Di bawah ini ada satu puisi yang membuat saya merinding. Mata saya panas saat membaca bait per bait diksi di
dalamnya, terlebih murobi bercucuran air mata saat mengulas kembali perjalanan dakwah. Sebuah puisi yang memiliki jiwa, memang tidak dirangkai dengan majas
atau perumpamaan namun ruh di dalamnya tak kuasa hentakkan dada.
Untuk aktivis dakwah mungkin tak asing dengan puisi
karya Ust. Rahmat Abdullah ini, tapi bagi saya pribadi yang baru membacanya, Ya
Allah hati tersayat....
Aku
Rindu Dengan Zaman Itu
Aku rindu zaman ketika “halaqoh” adalah kebutuhan,
bukan sekedar sambilan apalagi hiburan
Aku rindu zaman ketika “membina” adalah kewajiban,
bukan pilihan apalagi beban dan paksaan
Aku rindu zaman ketika “dauroh” menjadi kebiasaan,
bukan sekedar pelengkap pengisi program yang dipaksakan
Aku rindu zaman ketika “tsiqoh” menjadi kekuatan,
bukan keraguan apalagi kecurigaan
Aku rindu zaman ketika “tarbiyah” adalah pengorbanan,
bukan tuntutan dan hujatan
Aku rindu zaman ketika “nasihat” menjadi kesenangan,
bukan su’udzon atau menjatuhkan
Aku rindu zaman ketika kita semua memberikan segalanya untuk da’wah ini
Aku rindu zaman ketika “nasyid ghuroba” menjadi lagu kebangsaan
Aku rindu zaman ketika hadir di “liqo” adalah kerinduan, dan terlambat adalah kelalaian
Aku rindu zaman ketika malam gerimis pergi ke puncak mengisi dauroh
dengan ongkos ngepas dan peta tak jelas
Aku rindu zaman ketika seorang ikhwah benar-benar jalan kaki 2 jam di malam buta sepulang tabligh dakwah di desa sebelah
Aku rindu zaman ketika akan pergi liqo selalu membawa uang infak, alat tulis, buku catatan dan Qur’an terjemahan ditambah sedikit hafalan
Aku rindu zaman ketika seorang binaan menangis karena tak bisa hadir di liqo
Aku rindu zaman ketika tengah malam pintu depan diketok untuk mendapat berita kumpul subuh harinya
Aku rindu zaman ketika seorang ikhwah berangkat liqo dengan ongkos jatah belanja esok hari untuk keluarganya
Aku rindu zaman ketika seorang murobbi sakit dan harus dirawat, para binaan patungan mengumpulkan dana apa adanya
Aku rindu zaman itu,..
Aku rindu…Ya ALLAH,..
Jangan Kau buang kenikmatan berda’wah dari hati-hati kami…
Jangan Kau jadikan hidup ini hanya berjalan di tempat yang sama…
Aku rindu zaman ketika “halaqoh” adalah kebutuhan,
bukan sekedar sambilan apalagi hiburan
Aku rindu zaman ketika “membina” adalah kewajiban,
bukan pilihan apalagi beban dan paksaan
Aku rindu zaman ketika “dauroh” menjadi kebiasaan,
bukan sekedar pelengkap pengisi program yang dipaksakan
Aku rindu zaman ketika “tsiqoh” menjadi kekuatan,
bukan keraguan apalagi kecurigaan
Aku rindu zaman ketika “tarbiyah” adalah pengorbanan,
bukan tuntutan dan hujatan
Aku rindu zaman ketika “nasihat” menjadi kesenangan,
bukan su’udzon atau menjatuhkan
Aku rindu zaman ketika kita semua memberikan segalanya untuk da’wah ini
Aku rindu zaman ketika “nasyid ghuroba” menjadi lagu kebangsaan
Aku rindu zaman ketika hadir di “liqo” adalah kerinduan, dan terlambat adalah kelalaian
Aku rindu zaman ketika malam gerimis pergi ke puncak mengisi dauroh
dengan ongkos ngepas dan peta tak jelas
Aku rindu zaman ketika seorang ikhwah benar-benar jalan kaki 2 jam di malam buta sepulang tabligh dakwah di desa sebelah
Aku rindu zaman ketika akan pergi liqo selalu membawa uang infak, alat tulis, buku catatan dan Qur’an terjemahan ditambah sedikit hafalan
Aku rindu zaman ketika seorang binaan menangis karena tak bisa hadir di liqo
Aku rindu zaman ketika tengah malam pintu depan diketok untuk mendapat berita kumpul subuh harinya
Aku rindu zaman ketika seorang ikhwah berangkat liqo dengan ongkos jatah belanja esok hari untuk keluarganya
Aku rindu zaman ketika seorang murobbi sakit dan harus dirawat, para binaan patungan mengumpulkan dana apa adanya
Aku rindu zaman itu,..
Aku rindu…Ya ALLAH,..
Jangan Kau buang kenikmatan berda’wah dari hati-hati kami…
Jangan Kau jadikan hidup ini hanya berjalan di tempat yang sama…
*
Murobi,
orang-orang ikhlas yang membagikan ilmu, menyampaikan
nasihat dan meluangkan waktu. Ucapan murobi adalah kasih sayang, binaan
ibaratkan buah hati membuatnya seolah tak ingin kaki salah melangkah. Beri
perhatian, kesejukan dibalutan wajah bersih tanpa make up dan jilbab lebar
menjuntai ke lantai saat duduk. Ciuman pipi disertai ucapan diawal perjumpaan “Assalamualaykum
Ukhti” dan kalimat perpisahan yang menguatkan “Istiqomah yaa...” dengan
pegangan tangan erat.
Murobi,
jangan bayangkan mereka orang yang tak miliki kerjaan
hingga bisa luangkan waktu. Agenda mereka padat oleh pekerjaan dan kewajiban
sebagai istri dan ibu, tapi demi dakwah, demi generasi islami yang dimimpikan
semua menjadi perjuangan.
Di malam minggu ini yang melankolis,
izinkan saya berharap besar semoga Allah pertemukan
kita semua kelak di surga-Nya bersama terkasih Rosulullah. Hidayah milik Allah
namun lewat murobilah cahaya itu sampai, semoga pahala senantiasa mengalir....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar