Pages

Pena dan Jemari, Agustus 2013

Rabu, 09 Oktober 2013






cinta yang dingin dan bisu, 3 Agustus 2013
Menjadi nyata buliran senduku disepanjang jalan beraspal usang. Angin terbangkan dedauan kering dikelopak mataku, luar biasa perih yang menusuk. Hendak kemana ia melangkah dalam khayal aku bertanya. Jika bukan aku tujuannya, lantas siapa?. Aku seperti berdiri di ujung asoka yang runcing, sedikit lengah maka luka menganga adalah bayarnya.

Kamu menjadi kamu yang selalu begitu, dingin dan bisu. Sementara aku menjelma jadi siluet yang setia tak hanya saat senja datang. Kita, berpaku laras pada titah bumi yang merdeka untuk konglomerat dan nelangsa bagi kaum dhuafa.Yang tidak adil seperti pentagon dengan misi risaunya. Begitulah tetap tak adil apalagi bagi diriku, yang mencintamu dalam dingin dan bisu.

Tapi harus aku sampaikan, harus. Karena alamat hatiku masihlah tertuju padamu

Sabar dan Medua, 5 Agustus 2013
Engkau menepi disebait puisi siangku bersama sang mendung yang selimuti cakrawala kotaku

Perihal mimpi itu dia sudah aku korbankan ditengah malam yang pekat dalam gerbong kereta usang

Syuuuut...
Jemariku bersimpati menghitung detik demi detik waktu yang lalu sejak kau diam, damai seperti apa yang kini aku butuhkan selain kau anggukan kepala dan lapangkan dada atas khilafku

Hey, tapi jangan salah dengan ini pun aku merasa hebat karena telah bermain dengan sabar.

Ya Sabar. Ku kira sabar hanya milikmu saja saat aku pilih untuk mendua.

Puisi-Sajak-Syair, 5 Agustus 2013
Puisi cantik untuk pagi ini.

Bersamamu aku harus bernafas
Bersamamu aku harus kedipkan kelopak mata
Bersamamu aliran darah ku harus tetap terjaga
Ini adalah syarat awal yang tak bisa ditawar karna itu artinya aku hidup, selesai.

Entah sejak kapan aku ingin bersajak;
sejak mengenal Majnun hingga aku turut susuri gurun
atau sejak aku tahu Rumi ijinkan aku bersyair
ah tidak!
begitupun sejak aku dekat denganmu
apalagi itu tidak mungkin

Berumpah darah aku reka tiap inci gusaran kata, terbang bersama khayal dijalur imajinasi tanpa muara dan padang luas, satu dua massa aku rasa jantung berhenti karena peluru yang keras maupun lembut meluncur dari kaliber 22 adam, dan kau yang obati.

Kita temui berbagai musim, nikmati ocehan pawang hujan agar hajatnya lancar, nikmati heli diudara untuk semai air buatan, nikmati gugurannya daun dalam kemarau yang meranggas. Kita pemotret tiap celah suasana bumi.

Aku bersama kata yang abadi. Do'akanlah agar jemariku tak henti ukir keabsahanmu di dunia.

Susu Coklatku dan Mata Coklatmu, 5 Agustus 2013
Sedang bersama malam.

Kini, ia bertanya lewat beranda oranye; mengapa musim semi tak lekang semaikan tulip di taman rindangku?
Lalu sibuk dengan lembaran TTSnya untuk mengisi pertanyaan kehidupan.

Dan aku teguk segelas susu coklat panas, tak menghirau belasan tanya yang berdendang.

Ia beringsut duduk dihadapku, menatapku lekat dengan bola mata coklatnya.

Mata coklatmu kalah dengan susu coklat ini.

Lalu menunduk sayu. Dalam biasnya gurat sendu tak bisa tersembunyi.

"karena mata coklatmu tak bisa aku nikmati. Tolong jaga pandanganmu dan sedikit menggeser dudukmu atau kamu mau aku sakralkan"

Ia memerah. Terbelalak. Silahkan aku tak punya pilihan lain.

Salam Akhir Terkasih, 7 Agustus 2013
Bagaimana dengan esok? Detikan waktu tak ada penjamin nafas tetap berhebus, pijakan di tanah terus berlanjut, silaturahmi masih terjalin bersama senyum-senyum terkasih. Sesalnya, akal dan hati menjadi pendominasi tiap celah ruang duniawi lantas akhirat sana bagaimana kabarnya?.
Ya Allah... Di akhir Ramadhan ini kata apa hendak terurai selain sebuah rasa yang entah bertajuk apa jika yang terasa adalah; haru dan pilu. Masih bisakah hamba ingkari nikmatMu?. Bulan keberkahan ini hendak pergi, sang tamu agung kini mulai berdiri dari duduknya sampaikan salam perpisahan "Wahai engkau, entah esok aku dapat menjamumu atau tidak. Hanya Allah yang tahu. Selepas kau pergi rinduku akan terasa dan ku mohonkan pada Tuhan semoga pertemuan kembali hadir untuk kita".
Selamat jalan...
Segala Puji Atas NikmatMu Rabbi..

Tabir Rasa, 9 Agustus 2013
;Kepada yang merinduku
Sejauh kita bersama Tar,
dibalik telaga biru yang tercipta atas renungan lagu mimpi, kau adalah sesuatu yang aku cari dalam pembuktian wujud kasih abu menjadi putih

Baik pagi di Bunderan HI atau malam di Karapitan Bandung aku menjelma amat lugu karena lantunan egoku untuk bertatap denganmu

Jangan menangis Tar,
disini meski bintang tak nampak namun daun kering yang terbang tanpa nyawa memberi isyarat mutlak; jika sendumu lukiskan musim dalam haru

Seperti apa kita maknai peristiwa? Seperti itu rasa yang terisa untuk dilewati. Jadi, tersenyumlah...

Di Ambang Magrib dan Gastritis, 10 Agustus 2013
Bersama maliun hawa diambang magrib menuju gelap yang lalu adalah kenangan dengan parasnya yang cemerlang

angin yang segar, dunia khayalan seorang penyair rupawan dari negeri idaman; Ahmad Faisal Imron

tolong katakan padanya jika dengan ini keningku berkerut, tak mengerti hanya saja namanya selalu menggaum lebihi; Mazla, Naqsabandi, atau Nyi Zein yang terusat dalam pena lentik syair-syair magnetis

dan diambang magrib menuju gelap, aku bersandar pada detik absurd tanpa memoaria karena ini nafasku yang begini menggaung atas rasa sakit di ulu hati; gastritis namanya

o, ini toh rasanya
sungguh bukan legam yang membuat ngilu namun sayatan basah dari derasnya asam lambung

malam ini perih, malam terjaga
malam yang membuat ingatan bergeriliya; lebih dari ini penghuni bangsal rumah sakit

Ibunda, 10 Agustus 2013
Ibunda ini adalah puisi yang halus untukmu, aku persembahkan dengan segenap hormat dan sayangku padamu.

; adalah hal yang mutlak jika kita tercipta atas seonggok tanah dari keturuan Adam dan Hawa
kemudian roh-roh yang suci tertiup atas Rahmat Illahi pada hambaNya yang lemah
lalu kita hadir dalam laku rukuk dan sujud untuk genapkan pengabdian kepadaNya
aku lah Ibunda, anak perawan yang singgah dalam hangatnya rahim serta pelukmu hingga sekarang di detik waktu saat aku tuliskan puisi ini

Sekarang rumah kita ramai beginilah jika hari kemerdekaan tiba
sebuah tradisi yang membuka pintu rumah kita lebih lama dari biasanya, lebih semarak dari biasanya, dan lebih menyenangkan dari biasanya

Ibunda, anak perawanmu ini nyatanya telah masuk usia tak lagi batita; disini tak ada lagi tangis, permintaan merekek, nasi berserakan di lantai dengan piring dan sendok yang jauh terseret atau aneka mainan yang berbunyi dan terbuat dari plastik

Anak perawanmu ini Ibunda, sudah pandai berias namun tak suka berlama di depan cermin, jika berdiam di rumah bisa kau pastikan dari pagi sampai malam asyik bergumul dengan lembaran kertas, bahkan sudah mampu mimpikan kriteria pendamping yang untukmu juga kelak sebagai anakmu. Semoga dia yang Allah kirimkan dapat mengasihimu seperti sayangmu padaku

Ibunda, kini dirumah kita ramai oleh celoteh dan tawa cucu-cucumu dari sepupuku wahai engkau bersiaplah karena satu-dua-tiga atau empat tahun lagi suasana ini akan tercipta dari aku dan pendampingku

Ibunda, untuk mengakhiri nampaknya aku mulai bingung dinamakan apa ini; puisi atau surat untukmu

Yang abadi adalah Sayang kamu

Toharoh, 11 Agustus 2013
Hindun, ia memulainya dengan Bismillah

Dipanggung ini sketsa abstrak mulai terarah garisnya, kemana ia melangkah dan melihat dunia bersama isinya

Ini adalah lembah berbangsakan uang dimana riba perlahan tertanam kuat dan takzim kala pesolek berkatun lemah sebelum selangkangan merayu dibalik meja berhiaskan bunga
lalu pemilik muka masam dengan alis garang bersahut geram jika yang didapat janji esok sore

Hindun, ia memulainya dengan Bismillah

Satu dua nanah ia lucuti dari busananya bertoharoh dengan wudu dan berdo'a mohon pengampunan

Laut Bermahligai, 11 Agustus 2013

Telapak gading diantara mecusuar berhariring tanpa dawai yang dipetik
Pasir putih itu bergumbul dengan sejuta perekat saling menyatu hingga satu dua camar turut melayang diantara cakrawala yang membiru
Aku ingin mengundangmu kawan diperhelatan ini, mahligai mesra yang ku tata bersama cinta insan Tuhan

Aku simpulkan tatapanmu yang teduh surutkan mentari yang enggan meradang, lantas aromamu itu kawan tebarkan bebauan arti kesetiaan yang aku jadikan do'a lalu diaminkan

Adalah suatu cerita yang akan terpahami atas sabarku yang mendunia hingga Tuhan wujudkan janjinya
Engkaulah kawan pendahuluku, sepasang tanganmu telah lebih dulu masukan cincin indah dilentiknya jemari anak Hawa
Sesungguhnya kata-kata ini hanyalah muqodimah dari seisi bahagia yang jejali ruang dada
seperti nyanyian yang tiba-tiba melantun merdu bisikan hangatnya malam dan pagi kelak

Aku terpukau disudut pantai ini bersama kau kawan diiringan camar-camar dan gempita ombak karang
Sekali lagi, aku tafsirkan hidup bersama euforia suka dan ucapan terimakasih jika kau kawan masih mendampingki hingga ujung lajangku
 

 Rindu, 12 Agustus 2013

Berulang kali aku rasa rindu, pada akhirnya aku hanya bisa pasrah
Aku tuliskan syair rindu, lagi karyaku bertitik pada pasrah
Aku lisankan kalimat rindu, kembali nyanyianku berepilog pasrah

Barangkali tak ada sesuatu yang lain, yang pantas menandingi pasrah ketika rindu selain;

Mengembalikannya pada Sang Pemilik Kehidupan yang kemudian disertai sabar dan ikh

Penyair Mim, 13 Agustus 2013
Mim, harus dunia tahu betapa berkilaunya kamu dimataku
Disudut lain yang aku lihat kamu tak ubahnya tekstur halus di dinding yang lebam

Ketika Mim yang mimik wajahnya bersinar
Kamu mengingatkanku pada Eiffel yang hangat oleh surya kala pagi
Mimik seorang penyair berbangsakan Arab mengubah jutaan lirik hingga termasyur sampai Habasyah

Mim, beritamu sampai ditelingaku
Dilorong-lorong gurun yang berisikan pasir panas aku dendangkan pujian untukmu
Romantisnya Majnun untuk Laila, meski tak berbanding namun tetap tak bisa aku dinomer duakan untuk mengagumu

Melenalah disekujur hatiku Mim seperti menemukan cinta yang dibayar langsung oleh mahar perjumpaan
Aku menengadah pada langit yang ramai oleh awan, jika ini aku harap menjadi nyata Pertemuanku denganmu bukan khayal imajiner antara aku dan kamu Mim yang aku buat seindah pagi berselimut angin mesra

Sajian ditengah riba, 13 Agustus 2013
;Ibu, sekarang makan sama apa?

Selasar pagi menjadi lautan pilu ditengah tatapan gemintang putra cikal rupawan, Anakku

;Ini nafkah dariku

Derai keringat lembabkan kening kusam penuh kerutan, bibir dengan kumis tipisnya tersenyum, damai dan bahagia. Ayah anakku.

;Nak, kau hanya boleh menerima uang baik. Diperoleh dengan baik dan hukumnya menyelamatkan dunia serta akhiratmu

Amanahnya adalah sumber lampahku, ucapan bermakna besar ketika sungkem dipangkuannya digelar pada akad sakralku

*

Wahai Masku!

Aku masih menanti buliran suci dari hatimu, bukan sekadar sucinya cinta dan ungkapan kasihmu
Aku tak kan menjadi pemuja yang buta karena rasa perih ini tak dapat dijelaskan
Di dadamu aku terlelap musnahkan risau dan segala jenis nafsu duniawi
Di belakangmu aku adalah makmum yang lafalkan 'Aamiin' setelah lantunan Ummul Kitab kau lisankan, disana 7 pujian kau limpahkan dan pinta petunjuk jalan yang lurus kau mohonkan maka aku adalah pengikut terbahagia yang berdiri disana, karena tak lain Imamku yang panjatkan ayat indah itu

Hanya saja pada kau dan pengakuanku pada Tuhan,

Aku gelisah dengan caramu mencari nafkah;
duduk dibelakang meja berhiasa bunga mawar segar, ruangan sejuk oleh pendingin, kau tersenyum tampakkan gigi rapihmu ucapkan kalimat sapaan lalu seseorang duduk didepanmu. Lantas, kau bermain dengan pena, jemari yang senantiasa kau gunakan untuk menengadahkan do'a pada Tuhan kau pakai untuk hitung lembaran rupiah

Huufh, disini dirumah aku kenang golongan manusia pengerja riba dan siksa terkecilnya tak ubahnya seperti mezinahi saudara sebapak

Dan nampaknya aku selalu tak kuasa, hidangkan sajian untuk anakmu dari hasil yang Tuhan tak suka

Wahai Masku!

Pahamilah, bersuci dan tinggalkan

Sepucuk Rindu 14, 14 Agustus 2013
Sambil mengatur bunyi nafas atau memandang kekosongan biarkan rindu mengurai isi jelaga

Gegap gembita orang-orang menyahut klimaks purnama bahwa detik itu adalah kisahnya yang tak sampai

Pada sebuah lukisan torehan koas bewarna merah muda terselip diantara ruas langit yang berganti langit

Menatap separuh waktu setiap malam mimpi tersentuh kolerasi bima sakti

Lalu, pada taman ini terbaca 14 dihitungan almanak perempuan itu masihlah seorang yang lugu, acungkan telunjuknya dibunderan bintang kejora lalu perlahan mengepalkan tangan dan disimpan di dada

Getaran apa yang menembus sekat aliran darahnya, terasa hanyut dan bersatu turun ikut hingga ke jantung

Seperti itukah ia memaknai rindu? Semakin berwujud meski bisik dan langkah sanak terdekat kirimkan pengganti orang yang perkasa

;tunggu, biarlah Tuhan tak kan berbohong

Seorang Ibu paruh baya menguatkan lalu bersamanya bangun gurat senyum dalam do'a

lalu, pada angin di 14 ini sepucuk tanya hendak bersua; sedang apakah wahai kau disana?

Lembaran Sunyi, 14 Agustus 2013
Buku berlembar sunyi mengadu
Di malam berderai cemara
Tangismu luluhkan pengaduan tentang cinta yang tak berestu zaman

Menghidupkan jiwa, menghembuskan nyawa bersama bebatuan yang dipahat nenek moyang dahulu lalu ternisankan buih mesramu disana

Sebut namaku, maka aku akan datang mengetuk jendela berdasar mahoni dari hutan kamboja. ternyata kau menunggu dan aku tak pahami

Kau pintar membuat bayang, saban kali terlukis sampai dilangitnya venus lalu hilang tanpa iringan tertinggal

Kau menunggu lalu hilang, aku terjaga dan bersaksi atas lembaran sunyi, kini dengan berpejam mata kita berselisih jarak; fisik dan ghaib

(pray for Mesir), 14 Agustus 2013
Disini hendak ku bentangkan kain berbulu hangat lalu siap dengan kapuk empuk beralas kantung dari selendang halus, tibalah pembaringan duniawi menjelma sambut kepakan mimpi dilorong malam yang sepi

Disana darah berkobar undang malaikat pencabut nyawa, gema takbir adalah gaungan sakral pemecah kebisuan. Bahwa Allah bersamanya, bersama mereka pada syuhada

Disini dalam pembaringan selepas wudu terlaksana, debar jantung tak menentu apakah esok tetap bernafas atau tidak, lalu jaminan apa yang dipunya?

Disana meski air mata menjelma rasa perih tertinggal kekasih namun senyum diemban bibir karena muhajidin terjamin balasnya, surga

Disini negeriku ramai oleh petinggi yang terduga suapan uang
Disana negerinya ramai oleh dentuman laras panjang dan jeritan tangis haru

Disini Allah limpahkan kedamaian dengan ujian kesenangan dan ketidakadilan
Disana Allah limpahkan rahmatNya, hati yang sabar dan lapang hidupkan para pejuang Islam untuk bersatu seperti Nabi dan Umatnya terhadulu

Pose Bersahaja, 17 Agustus 2013
Teristimewa untuk; teman-teman satu angkatan dan adik tingkat

Membentuk remahan senja diujung gandasari, rembulan itu tersamarkan neon juga bohlam pengisi ruang bumi, lalu bagai peda belasan tubuh insan terhunyung kekanan kekiri cukup sang petunjuk jalan berperan dalam kuasanya bersama diamnya penumpang merengkuh kenangan asa dalam memori.

Sebuah memori berisikan muda mudi yg berjalan diratusan hasta tanah, mengabadikan potret kenangan untuk sebuah senyuman jika masa tua menjelang.
Selagi semua belum islah dalam keteraturan waktu berpisah adalah pose-pose bersahaja menjadi tuntunan wajib untuk dikenang.

Esok atau lusa jika masa telah cukup tanggalkan almamater tercinta, kemudian hari berubah dalam rangkaian hiruk pikuk lembaran kertas bergambar monyet sampai pahlawan, atau pelaminan satu dan lainnya mulai didirikan hingga jerit tangis buah hati warnai keseluruhan waktu, maka ini adalah saat untuk dikenang. Untuk dijadikan pelipur lara jika rindu menyerang.

Yang membuat bangga dan bahagia ialah ada diantara kalian

Purnama Saja Kalah, 19 Agustus 2013
Singkat saja pertanyaanku Say,
apa kabarnya pavilyun kita saat ditatap purnama yang menguning keemasan?
lalu aku teringat bagaimana kau lirihkan buih-buih piramida di suatu padang pasir yang panas
Matamu membulat penuh, cela hitam guratkan sinar-sinar rajukan tanpa penawar

Sementara, aku memilah rangkaian nafas agar tak terlanjur sesal jika esok atau lusa semua terjadi dan aku tak kembali

Seruanmu menajam, sunyi didetik-detik selanjutnya, embun bening lantas berurai

Singkat pertanyaanmu;
mati syahid atau hidup mulia Bi?
Aku tertusuk. Malu. Berbahagia.

Disini aku hitung purnama yang jatuh pada almanak negerimu, sedang indah-indahnya purnama ku yakin. Namun nampaknya purnama itu kalah disinaran matamu Sayangku, sinaran semangat untuk aku kobarkan bendera perjuangan

"mukmin itu satu Bi. Sodara kita sakit, maka sakitpula hati ini"

Aku melembut oleh do'a lalu berdiri dan berjuang untuk kebahagiaan hakiki

Dimana Tuhan? Dekat dihatiku, kini..., 23 Agustus 2013
; Ia adalah aku yang terpenjara keringat fana

Seketika embun-embun diprasasti ini menyulap nafas, beku
Sebuah kalung bergiok hijau menari gemulai dalam pahatan dewi sang maqam ragawi, ia di dalam dengan selendang sutera emak Hastaqami tersungkur ditengah ruang bersekat polino hitam

Sesungguhnya itulah diriku, yang menjaja eloknya paras fisikku ditelaah orang-orang dalam bingkai indahnya permadani, namun jauh didalam aku terjatuh karena pakian penuh rupiah yang melekat hanyalah sekedar nama dari pembuat baju tanpa cahaya iman hingga gelap penjagaan atasku

Dimana Tuhan,
Tak ada alasan aku tak menemuinya
Aku lepas atribut kecintaan duniaku untuk hidup dengan sinar terangNya

Dimana Tuhan,
Aku cari juntaian kain gelapku
Kali ini gelap untuk cahayaku, agar tertunduk mata lain sesamaku

Dimana Tuhan,
Aku ingin meminta agar dikuatkan tekadku, diistiqomahkan jalanku, dan dipermudah niatku

Dimana Tuhan,
dihatiku kini dekat denganku tidak lagi perancang Hastaqami yang berucap "kulitmu indah, aku buat ini untukmu, agar cantik dirimu dipuja lelaki"

Ketahuilah, 26 Agustus 2013
Ketahuilah, 
Aku tidak pernah memikirkan sesuatu apapun, selain kamu adalah perempuan beruntung yang berdiri dibumi ini 
Langkahmu semakin nyata untuk sempurnakan separuh dari agamamu, 
Ketahuilah, 
Aku tidak pernah memikirkan sesuatu apapun, selain kamu adalah perempuan beruntung dengan eloknya paras dan jernihnya hati serta fikirmu kemudian anggunnya lampahmu, 
Ketahuilah, 
Aku tidak pernah memikirkan sesuatu apapun, selain kamu adalah perempuan beruntung yang bertemu pangeran idaman dengan indahnya akhlak ia, 
Ketahuilah,
Jika aku saat ini aku tengah mengatur jarak, mengatur haluan nafas, mengatur eratan hubungan agar bisikan syetan tak runtuhkan pertahanan hatiku, 
 Kekasihmu itu, satu dari seribu yang aku temui;
tak cukup kokoh pilihannya berjalan diatas syariat agama ini, tapi dia... suatu yang menarik dimiliki bersinar pancaran wajahnya 
lalu bagaimana aku ini?
memalingkan hati lebih utama daripada tundukan mata, 
Ketahuilah, 
Aku sangat malu pada Tuhan 
Sampai mana kuasa hatiku atas ini, 
Jika saat ini kau mendapatkan yang diharapkan maka wajarlah ia hadir karena janji Tuhan amat nyata atasmu 
"perempuan baik untuk lelaki baik, perempuan keji untuk lelaki keji"
 Lalu ketahuilah, 
Semakin dekat hari bahagia itu, aku tak bisa berkata apapun... 
Seperti paku-paku yang menanggalkan ujung runcingnya disekujur tubuhku apa yang terjadi maka aku hanya mampu melihat dan menerima, 
 Terakhir ketahuilah, 
Nampaknya aku harus becermin darimu, 
Belajar banyak darimu, 
Pahami kuasa Tuhan atas semesta ini, 
Kemudian memberi pelukan selamat untukmu.

Di cari orang solih, 27 Agustus 2013
;Kau tahu rasa apa ini yang mendebarkan lalu mengiris palung hati?. Jika nampaknya aku adalah manusia yang bergumul dengan ego serta luruh dalam riak embun diantara kornea dan pupil. Perempuan jika rasanya bermain maka lubang sebesar piramidpun tak lantas mampu menambal. Mengertilah, ini bukan tentang dewi cupid yang panahkan busur merah jambunya. Tapi tentang engkau.... yang kini bersemayam dipeluk Tuhan Yang Maha Esa.
Duniaku, matanya berkaca dapati makhluk pengisinya patuhi dirinya semata
Dicari orang Solih! 
Kriteria tidak memandang usia, cukuplah baginya teladani Rosul yang mulia
Disaat rindu terlisan dalam gema Solawat, ia berdiri luruskan niat dan lapangkan pandangan untuk akhirat agar selamat
 Dicari orang Solih!
Kriteria tidak memandang ras dan keturunan, cukuplah baginya teladani Rosul, patuhi titah Tuhan Yang Maha Berkenan

Tidak ada komentar:

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS