Pages

Bukan Teroris

Senin, 20 Januari 2014



               Seorang Ibu berwajah gelisah tak henti mondar mandir di depan pintu, sesekali kepalanya menyembul ke luar lihat pagar yang tak juga berderak tanda seseorang masuk ke pelataran rumah. Berulang kali hanya menyembulkan kepala kini ia buka pintu rumah itu dan berjalan masuki teras berkeramik putih susu. Angin sore yang lembab seolah tebarkan pecahan beling disekujur tubuhnya hingga terasa perih menyapa kulit.

                “Sudahlah Bu nanti Irawan pulang, jangan ditunggu seperti itu. Ayo masuk sudah mau Magrib” Bapak berkata bijak dari belakang, mendengar Magrib hati Ibu justru semakin tak karuan itu tandanya 12 jam sudah Irawan keluar dari rumah tanpa kabar apapun seperti biasanya.

                “Bapak, Ibu punya firasat tak enak” Jemari Ibu saling bertautan dua jempolnya bergesekan satu sama lain ketara sekali gelisah yang menyergap dadanya.

                “Irawan, putra kita itu usianya sudah matang, 20 tahun Bu... dia dewasa. Bukannya Ibu senang kalau Irawan pergi keluar?”

                “Ini lain Pak... satu minggu ini Irawan sering sekali keluar lama, Ibu tanya pergi kemana cuman bilang ke rumah temannya, ibu kejar jawaban dia memang teman yang mana? Dimana rumahnya? Dia hanya jawab sekenanya, teman di luar komplek”

                “Baguslah Bu.. berarti pergaulannya kini meluas, kepercayaan dirinya mulai tumbuh”

                Irawan 20 tahun, anak sulung dari dua bersaudara. Lelaki yang seharusnya berada di usia dewasa muda namun menderita kelainan respon intelektual dan emosional sebab pelecehan sosial yang sewaktu kecil ia rasakan, bulliying dari teman-teman sekolah dasarnya oleh karena kulit wajahnya yang hitam lebam. Seorang psikolog menyatakan bahwa Irawan kecil menderita gangguan kejiwaaan, harga diri rendah. Irawan menjadi seorang anak yang sangat tertutup, jika berinteaksipun ia tak mampu bertatapan mata dengan lawan bicaranya beranjak usia pubertas gangguan kejiwaan Irawan tak juga berangsur hilang bahkan semakin jauh ia terjerembab dengan dunia serba tertutupnya.

****

                “Bu, Irawan punya teman baru. Mereka baik-baik” Suatu pagi sebelum berangkat ke sekolah luar biasa kelas 12 Irawan berbicara kepadanya Ibunya.

                “Oh ya teman di sekolah Irawan?” Gelengan kepala menjawab pertanyaan Ibunya.

                “Irawan belajar membuat petasan besar....”

                “Untuk apa? Awas berbahaya. Kalau nanti buat tahun baru kita beli saja enggak perlu buat sendiri”

                Irawan diam memutuskan pembicaraan dengan Ibunya.  Di dunia ini yang mampu berbicara dengan Irawan hanya Ibunya sendiri, pertalian batin antara ibu dan anak membuat Irawan yang seharusnya berada di rumah sakit jiwa untuk dapatkan pengobatan yang lebih ektra bagi kesembuhannya terbantu oleh kedekatan emosional antara dirinya dengan Ibu. Ibu bahkan mengorbankan seluruh dirinya bagi Irawan, ia pensiun muda dari pekerjaan sebagai Guru Kimia, setelah kelahiran putra kedua Ibu yang kini sedang pesantren di Gontor Ibu memasang alat kontrasepsi padahal sebelumnya ia amat antipati dengan program pemerintah yang beslogan “dua anak cukup” itu, sebab baginya hal tersebut adalah bagian dari konsiprasi orang Yahudi untuk membuat tatanan dunia baru dengan salah satu agendanya yakni depopulation.

                “Ibu, Irawan sakit hati sama Rudi dan teman-temannya...”

                “Itukan dulu Nak, waktu Irawan kecil sekarang jangan ingat-ingat lagi kejadian itu Irawan sudah besar, sudah jadi anak kuat”

                “Tapi Irawan sakit Bu... sakit... di dunia ini semua orang jahat kecuali Ibu....” Irawan berlari kepelukan Ibunya bahkan kini tubuhnya yang tinggi besar dapat memeluk seluruh tubuh Ibunya yang berperawakan kecil. Dada Irawan turun naik seolah menyimpan luar biasa kesakitan di hatinya.

Padahal sudah belasan tahun itu berlalu Nak.... batin Ibu ingin menjerit. Seharusnya diusiamu yang sekarang kamu mulai pertemukan Ibu dengan kekasihmu, Ibu membayangkan kamu datang ke rumah membawa perempuan cantik yang menyapa Ibu dengan salam kemudian mencium tangan Ibu, sambil tersipu perempuan yang kamu bawa itu lantas memperkenalkan namanya... Ibu akan sangat bahagia Irawan.

****

                “Ayo Bu... kita masuk saja kedalam....” Bapak memecah lamunan Ibu, dirangkulnya pundak Ibu dan tanpa perlawan wanita berkepala empat itu menerimanya.

                Selepas shalat Magrib hati Ibu belum menandakan tanda-tanda ketenangannya, meski belum beranjak dari duduk dibelakang Bapak sebagai makmum dan mendengarkan Bapak melafalkan do`a keselamatan pikirannya tak jua fokus.

                “Istigfar Bu... Bapak sedang mohonkan do`a keselamatan, Ibu kenapa malah seperti ini” Gusar pula Bapak oleh sikap Ibu yang menurutnya kini mulai keterlaluan.

                “Bapak, kemarin Ibu lihat Irawan membereskan bahan-bahan seperti aluminium powder, magnesium powder, termit, fenil merkuri asetat, dan kalium sianida ke ranselnya. Ibu sempat memegang barang-barang itu tapi cepat Irawan mengambilnya. Ibu yakin itu bahan peledak Pak, Ibu ini mantan Guru Kimia”

                Tok...tok...tok... suara ketukan pintu memotong pembicaraan Ibu dan Bapak, keduanya dengan dada bergetar keluar dari mushola rumah untuk membuka pintu dengan secepatnya.

                “Ada apa Pak Husen?” Tanya Bapak cepat, kini hatinya mulai dirundung was-was.

                “Irawan Pak... Bu.....”

                Mendengar namanya disebut dengan mukena yang masih dikenakan Ibu lunglai lalu roboh ke tanah, pingsan.

****

                “Irawan tak bermaksud menyakiti hati Ibu. Maafkan Irawan Bu, di dunia ini semua orang jahat kecuali Ibu... Irawan benci semua orang kecuali Ibu, mohon ikhlaskan Irawan ya....”

                Ibu terbangun, bayangan anaknya datangi tidur lama Ibu. Banyak orang mengerumuni wanita yang kini sebagian dadanya telah terbelah bahkan porak-poranda.

                “Aku ingin sholatkan anakku....” Ucap Ibu dengan air mata meleleh.

                Seorang kerabat membopong tubuh Ibu menuju tempat wudu. Sekilas Ibu lihat keluar rumah terdapat dua orang yang memegang kamera dan satu orang perempuan dengan microphone ditangannya.

                “Melaporkan langsung dari kediaman tersangka teroris Sabila Irawansyah.....” Akhir kalimat yang diucapkan perempuan yang ternyata seorang reporter berita.

                “Anakku, bukan teroris......” Jerit Ibu sekuat tenaga membuat semua orang yang mendengarnya menolehkan kepala termasuk sang juru kamera yang belum menekan tombol off kameranya.

                Wajah seorang Ibu yang terpukul atas kepergian anak kesayangannya secara tiba-tiba dengan kejadian luar biasa menimpa akhir hidupnya terekam kamera dan menjadi liputan langsung acara berita.

-SELESAI-

Tidak ada komentar:

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS