Pages

Cinta ke Dua Mantan Aktivis

Selasa, 14 Januari 2014

  


                Ada yang lain dari matamu siang ini, tertunduk dan berkabut. Duduk disampingmu sudah berbagai jurus dilemparkan. Berkicau pancingan ringan sampai topik yang biasanya menggugah semangatmu, tingkah amoral pejabat negara beserta pandangan khas orang idealis memandang isu pemerintahan. Kamu dan aku yang tak luruh semangatnya meski jaman kita bukan lagi masa demo Reformasi dulu. Sisa-sisa aktivis belum hilang seluruhnya dari hidup kita, Zakarya.. itu yang selalu kamu dengungkan bila sudah berkobar obrolan kita. Lalu bukanlah kalimat itu yang juga mempertemukan kita kembali?.

  “Nilai anak saya lebih kecil dibanding temannya yang mencontek jawaban ujian”

 “Mohon dimaklum Bu, proses belajar kami sedang membiasakan untuk berlatih kejujuran”

 “Loh anak kelas 3 SD masa masih belajar? Jadi, pelajaran Kewarganegaraan itu hanya sebatas pemahaman saja bukan penerapan?”

 “Lagi pula saya sangat keberatan atas ketidak adilan yang diterima anak saya, bukan hanya soal nilai tapi esensi yang ada dibaliknya. Sering kita anggap ini masalah kecil makanya mata kita tertutup untuk mencari jalan keluarnya”

 “Mohon maaf, untuk anak Ibu kami akan pertimbangkan kembali untuk memberinya reward”

“Oh tidak saya tidak mengharapkan itu, saya tidak mau setelah ini anak saya mendapatkan perhatian khusus dari pihak sekolah apalagi reward. Lagi pula reward untuk apa? Tidak ada yang luar biasa dan bukannya nilai anak saya dibawah nilai teman-temannya?”

         Pagi yang hening seketika berubah tegang oleh kedatangan seorang wanita berusia di kepala tiga dengan blazzer dan sepatu hak berdiri di ruangan guru. Mendengar ucapannya sekilas aku berbisik pada Haryono agar segera menyelesaikan masalah di luar. Haryono bilang tenang saja, guru-gurunya masih bisa mengatasi. Oke lah kalau begitu semua terserah Kepala Yayasan sekaligus Bapak Kepala Sekolah, aku sebagai sahabat lama dan rekan yang berkunjung karna ada pekerjaan hanya mengingatkan.

              Keperluanku dengan Haryono selesai sudah, perusahaanku membuat kesepakatan project dengan yayasan yang dimiliki Haryono. Saat berdiri dari kursi empuk ruangan Haryono, telpon kantornya berdering. 

 “Orang tua siswa ingin bertemu denganku. Kau tunggu saja disini, luangkan hari ini?”

“Untuk apa? Enggak...”

  Tok...tok...

 “Terimakasih sudah mengijinkan saya masuk, Bapak kepala sekolah”

“Oh ya.. orangtua dari Rizya Farhan silahkan duduk.. hhm Pak Zakarya anda juga silahkan kembali duduk”

                Mata kita bertemu pandang. Tidak ada yang berubah selain rambutmu yang digelung tak lagi terurai panjang. Ruangan yang dingin AC bukan terik matahari yang menyengat namun satu tetap wajahmu gusar oleh ketidak nyamanan.

****

                Sejak itu tiap setiap waktu kosong kita gunakan untuk bernostagia, sekedar makan siang sampai sesekali makan malam. Pun ada kalanya kisah masa lalu hangat dibincangkan. Kamu sering meringis mengenang aku yang tiba-tiba hilang dari keramaian kampus, sangat jahat kamu bilang.

“Orangtuaku khawatir melihat hobi demo anaknya, takut pendidikan terbengkalai sampai akhirnya aku dikirim ke Australia untuk melanjutkan kuliah disana”

 “Tapi kenapa gak bilang-bilang dulu?”

“Memang kenapa kamu patah hati ya Merry?”

           Tidak dijawab, sungguh pertanyaan bodoh. Mana ada kekasih yang senang ditinggalkan begitu saja oleh pacarnya. Aku tidak tahu luka sebesar apa yang aku tinggalkan dihatimu tapi yang jelas aku tahu, kamu tersiksa hidup tanpa aku.

“Dua tahun setelah kelulusan aku masih tunggu kamu Zak dan itu ku pikir menjadi hal yang sangat membuang-buang waktu, akhirnya aku menikah dan punya dua orang anak. Bagaimana denganmu?

 “Anakku sudah besar sebentar lagi punya cucu”

 “Hah! Jadi kau menikah sangat cepat? Jahat kamu Zak, aku tunggu kamu sementara kamu enteng sekali buat nikah”

 “Enggak bukan! Aku tidak nikah, Mer”

“Kumpul kebo?”

“Ya ampun takut banget! amit-amit dah!!”

“Terus anakmu yang sekarang lagi mengandung itu apa dong?”

 “Aku belum nikah.. dia anak angkatku”

  “Kenapa?”

 “Aku ingin istri yang idealis”

                                                                                               ****              
                   
       Teringat perkataan guru sejarah waktu SMA dulu, “mau rumahtangga aman? Hindari pertemuan dengan cinta pertama”.

             Aku dan kamu menjadi semakin sering bertemu, menjelajah kenangan kita lakukan. Tempat nongkrong yang satu dan yang lainnya disambangi. Paling sering jajan makanan khas masa kuliah yang rasanya tetap saja nikmat. Pernah aku bertanya keadaan cintamu, kamu Merry hanya tersenyum serta menangkat pundakmu ke udara. Dimana suamimu? Kamu hanya gelengkan kepala. Aku juga sempat layangkan perkataan jika dalam agama istri orang bertemu lelaki lain dengan disengaja tidak boleh hukumnya, kamu kemudian tak bereaksi apa-apa selain lurus menatap kedepan kemudian menundukkan kepala. Lama kelamaan akupun jengah dengan sikapmu, hingga aku putuskan tidak menghubungimu lagi, mengakhiri pertemuan-pertemuan kita dan tersadar penuh terhadap perkataan guru sejarahku. Hina sekali jika aku menjadi perusak keharmonisan keluargamu.

“Zak, aku ingin bertemu....”
Demi apapun sebetulnya aku rindu. Oh Tuhan! Maafkan aku.

“Ada yang ingin aku bicarakan....”
Pesan Merry kembali masuk setelah 30 menit aku tak juga membalasnya.

“Penting tidak Mer?”
Jual mahal sekali balasanku ini, berusaha sempurna bohongi diri sendiri.

“Bagaimana kamu menerimanya....”

****

                Tibalah di hari ini, di siang yang dingin dan sepi oleh sikap diammu.  Mulai aku bertanya-tanya dalam diri perihal keadaan suamimu, mungkin suami Merry ingin bertemu denganku? Mengajakku berduel serta berucap sumpah serapah karna telah mengganggu kedamaian rumahtangganya. Ah tidak! Cairkan dulu suasana sebelum pikiranku berkhayal lebih jauh. Merry harus berhasil aku ajak bicara dulu setelah itu aku akan ucapkan maaf dan selamat tinggal untuk selamanya. Tapi sungguh, hatiku berdesir seperti ada luka yang disayat, tenggorokanku seolah disesaki batu tajam saling tikam, bergejolak. Sesekali untuk mengatasinya aku hembuskan nafas berat, tanganku sudah dingin pula. Seperti ABG saja kupikir. Tapi memang benar ini yang aku rasa. Berpisah setelah bertemu kembali cinta lama merupakan penderitaan.

                Hhmmpuh....

                Merry menarik nafas dan mengeluarkannya, suara yang sama beratnya hingga terdengar olehku. Sebentar lagi kamu akan bicara. Aku tunggu Merry apapun yang akan kamu bicarakan, aku siap menerimanya.

“Zak, suamiku 5 tahun yang lalu meninggal dunia. Mau tidak kamu nikahi seorang janda?”

                Aku tidak bisa berkata-kata.
                Jadi ini yang ditinggalkan takdir?.
    Cinta-cinta.... tak ada yang disangka akan dibawa kemana rasa dan masa di depan mata.
-SELESAI-




Tidak ada komentar:

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS