannya menikah dan dibawa bahagia oleh Damar.
Miskin itu terpuruk, terinjak, terhinakan. Masa lalu Wisah berputar-putar di memori kepalanya yang kemudian membawanya terjatuh ditengah gemericik air sungai Cimanuk. Kakinya terciprat-ciprat air, Wisah terpejam.
****
         “Nduk, kamu hanya jangan takut miskin....” Ayah berkepala 3 bicara dengan nada lembut ditengah malam selepas shalat isya, ia membuka kopeah usangnya meletakkan disamping tugas sekolah anak semata wayahnya yang kala itu duduk di bangku SD.
          “Miskin seperti apa Yah?” tanya anak itu mendongkakkan wajahnya ke arah lelaki yang selama ini berbudi baik.
        “Miskin tak punya uang banyak untuk beli beras, bayar sekolahmu, beli baju-baju...” sanggah seseorang dari belakang sambil berjalan menghampiri lalu duduk tepat didepan sang ayah dan anaknya, dia Ibu Wisah.
            “Tapi cukupkan Bu? Wisah harus bersyukur yah....” Bijak Ayah memberi pengertian.
           Wisah kecil hanya mengangguk lalu berlari menuju kamarnya, dia tinggalkan kedua orangtuanya yang kemudian akan terjadi serangan balas-membalas ucapan.
            “Karena Ayah gak tau, tiap hari penagih utang hilir mudik datang ke rumah kita!”
      “Makanya Ibu harus pandai berhemat. Hentikan dulu hobinya beli baju dan pernak-pernik perempuan....”
         “Tapi itu kebutuhan Yah!”
         “Wisah kesini..... pokoknya kamu harus berjanji pada Ibu. Kelak kalau sudah menikah cari lelaki yang kaya, yang bisa membuat kamu bahagia. Hidup miskin itu terinjak-injak! Janji Wisah....” Ucapan Ibu melakat diingatanya seiring petir yang menyambar permukaan langit hingga hujan luruh dan Ayah pergi menyongsong rasanya yang terinjakkan oleh Ibu.
          “Kurang apa Bu? Ayah bimbing Ibu dan ajarkan putri kita agama, jika ucapan Ibu justru membuatnya buta.... Wisah kamu jangan takut miskin....”
****
        “Jangan takut miskin.... karena bahagia tidak selamanya tercipta oleh uang. Bagaimana ciptakan kebahagiaan dengan mengingat pemberian Tuhan yang tak ternilai hitungan rupiah. Bahagia itu Wisah... bersyukur lalu ucapkan hamdalah, sisihkan sebagian rezeki dan ingat jangan takut miskin, Allah bersama hamba-hambanya yang bersabar dan bekerja keras....”
           “Aku, Damar... maukah kamu berjanji untuk hidup bahagia denganku? Bahagia dengan syarat... tidak takut miskin”
           

Tidak ada komentar:

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS