Bangun.
Harum bunga mawar tercium sampai kamar, aku menoleh pasti karena jendela yang
lupa aku tutup semalam, gigil angin dingin merambat sampai tulang-tulangku.
Harum mawar dari taman milik ibu yang terletak di samping kamar belum usai
semerbakkan kamarku ini sementara telingaku menangkap bebunyian air yang jatuh
ke tanah juga hembusannya yang ku bayangkan menyiram bunga-bunga itu. Dengan
langkah yang berat aku turun dari kasur untuk menutup jendela, pagi ini aku
ingin tidur atau bahkan biarkan 24 jam putaran waktu hari ini aku diam dalam
kamar. Kepala seolah berputar, pusing tiada ketara meski jendela hanya berjarak
tiga langkah dari tempat tidur namun tubuhku bak tak bisa menopang langkah
kakiku. Jendela yang letaknya percis berhadapan dengan meja kecil tempatku
biasa menulis surat cinta untuk pujaan yang tak mampu ku ungkapkan lewat lisan.
Menuju jendela sama dengan aku duduk di meja itu yang artinya aku urai lagi
tangis semalam yang belum sirna. Lihat mataku di bayang cermin, sempurna
sembab, bengkak, rapat, saking derasnya cucuran air dari dalam mataku.
Benar-benar ngilu, benar-benar
sakit, terlebih saat aku berdiri tepat di depan jendela pun di depan meja yang
berantakan oleh kertas-kertas warna merah muda. Semalam aku curahkan seluruh
isi hatiku, hati yang tiga tahun ini terjejal oleh harapan cinta, bunga-bunga
yang tumbuh dalam hatiku, hari demi hari yang malamnya ku tutup dengan
penantian, maka ku tulis gejolak rasaku dalam keras, lantas aku tidur ditemani
dengan bayang kehadiran seorang dia yang selama ini aku kagumi dalam diam,
kemudian mimpiku adalah miliki dia seutuhnya, hidup dalam kebahagiaan aku dan
dia dalam sakralnya pernikahan.
Dan semua rutinitas malam hariku
harus aku pupus secara paksa semenjak hari kemarin saat amplop yang bewarna sama
merah muda sampai ke tanganku.
“Kantor sepi sekali Sa, pada kemana
ya?”
Elsa menghiraukan pertanyaanku kami
berdua menunggu pintu lift terbuka sampai masuk ke dalam lift aku edarkan
pandang, dalam lift ini hanya ada aku dan Elsa sementara hari-hari biasanya
penuh oleh sesama rekan kerja.
“Sa....”
“Apa Sof?”
“Iya, orang-orang pada kemana sih?”
“Kamu nanyain semua orang atau cuman
cari satu orang yang dari awal pintu masuk sampai lift ini belum kamu lihat?”
Aku mengernyitkan dahi yang beberapa
detik kemudian berubah senyum di bibirku, Elsa tepat sekali.
“Sof, aku sebetulnya males tanyain
ini ke kamu soalnya kalimat yang keluar dari mulutku akan sama kaya sinetron
tapi ya... sudahlah sekali-kali, aku memang harus bertanya ke kamu langsung”
“O..em...ji Elsa mau nanya aja pake
prolog sinetron segala, apa-apa silahkan....”
“Kamu dari sejak kapan menganggap
aku sahabat?”
“Lama.. dari SMA bukan ya?”
“Oke fix, SMA sampai sekarang kerja
berarti 10 tahun, bukan begitu?”
“SMA 3 tahun, kuliah 4 tahun, kerja
sekarang 3 tahun....”
“Tapi... kenapa kamu tak pernah
bicara tentang rasa sukamu?! Aku jadi bingung, kamu menganggap aku sahabat atau
tidak... padahal jika terjadi apa-apa denganmu saat kamu senang aku akan jauh
lebih senang dan saat kamu sedih aku akan rasain dukanya, kamu terlalu
menyimpannya rapat... seorang diri.... cinta dalam diam yang kamu bilang”
Sreeeeet pintu lift terbuka, Elsa
melangkah ke luar sementara aku masih mencerna rentetan kalimat yang baru
selesai dia bicarakan, punggung Elsa semakin menjauh tanpa menoleh padaku tak
lama orang-orang masuk ke dalam lift, aku mundur ke belakang, ikuti alur lift
yang akan membawaku ke lantai berikutnya.
****
Ramai sekali lantai tempat ku
bekerja sebagai editor naskah berita, beberapa wartawan lalu lalang dengan
senyum yang merekah, Aldais wartawan baru yang namanya sedang naik daun karena
beritanya yang mengangkat kisah hidup seorang nenek tua renta di daerah pelosok
Jawa Barat hingga membuat perhatian dari pemerintah kini lambaikan tangannya
padaku.
“Ke sini Mbak Sof!”
“Apa Al? Kamu sudah setor naskah?”
“Sudah Mbak, tapi ini ada berita
yang lebih fenomenal.....”
Aku mendekat ke bilik kerja tempat
teman-temanku berkerumun. Semua memasang wajah senang bahkan ada yang sampai
berteriak-teriak saking expresif dengan
perasaannya. Ku lihat Winda yang terkenal dengan ke-lebayan-nya hingga
menitikkan air mata.
“Eh orangnya sekarang dimana ya? Gue
belum lihat....”
“Ah gila bikin penasaran aja suer!”
“Hahaha udah dipingit kaliiiii,
calon pengantin!”
Potongan percakapan yang ku dengar
selintas, pengantin? Siapa yang menikah?.
“Huhuhu... Sof, undangan buatmu aku
simpan di meja kerjamu! Liat gih supaya gak bengong gitu....” Winda berkata
padaku sambil menyeka air matanya, aku mengurungkan langkah ke kerumunan itu,
cepat aku balik badan dan berjalan ke bilik kerjaku.
Amplop warna merah muda yang di
bungkus plastik kemudian diberi stiker putih dengan tulisan; Kepada Latifa
Sofie. Sambil membuka bungkusan plastik aku jatuhkan tubuhku ke kursi tentu
dengan pikiran penuh tanya siapa gerangan pengundang pernikahan ini. Bersamaan
dengan satu tarikan nafas aku buka isi ampop itu dan ku baca jelas nama yang
tercantum di sana.
Cinta dalam diamku. Nama yang ku
sebut dalam puluhan surat merah mudaku sebelum tidur.
Radian Fajar Gumelar.
Kakak kelasku, kakak tingkatku dan
bosku di kantor.
Aku ingat kalimat yang Elsa katakan kamu terlalu menyimpannya rapat... seorang
diri.... cinta dalam diam yang kamu bilang...
Sekarang aku tak lagi diam, untuk
pertama kali nya aku curahkan isi hatiku, dalam tangis yang perlahan kemudian
mengundang perhatian seisi ruangan yang hening seketika. Orang-orang
mengerumuni bilik kerjaku, Elsa datang entah tahu dari siapa berita ini.
Mungkin sebelum aku mengatakannya dia sudah tahu aku telah mimpikan lelaki itu
menjadi pasangan hidupku. Masih dalam tangis yang mengundang iba dia membawa
aku ke dalam pelukannya.
****
Tok...tok...tok....
Suara ketukan pintu terdengar,
setelah melamunkan kejadian kemarin aku gagal kembali tidur, aku malah duduk di
meja ini di hadapan puluhan kertas merah muda yang amat berantakan. Aku lihat
jam digital yang menunjukan pukul 07.30, tak terasa satu jam aku melamun dan
sekarang mempelai pria mungkin sedang bersiap untuk pergi dari rumahnya.
Tok...tok...tok...
“Aku masuk ya?”
Suara Elsa, tak mengapa biarlah
waktunya dia tahu semuanya. Tanpa menunggu jawaban dariku pintu kamar terbuka,
sosok Elsa dengan rambutnya yang diikat satu sambil membuka kacamata silvernya
masuk, mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kamar kemudian tiba matanya
bersitatap denganku.
Aku menarik ujung-ujung bibirku
untuk tersenyum, lebih tepatnya memaksakan senyum. Elsa mendekat, dia kini bersimpuh
di lantai setengah duduk.
“Kusut sekali Sof....” katanya
dengan tangan yang memegang wajahku.
“Maafin aku ya Sa....” ucapku parau.
“Gak ada maaf-maafan Sof, kamu
sendiri yang sering bilang pilihan hidup selalu ada konsekuensinya”
“Hahaha jadi ini mungkin konsekuensi
buatku ya, diam dengan perasaan lantas tak mendapatkan cintaku...” aku tertawa
getir, tawa yang justru mengundang titik bening di sudut mata Elsa.
“Tuhkan Sa, maaf ya....”
Elsa cepat menggelengkan kepala dia
lalu berdiri dan memegang pundakku.
“Sof, aku ke sini tak akan memintamu
menceritakan bagaimana perasaanmu, sejak kapan rasa itu tumbuh dan seperti apa
wujud mimpimu atau menuntut kenapa kamu tidak bercerita sedikitpun padaku,
sebagai sahabat aku ingin mengajakmu hadapi kenyataan biar pahit namun harus
tetap kamu lewati. Kamu harus saksikan cinta yang kamu simpan bahagia dengan
cintanya, sebab sebagaimanapun cinta yang kamu miliki rencana Tuhan pada
makhluknya tak akan berubah dan kamu harus menerimanya, mulai dari detik
ini....”
“Maksudmu aku harus datang ke
pernikahan itu, Sa?”
“Jika kamu sanggup....”
****
Cinta.
Tak pernah terlintas sedetikpun
kejadian ini menimpa hidupku. Tuhan, tak pernah pula aku do’akan dia hidup
dengan yang lain terkecuali denganku. Tuhan tak mengabulkan do’aku karena Dia
tahu kebahagiaan aku dan dia tidak dalam satu ruang cinta.
Aku menarik napas panjang, beberapa
langkah lagi aku sampai ke pelaminan tempatnya dia dan yang sekarang menjadi
istrinya memasang senyum pada tamu-tamu yang datang.
“Makasih ya Sof, Elsa udah
dateng....”
“Sama-sama Mas!”
“Eh kita foto dulu yuk.. Sofie dan
Elsa ini teman sekolah sampai kantorku Yang, yuk foto!”
Blize kamera memotret kami, aku
berdiri di sampingnya dan memasang senyum. Aku tahu teman-teman kantorku yang
hari kemarin menyaksikan kejadianku mereka ada melihat kami. Aku harap semoga
mereka diam, mulai detik ini juga aku akhiri cintaku dan amat aku harap
kejadian ini cukup sebagai pengalaman pertama dan terakhirku. Aku ingin
bahagia, dengan jodohku yang Tuhan tetapkan.
-SELESAI-
1 komentar:
Suka ceritanya.. (y)
Posting Komentar