Ada yang lain dari matamu siang
ini, tertunduk dan berkabut. Duduk disampingmu sudah berbagai jurus
dilemparkan. Berkicau pancingan ringan sampai topik yang biasanya menggugah
semangatmu, tingkah amoral pejabat negara beserta pandangan khas orang idealis
memandang isu pemerintahan. Kamu dan aku yang tak luruh semangatnya meski jaman
kita bukan lagi masa demo Reformasi dulu. Sisa-sisa aktivis belum hilang
seluruhnya dari hidup kita, Zakarya.. itu yang selalu kamu dengungkan bila
sudah berkobar obrolan kita. Lalu bukanlah kalimat itu yang juga mempertemukan
kita kembali?.
“Nilai anak saya lebih kecil
dibanding temannya yang mencontek jawaban ujian”
“Mohon dimaklum Bu, proses
belajar kami sedang membiasakan untuk berlatih kejujuran”
“Loh anak kelas 3 SD masa masih
belajar? Jadi, pelajaran Kewarganegaraan itu hanya sebatas pemahaman saja bukan
penerapan?”
“Lagi pula saya sangat keberatan
atas ketidak adilan yang diterima anak saya, bukan hanya soal nilai tapi esensi
yang ada dibaliknya. Sering kita anggap ini masalah kecil makanya mata kita
tertutup untuk mencari jalan keluarnya”
“Mohon maaf, untuk anak Ibu kami
akan pertimbangkan kembali untuk memberinya reward”
“Oh tidak saya tidak
mengharapkan itu, saya tidak mau setelah ini anak saya mendapatkan perhatian
khusus dari pihak sekolah apalagi reward. Lagi pula reward untuk apa? Tidak ada
yang luar biasa dan bukannya nilai anak saya dibawah nilai teman-temannya?”
Pagi yang hening seketika
berubah tegang oleh kedatangan seorang wanita berusia di kepala tiga dengan
blazzer dan sepatu hak berdiri di ruangan guru. Mendengar ucapannya sekilas aku
berbisik pada Haryono agar segera menyelesaikan masalah di luar. Haryono bilang
tenang saja, guru-gurunya masih bisa mengatasi. Oke lah kalau begitu semua
terserah Kepala Yayasan sekaligus Bapak Kepala Sekolah, aku sebagai sahabat
lama dan rekan yang berkunjung karna ada pekerjaan hanya mengingatkan.
Keperluanku dengan Haryono selesai
sudah, perusahaanku membuat kesepakatan project dengan yayasan yang dimiliki
Haryono. Saat berdiri dari kursi empuk ruangan Haryono, telpon kantornya
berdering.
“Orang tua siswa ingin bertemu
denganku. Kau tunggu saja disini, luangkan hari ini?”
“Untuk apa? Enggak...”
Tok...tok...
“Terimakasih sudah mengijinkan
saya masuk, Bapak kepala sekolah”
“Oh ya.. orangtua dari Rizya
Farhan silahkan duduk.. hhm Pak Zakarya anda juga silahkan kembali duduk”
Mata kita bertemu pandang. Tidak
ada yang berubah selain rambutmu yang digelung tak lagi terurai panjang.
Ruangan yang dingin AC bukan terik matahari yang menyengat namun satu tetap
wajahmu gusar oleh ketidak nyamanan.
****
Sejak itu tiap setiap waktu
kosong kita gunakan untuk bernostagia, sekedar makan siang sampai sesekali
makan malam. Pun ada kalanya kisah masa lalu hangat dibincangkan. Kamu sering
meringis mengenang aku yang tiba-tiba hilang dari keramaian kampus, sangat
jahat kamu bilang.
“Orangtuaku khawatir melihat
hobi demo anaknya, takut pendidikan terbengkalai sampai akhirnya aku dikirim ke
Australia untuk melanjutkan kuliah disana”
“Tapi kenapa gak bilang-bilang
dulu?”
“Memang kenapa kamu patah hati
ya Merry?”
Tidak dijawab, sungguh
pertanyaan bodoh. Mana ada kekasih yang senang ditinggalkan begitu saja oleh
pacarnya. Aku tidak tahu luka sebesar apa yang aku tinggalkan dihatimu tapi
yang jelas aku tahu, kamu tersiksa hidup tanpa aku.
“Dua tahun setelah kelulusan aku
masih tunggu kamu Zak dan itu ku pikir menjadi hal yang sangat membuang-buang
waktu, akhirnya aku menikah dan punya dua orang anak. Bagaimana denganmu?
“Anakku sudah besar sebentar
lagi punya cucu”
“Hah! Jadi kau menikah sangat
cepat? Jahat kamu Zak, aku tunggu kamu sementara kamu enteng sekali buat nikah”
“Enggak bukan! Aku tidak nikah,
Mer”
“Kumpul kebo?”
“Kumpul kebo?”
“Ya ampun takut banget!
amit-amit dah!!”
“Terus anakmu yang sekarang lagi
mengandung itu apa dong?”
“Aku belum nikah.. dia anak
angkatku”
“Kenapa?”
“Aku ingin istri yang idealis”
****
Teringat perkataan guru sejarah
waktu SMA dulu, “mau rumahtangga aman?
Hindari pertemuan dengan cinta pertama”.
Aku dan kamu menjadi semakin
sering bertemu, menjelajah kenangan kita lakukan. Tempat nongkrong yang satu
dan yang lainnya disambangi. Paling sering jajan makanan khas masa kuliah yang
rasanya tetap saja nikmat. Pernah aku bertanya keadaan cintamu, kamu Merry
hanya tersenyum serta menangkat pundakmu ke udara. Dimana suamimu? Kamu hanya
gelengkan kepala. Aku juga sempat layangkan perkataan jika dalam agama istri
orang bertemu lelaki lain dengan disengaja tidak boleh hukumnya, kamu kemudian
tak bereaksi apa-apa selain lurus menatap kedepan kemudian menundukkan kepala.
Lama kelamaan akupun jengah dengan sikapmu, hingga aku putuskan tidak
menghubungimu lagi, mengakhiri pertemuan-pertemuan kita dan tersadar penuh
terhadap perkataan guru sejarahku. Hina sekali jika aku menjadi perusak
keharmonisan keluargamu.
“Zak, aku ingin bertemu....”
Demi apapun sebetulnya aku
rindu. Oh Tuhan! Maafkan aku.
“Ada yang ingin aku
bicarakan....”
Pesan Merry kembali masuk
setelah 30 menit aku tak juga membalasnya.
“Penting tidak Mer?”
Jual mahal sekali balasanku ini,
berusaha sempurna bohongi diri sendiri.
“Bagaimana kamu menerimanya....”
****
Tibalah di hari ini, di siang
yang dingin dan sepi oleh sikap diammu.
Mulai aku bertanya-tanya dalam diri perihal keadaan suamimu, mungkin
suami Merry ingin bertemu denganku? Mengajakku berduel serta berucap sumpah serapah
karna telah mengganggu kedamaian rumahtangganya. Ah tidak! Cairkan dulu suasana
sebelum pikiranku berkhayal lebih jauh. Merry harus berhasil aku ajak bicara
dulu setelah itu aku akan ucapkan maaf dan selamat tinggal untuk selamanya.
Tapi sungguh, hatiku berdesir seperti ada luka yang disayat, tenggorokanku
seolah disesaki batu tajam saling tikam, bergejolak. Sesekali untuk
mengatasinya aku hembuskan nafas berat, tanganku sudah dingin pula. Seperti ABG
saja kupikir. Tapi memang benar ini yang aku rasa. Berpisah setelah bertemu
kembali cinta lama merupakan penderitaan.
Hhmmpuh....
Merry menarik nafas dan
mengeluarkannya, suara yang sama beratnya hingga terdengar olehku. Sebentar
lagi kamu akan bicara. Aku tunggu Merry apapun yang akan kamu bicarakan, aku
siap menerimanya.
“Zak, suamiku 5 tahun yang lalu
meninggal dunia. Mau tidak kamu nikahi seorang janda?”
Aku tidak bisa berkata-kata.
Jadi ini yang ditinggalkan
takdir?.
Cinta-cinta.... tak ada yang
disangka akan dibawa kemana rasa dan masa di depan mata.
-SELESAI-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar